Quote Ibu Negara RI ke-6 (2004-2014) Ani Yudhoyono (kompasiana)

Peran perempuan dalam Politik periode pemerintahan ini dinilai kurang efektif. Pasalnya jumlah keterwakilan perempuan di legislatif semakin berkurang. Meski demikian, di badan eksekutif, beberapa ‘Kartini’ di kabinet kerja Presiden Joko Widodo patut diapresiasi.

Dalam survei kepuasan publik yang dilakukan Alvara Reasearch Center, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pujiastuti mendapat kepuasan publik yang paling tinggi yakni 4,50. Sebaliknya, Menko Bidang Pembangunan Manusia dan Kabudayaan Puan Maharani mendapatkan nilai terendah, yakni 3,54.

Selain nama-nama itu, ada juga Sri Mulyani yang belakangan dinobatkan sebagai menteri terbaik dunia. Lalu ada nama Khofifah Indar Parawansa, yang juga aktif menjalankan kegiatan sosial selama menjabat Mensos.

Di legislatif, angka keterwakilan perempuan semakin buruk. Pada pemilu 2014, jumlah perolehan suara caleg perempuan hanya 14% atau sekitar 79 orang. Angka ini turun dari periode 2009-2014 lalu dengan 101 anggota DPR atau 18% hasil perolehan kursi perempuan.

Kesenjangan antara perolehan suara perempuan dengan perolehan kursi perempuan semakin tajam, pada pemilu tahun 2009 tercatat 22,45 persen rata-rata perolehan suara perempuan untuk DPR RI dengan 18 persen hasil perolehan kursi perempuan. Sedangkan untuk pemilu tahun 2014 tercatat perkiraan 23,42 persen perolehan suara perempuan untuk DPR RI, namun hasil perolehan kursinya hanya mencapai sekitar 14 persen saja.

Padahal, dalam UU No. 2/2008 yang sudah direvisi oleh DPR, sebenarnya kebijakan afirmasi di internal partai politik melalui pasal pembentukan dan kepengurusan partai politik yang menyertakan paling kurang 30% perempuan, dapat mengatasi masalah keterwakilan perempuan. Namun implementasi kebijakan ini lemah, apalagi tidak ada sanksi bagi partai politik yang melanggar ketentuan tersebut.

Bukan hanya di DPR, Perjuangan afirmasi untuk mengikut-sertakan perempuan di Pilkada makin berat. Menurut Koordinator Maju Perempuan Indonesia (MPI), Lena Maryana Mukti, jualan afirmasi perempuan gak laku lagi. Saat ini kecenderungannya adalah elektabilitas dan juga isi tas. Di 2015 dan 2017 masih terasa keinginan partai untuk mengedepankan afirmasi, tapi sekarang tidak ada lagi.

“Persoalannya ini memang tidak  hanya modal politik berbentuk isi dompet dan elektabilitas, tapi juga ketersediaan perempuan yang memiliki kemampuan, pengalaman, kapasitas, dan basis dukungan. Di daerah itu sedikit sekali jumlahnya,” ujar Lena (dalam rumahpemilu.org)

Menurut data dari infopemilu.kpu.go.id, peserta Pilkada serentak 2018 setidaknya akan diikuti oleh 8,85% perempuan. Ada 101 perempuan dari 1.140 pendaftar bakal calon kepala daerah. Meski meningkat, angka ini dinilai tidak signifikan dibandingkan Pilkada sebelumnya, 7.47% di Pilkada 2015 dan 7.17% di Pilkada 2017.

Tercatat 49 perempuan mendaftar menjadi calon kepala daerah (8.60 persen). Dua orang perempuan mendaftar jadi calon gubernur: Khofifah Indar Parawansa di Jawa Timur dan Karolin Margret Natasa di Kalimantan Barat.

Perempuan Tak Menyuarakan Perempuan

Menurut Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, calon perempuan tidak serta merta menunjukkan keberpihakan pada agenda dan isu-isu perempuan. Sayangnya, justru banyak dari kepala daerah tersandung kasus korupsi. Diantaranya Bupati Subang Imas Aryumningsih terjaring OTT KPK beberapa waktu lalu.

Menurut Koordinator Maju Perempuan Indonesia (MPI) Lena Maryana Mukti, hal ini menjadi bumerang bagi afirmasi keterwakilan perempuan dalam pemilu.

“Masyarakat akan berpikir, perumus kebijakan juga akan berpikir percuma juga ada perempuan ada di situ, toh tidak 100% kepala daerah perempuan yang gender responsive atau gender sensitive mengedepankan isu perempuan” ujar Lena (dalam BBC Indonesia).

Beberapa penyebab terjadinya hal itu diantaranya dorongan perempuan dalam berpolitik sangat dipengaruhi oleh keluarga, baik dorongan dari suami maupun orang tua, untuk melanggengkan dinasti politiknya. Menurut data dari KPU, kandidat perempuan dengan latar belakang jejaring kekerabatan meningkat, kandidat yang merupakan mantan legislator menurun. Sementara kandidat dengan latar belakang kader partai dan petahana cenderung stagnan.

Lebih ekstrem,  Kaukus Perempuan Politik Indonesia (KPPI) menyebut 40% kandidat perempuan berasal dari jejaring kekerabatan, sementara 25% berlatar belakang sebagai pengusaha. Artinya, perempuan yang berpolitik dimotivasi oleh hubungan keluarga, atau karena memiliki harta kekayaan yang banyak sebagai modal politik.

Konsolidasi perempuan politik harus diperkuat. Organisasi perempuan yang peduli dengan afirmasi keterwakilan perempuan tak lagi bisa bekerja sendiri-sendiri karena yang kini dihadapi adalah bagaimana mengadvokasi regulasi dan membangun gerakan.

Kekerasan Terhadap Perempuan Meningkat

Selain masalah politis, ada masalah yang belakangan kembali mencuat, yakni kekerasan terhadap perempuan. Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mencatat pada tahun 2015 terdapat 321.752 kasus kekerasan terhadap perempuan. Artinya, sekitar 881 kasus kekerasan terhadap perempuan terjadi setiap hari. Lebih jauh, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Yohana Yembise menyebut  sekitar 28 juta perempuan di seluruh Indonesia mengalami kekerasan setiap hari.

Komnas Perempuan juga menunjukkan pada tahun 2016 terdapat hampir 260.000 jumlah insiden KTP (Kekerasan Terhadap Perempuan). Sebagian data ini diperoleh dari 359 pengadilan agama, sebagian dari 233 lembaga mitra pengada layanan yang terdapat di 34 provinsi di Indonesia.

Kekerasan di dalam rumah tangga (KDRT) merupakan bentuk kekerasan terhadap perempuan yang insidennya paling tinggi, dan dapat berbentuk fisik, psikis maupun ekonomi. Di dalam kategori kekerasan seksual, yang paling banyak adalah perkosaan, termasuk perkosaan di dalam perkawinan, yang sejak Pemerintahan Presiden SBY diakui di dalam pasal 8a UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKKDRT no. 23/2004).

Meski jelas adanya UU KPKDRT no. 23/2004 merupakan kemajuan besar, namun penerapannya masih menemui banyak tantangan. Ini karena faktor kultural dan struktural yang begitu kokoh, saling melengkapi dan merasuk di dalam sanubari masyarakat Indonesia, baik secara individual maupun institusional.

KTP tentunya terjadi pula di berbagai sektor ranah publik. Mulai dari pelecehan seksual di tempat-tempat umum (jalan raya, kendaraan umum), kegiatan mengemis, prostitusi, buruh jermal dan perkebunan, di pabrik-pabrik maupun di kantor-kantor, dalam kasus lingkungan hidup (seperti misalnya PT Pabrik Semen versus petani pegunungan Kendeng yang mayoritas perempuan) dan tentunya yang tenaga kerja wanita (TKW) yang selalu menjadi sorotan.

Isu TKW ini sangat pelik karena merupakan titik temu antara ranah domestik dan ranah publik yang menjangkau bukan hanya lembaga negara, melainkan juga hubungan internasional. Seorang TKW sering terjepit antara hukum negara pengirim (Indonesia), dan negara penerima di luar negeri. Kedua-duanya eksploitatif, bukan hanya untuk uang, tapi juga untuk kepentingan politik.

Peran Ibu Negara

Peranan seorang Ibu Negara adalah mengayomi seluruh anak bangsa. Seorang Ibu Negara tidak hanya berkewajiban mendampingi Kepala Negara selaku suami dan merawat serta membesarkan dua tiga anaknya saja. Seorang Ibu Negara juga harus mampu menjadi teladan dari segenap anak bangsa dan harus mampu mengambil peran dalam aktivitas-aktivitas sosial. Dalam hal ini ada banyak kegiatan sosial yang dapat diambilnya, seperti kegiatan perlindungan wanita dan anak.

Ibu Negara Iriana Jokowi, dinilai sebagai sosok yang sederhana layaknya wanita-wanita desa Jawa pada umumnya. Ibu Iriana yang merupakan Bunda PAUD ini dinilai memiliki karakter berbeda dengan Ibu Negara sebelumnya. Ibu Kristiani Herawati atau lebih akrab disapa Ibu Ani Yudhoyono dianggap lebih mempunyai “sense of humanity” yang kuat. Tidak hanya menjadi istri dan ibu bagi anak-anaknya, ia juga mewakafkan waktu, pikiran, dan perhatiannya terhadap masalah kebangsaan.

Sepuluh tahun SBY menjabat, Ibu Ani mampu mengkonsilidasikan ibu-ibu istri Kabinet untuk turun aktif, baik dibidang pendidikan, kesehatan, kesejahteraan masyarakat maupun dibidang sosial budaya. Tidak ada rasa canggung yang dilihatkannya ketika bertemu masyarakat. Ia biasa merangkul erat dan berbincang hangat untuk dapat menggali setiap permasalahan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat.

Aktivitas sosial Ibu Ani ini tentu saja meringankan beban kerja suaminya selaku Presiden. Hal ini jugalah yang mungkin mengantarkan SBY menjadi Presiden dua periode. Ini sesuai dengan kata pepatah, “dibalik laki- laki yang sukses ada wanita yang hebat”.

Aktifitas Ibu Ani selama menjadi Ibu Negara benar-benar dia jalankan sebagai bentuk pengabdiannya pada masyarakat. Atas keuletannya itu, ia pun mendapatkan penghargaan  Pin Emas dari M. Yunus (Pemegang Nobel Perdamaian 2006). Penghargaan ini diterima Ibu Ani atas komitmennya mendorong serta mengembangkan UKM dan Kredit Mikro Indonesia melalui Program Perempuan Keluarga Sehat dan Sejahtera serta Indonesia Kreatih.

Ibu Ani juga mendapatkan Penghargaan berupa Certificate of Global Leadership dari The United Nations Environment Program (UNEP) untuk kepemimpinan Ibu Negara dalam program Gerakan Tanam dan Pelihara 10.000.000 (sepuluh juta) Pohon di seluruh Indonesia. Ia juga mendapatkan Penghargaan berupa Pin Emas oleh Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan sebagai “Ibu Peningkatan Kualitas Hidup Perempuan dan Anak” tahun 2007.

-Malawu Ku 25-2-2018

(Mona Suryaningsih/Kompasiana/dik)