Ferdinand Hutahaean (dokpri)

Oleh: Ferdinand Hutahaean*)

Situasi politik dengan segala hiruk pikuknya menjelang pemilu 2019 tampaknya semakin menenggelamkan semua isu. Bahkan Pilkada yang diselenggarakan serentak di 171 daerah hampir tak terdengar, senyap bahkan hilang dari ruang dengar publik. Hanya Pilkada Jabar, Jateng dan Jatim yang masih sesekali mengisi ruang berita bagi publik karena provinsi ini memang menampung lebih dari setengah pemilih Indonesia.

Dari semua itu, ada salah satu yang menarik karena  isu hukum pun berubah menjadi isu politik. Century yang tergoreng ketika yang berkuasa adalah BLBI.

Semua tahu bahwa kerugian di BLBI jauh lebih gila dari kerugian Century, ada kerugian negara yang berpuluh kali lipat lebih dari kerugian negara akibat Century. Itupun kalau benar negara rugi akibat kebijakan Bail Out Century. Century hanya bicara angka Rp. 6,7 T sedangkan BLBI bicara angka ratusan trilliun.  Total dana talangan BLBI yang awalnya dikeluarkan sebesar Rp144,5 triliun patut diduga merugikan negara sebesar Rp.140 T lebih. Jadi kalau bicara angka kerugian negara, maka Century hanya kerugian kecil.

Mari sedikit kita telaah Century dengan data singkat sebagai berikut.Century di-bailout dengan angka Rp. 6,7 T, dijual LPS Rp.4,4 T, pengembalian uang Rp.1,8 T. Artinya ada selisih hanya Rp.500 M dan inilah kita anggap biaya penyelamatan ekonomi sehingga krisis tidak menerpa Indonesia. Bahkan setelah itu ekonomi Indonesia masuk G 20 dan salah satu pertumbuhan ekonomi paling tinggi di dunia.

Bandingkan dengan BLBI yang menalangi 48 bank kala itu dengan uang ratusan Trilliun. Yang kembali ke negara hanya sebagian kecil saja. Kebijakan era Presiden Megawati Soekarno Putri ini patut diduga sarat korupsi

Kita ambil salah satu contoh kasus saja. Sjamsul Nursalim misalnya. Kucuran dana BLBI yang diterima Sjamsul sebagai pemegang saham pengendali BDNI adalah sebesar Rp27,4 triliun. Sjamsul kemudian membayar dengan aset-aset miliknya serta uang tunai hingga menyisakan utang sebesar Rp 4,8 triliun. BBPN juga menagihkan pembayaran sebesar Rp1,1 triliun kepada para petani tambak Dipasena, yang adalah debitur BDNI.

Oleh karena itu, masih ada Rp3,7 triliun yang harus ditagih BPPN ke BDNI. Namun Kepala BPPN Syafruddin justru mengeluarkan SKL (Surat Keterangan Lunas) pada April 2004, sehingga masih ada dana sebesar Rp3,7 triliun yang belum dikembalikan ke negara.

Dengan demikian jelas, Rp.3,7 berbanding Rp.500 M itu kecil sekali. BLBI era Megawati dengan kebijakan SKL nya telah membuat ratusan trilliun uang negara tidak jelas nasibnya.

Lantas mengapa sekarang kasus Century era SBY yang dijadikan bola panas dan digoreng-goreng? Nampaknya politik mrnjadi pemicunya. Nampaknya kekuasaan sedang berupaya melakukan cipta kondisi. Menciptakan kondisi bahwa seolah kasus Century adalah mega korupsi. Tujuannya apa? Patut diduga untuk menutupi kasus EKTP yang menyebut nama-nama elit partai Penguasa seperti Puan, Pramono, Yasona, Olly dll. Selain itu juga untuk menutupi kasus BLBI yang mulai menyerempet sang partai penguasa dengan ditetapkannya Syafrudin Tumenggung menjadi tersangka dan KPK membidik Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2002 yang dikeluarkan Megawati tentang Pemberian Jaminan Kepastian Hukum Kepada Debitur yang Telah Menyelesaikan Kewajibannya atau Tindakan Hukum Kepada Debitur yang Tidak Menyelesaikan Kewajibannya Berdasarkan Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham.

Jadi pahamkan mengapa Century jadi gorengan sekarang? BLBI dan EKTP harus ditutupi.

Jakarta, 19 April 2018