Ferdinand Hutahaean (dok pri)

Oleh: Ferdinand Hutahaean*)

Saya pernah mengingat sebuah kalimat pendek yang menjadi tagline besar bagi Presiden Jokowi, dulu pada saat Pilpres yaitu kata-kata “Jokowi adalah Kita”.

Kalimat ini mampu menyentuh dan merasuki hati mayoritas pemilih Indonesia 2014 silam. Dibumbui dengan kata “Jujur, Sederhana, Merakyat” maka Jokowi mampu menyihir dunia perpolitikan kita menjadi singgasana kepresidenan. Dan, hingga saat ini, sudah menjelang 3 tahun Jokowi memerintah dengan segala kekurangannya dan segala kelebihannya (entahlah kalau ada).

Hari ini kita menyaksikan Indonesia berubah dengan cepat. Bukan tampilan wajah pembangunannya yang berubah, atau tampilan infrastrukturnya yang berbeda. Namun yang berubah adalah, Jokowi dari tokoh protagonis menjadi tokoh antagonis, Indonesia dari bangsa protagonis menjadi bangsa antagonis di dunia internasional.

Lantas apa yang membuat Jokowi berubah dari tokoh protagonis atau tokoh yang disukai, menjadi tokoh antagonis atau tokoh yang tidak disukai?

Andai jawabannya kita uraikan secara panjang lebar, mungkin nanti tulisan ini terlalu panjang dan membosankan. Tulisan ini pun akan jadi tampak seperti membenci Jokowi, padahal bukan sama sekali. Saya punya sejarah dalam proses mendukung dan mendudukkan Jokowi sebagai presiden, sehingga secara pribadi tidak mungkin saya membenci Jokowi.

Namun jawaban singkat atas pertanyaan pembuka alinea ini akan menjadi alasan bagi saya kenapa tidak lagi mendukung Jokowi.  Kepemimpinan yang lemah dan rendahnya kapasitas serta kegagalan Jokowi memenuhi janji kampanyenya membuat ia berubah dari protagonis ke antagonis.

Ternyata bukan cuma Jokowi yang berubah dari tokoh protagonis menjadi antagonis. Bangsa Indonesia dulu begitu dikagumi oleh bangsa-bangsa di dunia sebagai sebuah negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia, ternyata adalah menjadi negara paling toleran dengan segala keberagamannya dan multi-heterogen, baik dari suku, agama, bahasa, ras, budaya dan keberagamannya lainnya. Indonesia adalah negara yamg disukai dunia mana pun, dan itu membuat Indonesia sebagai bangsa protagonis. Selama kepemimpinan presiden terdahulu, Indonesia rukun dengan keragamannya.

Namun ironi saat ini terjadi. Akibat ulah segelintir orang, yang tanpa harus saya awali dengan kata maaf, harus saya sebut sebagai penghianat bangsa. Mereka adalah pengkhianat-pengkhianat yang merusak nama baik Indonesia di luar negeri dengan memberikan isu negatif dan salah terkait Ahok kepada bangsa lain. Akhirnya mereka bangga ketika bangsa Indonesia ini menjadi bangsa yang dihujat bangsa asing dan diintervensi kedaulatannya terkait penegakan hukum.

Inikah yang kalian banggakan ketika bangsa asing memberikan penilaian buruk terhadap bangsamu? Jika Anda bangga dengan itu, maka sekali lagi harus saya tegaskan, Anda adalah pengkhianat bangsa di era sekarang karena Anda telah membusukkan bangsa ini dari bangsa yang disukai menjadi bangsa yang dibenci.

 

Situasi ini tentu akan sangat merugikan bangsa secara besar-besaran. Rezim Pemerintahan Jokowi harus segera sadar diri dan mengubah tata cara mengelola negara.

Bangsa ini nyaris tanpa tata kelola negara yang benar. Saya pikir, siapa pun yang mengerti tentang tata negara pasti akan geleng-geleng kepala melihat cara rezim ini mengurus negara. Andai seperti tata boga, jika masakannya tidak enak dan tidak memenuhi ekspektasi, maka tukang masaknya pasti kita ganti.

Begitulah sebuah perbandingan yang disampaikan oleh sahabat saya, Jansen Sitindaon (yang pemikiran dan tulisannya berseliweran dari media ke media) dalam sebuah diskusi, kemarin.

Apa pun masalah yang timbul hanya ditutupi dengan opini bentukan media-media yang menjadi mesin pembentuk citra rezim ini. Bahkan tidak jarang media ini turut andil dalam penyebaran fitnah dan hoaks hanya demi kepentingan sang rezim yang berkuasa. Misalnya, tanpa rasa bersalah, media-media buzzer politik rezim ini menebar fitnah tentang SBY, Presiden RI Ke 6, menggunakan seorang terpidana bernama Antasari Azhar. Atau juga fitnah tentang intoleransi SBY.

Padahal SBY negarawan yang sangat toleran, terbukti Sekjen Partai Demokrat DR Hinca Panjaitan adalah seorang beragama non-Muslim. Mungkinkah SBY intoleran? Sangat tidak mungkin bila melihat fakta itu, dan hanya fitnah serta jiwa-jiwa yang keropos dalam pengetahuan yang mampu menerima SBY disebut intoleran.

Publik selama ini terlalu dininabobokan dengan jargon-jargon yang membius. Ketika dulu komunis melawan dominasi agama dalam politik ninabobo dengan revolusi mental, maka sekarang revolusi mental digunakan meninabobokan rakyat sehingga agama bangkit melawan.

Pemerintah hingga saat ini jelas gagal mengelola negara. Hanya di era Jokowi kegaduhan seperti ini terjadi tanpa teratasi dan terselesaikan secara benar dan tepat. Masalah hanya ditutupi dengan opini tanpa solusi.

Saya mengajak semua pihak tanpa terkecuali, mari kita sudahi kegaduhan ini. Lupakan jargon-jargon tak berguna yang hanya sebatas slogan.* Lupakan jargon “Jokowi adalah Kita”, lupakan jargon “Ahok bersih jujur tegas cerdas”. Tinggalkan stigma dan jargon “kita adalah agama tertentu atau pembela ulama tertentu”.

Mari kita ganti semua itu dengan jargon baru “KITA ADALAH INDONESIA”.

Kita adalah Indonesia, maka tidak mungkin kita akan menyakiti diri sendiri. Tidak mungkin kita merusak diri sendiri atau tidak mungkin kita membinasakan diri sendiri. Negara kita adalah negara yang belum selesai dalam membangun. Baik membangun jiwa maupun membangun badannya. Belum lagi bicara tentang nasionalisme dan bela negara serta mempertahankan Pancasila sebagai satu-satunya ideologi bangsa. Tantangan terlalu besar.

Tantangan ini tidak akan bisa kita lalui jika kita sibuk dalam kegaduhan. Kita butuh kepemimpinan yang tegas, memiliki kapasitas dan kapabilitas untuk mengelola negara ini. Untuk itu kita berharap Presiden Jokowi menuntaskan kepemimpinannya hingga 2019 dengan cara-cara yang benar, baik dan taat aturan demi masa depan bangsa.

Indonesia adalah kita! Lupakan jargon-jargon kita yang lain.

Ciloto, 24 Mei 2017

*)Komunikator Politik Partai Demokrat