Agus Harimurti Yudhoyono, M.Sc, MPA, MA (majalahstrategi)

Oleh: Agus Harimurti Yudhoyono, MSc, MPA, MA*)

Lebih dari tujuh dasawarsa yang lalu, para pejuang kemerdeka­an Indonesia mengorbankan jiwa dan raganya untuk melawan dan mengusir penjajah dari bumi pertiwi. Walaupun dengan kekuatan persenja­taan yang sangat tidak berimbang, tak sedikitpun mereka merasa takut dan gentar menghadapi militer asing. Ha­nya satu tujuan mereka: hidup atau mati, Indonesia harus merdeka. Hanya satu impian mereka: anak-cucu bisa hi­dup damai dan sejahtera di negerinya sendiri.

THERE IS A PATRIOT IN ALL OF US

Dulu pertama kalinya Merah Putih dikibarkan dan Indonesia Raya diku­mandangkan untuk menyatakan dan menegaskan kepada siapa saja bahwa Indonesia telah merdeka. Kini, para prajurit TNI dan Polri, tergabung da­lam pasukan Garuda, mengibarkan Merah Putih di sejumlah zona konflik di dunia. Mereka rela meninggalkan keluarga tercinta, mengambil risiko, untuk mengemban tugas sebagai pen­jaga perdamaian, melindungi bangsa lain dari tragedi kemanusiaan. Para prajurit TNI dan Polri tersebut adalah patriot.

Dulu para founding fathers kita ber­juang di wilayah politik internasional, berdiplomasi agar dunia memberikan dukungannya, dan mengakui Indone­sia sebagai sebuah nation-state yang sah dan berdaulat. Kini, para diplomat kita berkerja keras untuk memperjuangkan kepentingan nasional kita di luar ne­geri, serta memelihara hubungan baik dengan negara-negara sahabat. Mere­ka juga tampil, bertarung konsep atau gagasan di berbagai forum multilateral, seperti ASEAN dan PBB, untuk mem­perjuangkan kepentingan bersama du­nia. Isunya sangat beragam, mulai dari membangun keamanan dan kemak­muran bersama di kawasan, sampai dengan mengatasi dampak pemanasan global dan perubahan iklim. Para dip­lomat tersebut adalah patriot.

Di bidang yang lain, tidak sedikit kaum profesional, pelaku bisnis, tek­nokrat, akademisi, dan tenaga kerja berkewarganegaraan Indonesia yang berkiprah dan membangun network di berbagai penjuru dunia. Seringka­li mereka mendapatkan apresiasi yang begitu positif atas kinerja dan kontri­busi terhadap organisasi atau negara di mana mereka bekerja. Atas segala citra positif yang telah mereka hadirkan atas nama Indonesia, maka sesungguhnya mereka juga adalah patriot.

Patriotisme abad 21 menemukan wujudnya dalam konteks global, me­lintasi batas-batas geografis. Patriotis­me juga tidak mengenal profesi atau jenis pengabdian. Sebenarnya cukup banyak patriot yang berada di sekitar kita, hanya saja seringkali kita tidak menyadarinya. Mereka bisa berprofesi sebagai guru, petani, nelayan, buruh, bidan, petugas kebersihan, budayawan, seniman, olahragawan, atau yang lain­nya. Siapa pun dia, di mana pun ia be­rada, dan apa pun yang ia kerjakan, se­jauh itu diorientasikan untuk membela kepentingan bangsa dan mengharum­kan nama Indonesia, maka ia adalah seorang patriot.

Seiring dengan kemajuan zaman, patriotisme diartikan lebih luas dari se­kedar keberanian untuk berjuang secara fisik melawan musuh bersama (common enemy) seperti di masa perang kemerde­kaan dulu. Patriotisme hari ini sangat erat kaitannya dengan kerelaan, sema­ngat, dan kerja keras untuk memperju­angkan berbagai kepentingan bersama (common interests) bangsa Indonesia di abad 21. Kita bisa, dan harus, menjadi patriot-patriot bangsa yang memahami peluang dan tantangan abad 21, serta mampu mengonversikannya menjadi kekuatan demi kejayaan Indonesia di masa yang akan datang.

PELUANG DAN TANTANGAN ABAD 21: CHANGE IS THE ONLY CONSTANT

Filsuf Yunani Heraclitus mengatakan, “change is the only constant”. Saya kira kita sulit untuk menyangkalnya. Na­mun fenomena perubahan, baik yang telah terjadi maupun yang diprediksi akan terjadi di sisa abad 21 ini jauh le­bih dramatis dibandingkan abad-abad sebelumnya. Bagi yang akrab dengan situasi dunia di abad 20, tentu merasa­kannya, sekaligus bisa mengapresiasi perubahan demi perubahan yang ter­jadi secara begitu cepat. Adalah revolusi di bidang teknologi informasi dan komunikasi (TIK) yang menjadi faktor kunci dan katalisator dari lahirnya pe­rubahan-perubahan yang terjadi hari ini dan seterusnya.

Kemajuan TIK yang begitu pesat telah membuat dunia semakin trans­paran dan akuntabel. Dengan biaya yang terjangkau, internet dan perang­kat elektronik pintar (smart gadget) be­nar-benar memungkinkan generasi kita menjadi semakin pintar. Dalam hitung­an detik, kita bisa mengetahui segala informasi yang ingin kita ketahui, se­hingga tidak berlebihan jika dikatakan bahwa saat ini dunia ada di genggaman tangan kita. Selain itu, kita juga bisa berkomunikasi secara real time dengan siapa pun, di mana pun kita berada. Se­dangkan media sosial menjadikan du­nia semakin flat, memangkas hierarki sosial, serta menyediakan ruang dan pola interaksi yang lebih egaliter.

Tapi sesuatu yang tanpa batas juga mengandung risiko yang serius. Yang paling menonjol adalah dijadikannya media sosial sebagai wahana propa­ganda yang destruktif. Menebar fitnah, kebencian, berita bohong (hoax), dan black campaign yang ditujukan untuk membunuh karakter atau menghan­curkan kredibilitas dan martabat lawan politik atau lawan bisnis, sesungguhnya bertentangan dengan nilai-nilai Panca­sila. Praktik-praktik semacam itu juga keluar dari semangat demokrasi dan kebebasan berekspresi yang kita per­juangkan saat Reformasi. Yang jelas, semua itu hanya akan menimbulkan konflik dan perpecahan sesama anak bangsa.

TIK, ditambah dengan kemajuan pesat dalam sistem transportasi, de­ngan sendirinya mempercepat proses dan memperluas dampak globalisasi di abad 21. Dunia menjadi pasar bagi sia­pa saja. Hari ini, hukum rimba “siapa yang kuat, dia akan menang” tidak lagi terlalu relevan. Untuk memenangkan pasar dunia, maka yang berlaku adalah “siapa yang lebih cepat, lebih adaptif, dan lebih inovatif, dia akan menang”.

Yang pasti, rezim globalisasi abad 21 akan semakin kompetitif, dan akan melahirkan pemenang sekaligus pecun­dang. Terlebih jika dikaitkan dengan dua realitas utama hari ini. Pertama, bumi kita semakin tua, dan sumber daya alam, khususnya energi, pangan dan air bersih sebagai penopang hidup manusia pun semakin menipis. Kedua, penduduk dunia –tujuh miliar lebih hari ini– semakin hari semakin bertam­bah, selain karena angka kelahiran, tapi juga akibat semakin baiknya angka ha­rapan hidup manusia.

Konsekuensi dari kedua realitas di atas sangat jelas, yaitu semakin sengit­nya persaingan antar manusia, antar kelompok, dan antar bangsa di dunia dalam memperebutkan sumber daya alam yang semakin terbatas jumlahnya. Kompetisi yang tidak terkelola dengan baik berpotensi pada lahirnya berbagai jenis sengketa dan konflik baru, bahkan perang antar negara. Ini dikarenakan manusia dan bangsa di dunia akan ber­buat apa saja demi kelangsungan hi­dupnya.

Dunia yang semakin borderless ini juga menghadirkan berbagai ancam­an baru di bidang keamanan. Di abad 21 muncul aktor-aktor bukan negara, atau non-state actors, yang memiliki ke­cerdasan, kekuatan dan pengaruh yang bisa mereka gunakan untuk menantang dan mengancam negara, termasuk negara adidaya. Kejahatan transnasio­nal, seperti terorisme, drug-traffickinghuman-traffickingarms-smuggling, dan cyber-crime, telah membuat dunia sema­kin kompleks dan penuh dengan keti­dakpastian.

Secara langsung maupun tidak, semua peluang, tantangan dan perso­alan di atas berpengaruh terhadap ke­langsungan hidup kita, hari ini dan di masa mendatang. Sebagai bangsa yang besar, kita tidak boleh puas dengan se­kedar “survive” dalam persaingan antar bangsa. Kita harus menjadi pemenang di abad 21. Oleh karena itu, bangsa Indonesia harus mampu melihat dan mengeksploitasi segala peluang, serta mampu mengubah tantangan menjadi peluang bagi kemajuan dan kesejah­teraan seluruh rakyatnya. Dalam pro­sesnya, kembali kita ingat pesan dari Heraclitus, “change is the only constant”. Artinya, kita harus pandai dan sigap untuk terus beradaptasi terhadap se­gala perubahan yang terjadi di dunia, dan segala implikasinya bagi diri kita. Dengan itu semua, maka insya Allah, bersama-sama kita bisa mewujudkan “Indonesia Emas 2045”.

MENGAPA 2045?

Generasi pejuang 1945 dan para found­ing fathers kita tidak menargetkan kon­disi tertentu yang harus dicapai oleh bangsa Indonesia satu abad sejak ke­merdekaannya. Saya juga belum per­nah membaca dalam literatur mana pun yang menyatakan bahwa sebuah negara harus sudah mencapai masa ke­jayaan atau keemasannya tepat di usia­nya yang ke-100. Angka tersebut juga bukan sebuah “rule of thumb” ataupun “magic number”. Lalu mengapa kita ramai-ramai menggelorakan slogan dan semangat untuk mewujudkan Indone­sia Emas di tahun 2045? Apakah ini se­batas retorika atau ada hitung-hitung­annya?

Supaya fair, mari kita lihat seje­nak sejarah Amerika Serikat, yang kini menjadi satu-satunya negara superpower di dunia. Menjelang satu abad usia­nya, setelah kemerdekaannya di tahun 1776, di Amerika Serikat terjadi Civil War, atau Perang Saudara. Negeri itu terbelah dua: “the Unions” melawan “the Confederates”. Dalam kurun waktu empat tahun, tercatat sekitar 850 ribu korban jiwa, serta kehancuran kolateral di sana-sini. Lima hari setelah berakhir­nya perang tersebut, Presiden Abraham Lincoln dibunuh. Insiden itu adalah pertama kalinya terjadi dalam sejarah negara tersebut. Singkatnya, wajah Amerika Serikat pada peringatan 100 tahun kemerdekaannya sangat jauh dari wajah modern, kejayaan, dan per­adaban negeri “Paman Sam” yang kita ketahui saat ini.

Jika dibandingkan, sebenarnya Indonesia berada dalam posisi yang cukup baik untuk menggapai masa emasnya di tahun 2045. Walaupun se­lalu ada saja ups-and-downs nya, secara umum Indonesia memiliki kapasitas untuk mewujudkannya. Di tahun 2008, hanya 10 tahun sejak terjadinya krisis nasional 1998, di bawah kepemimpin­an Presiden Susilo Bambang Yudho­yono, Indonesia berhasil masuk ke da­lam klub elit G-20, yang beranggotakan 20 negara dengan ekonomi terbesar di dunia.

Sejak saat itu Indonesia semakin di­perhitungkan. Berbagai lembaga inter­nasional seperti McKinsey, Goldman Sachs, PwC, IMF, dan Bank Dunia se­cara optimistik memproyeksikan pelu­ang Indonesia untuk masuk ke dalam kategori negara maju, jika Indonesia mampu mempertahankan pertumbuh­an ekonominya dengan baik. Bank Du­nia misalnya, memperkirakan Produk Domestik Bruto Indonesia, bisa naik hampir 10 kali lipat dari sekitar 932 mi­liar dollar AS (tahun 2016) menjadi se­kitar 9.1 triliun dollar AS (tahun 2045). Angka ini menempatkan Indonesia di peringkat 4 ekonomi dunia. Sedangkan pendapatan per kapita melonjak lebih dari 8 kali lipat dari sekitar 3.500 dollar AS (tahun 2016) menjadi sekitar 29.300 dollar AS (tahun 2045). Angka ini me­nunjukkan bahwa masyarakat Indone­sia akan memiliki tingkat kemakmuran setara dengan masyarakat sejumlah ne­gara maju.

“Untuk mencapai keemasannya di tahun 2045, saya berpendapat ada tiga prasyarat utama yang harus dipenuhi oleh bangsa Indonesia: negara harus aman dan damai; adil dan sejahtera; serta maju dan mendunia.”

Namun, itu semua tidak akan terja­di dengan sendirinya. Itu semua bukan hanya menjadi tugas pemerintah, tapi tanggung jawab seluruh elemen bang­sa. Segalanya sangat tergantung pada seberapa besar upaya dan komitmen kita sebagai bangsa untuk mewujud­kannya. Angka-angka dan proyeksi di atas tentu tidak akan ada artinya jika kita semua terlena, atau hanya melaku­kan “business as usual”. Kita tidak boleh “jalan di tempat”, apalagi mundur ke belakang.

Untuk bisa maju dan berlari ke de­pan, kita harus mampu menyelesaikan berbagai persoalan bangsa yang kita hadapi hari ini, mulai dari melambat­nya pertumbuhan ekonomi nasional, meningkatnya angka pengangguran, kemiskinan dan ketimpangan, sampai dengan isu-isu terkait dengan stabilitas politik, keadilan sosial, dan persatuan bangsa. Namun, setiap persoalan pas­ti ada solusinya. Yang kita butuhkan adalah patriot-patriot yang visioner, yang selalu berprasangka baik terhadap masa depan bangsanya sendiri.

VISI INDONESIA EMAS 2045

Untuk mencapai keemasannya di ta­hun 2045, saya berpendapat ada tiga prasyarat utama yang harus dipenuhi oleh bangsa Indonesia: negara harus aman dan damai; adil dan sejahtera; serta maju dan mendunia. Ketiganya saling berhubungan, dan tidak dapat dipisahkan antara satu dan lainnya.

Pertama, Indonesia harus menjadi negara yang aman dan damai. Artinya, kedaulatan negara harus terjaga dari segala bentuk ancaman dan gangguan keamanan, yang berasal dari mana pun. Sebelumnya kita telah memotret sejumlah potensi konflik, bahkan perang, di masa depan akibat perebutan sumber daya alam yang semakin menipis. Menyikapi ini, negara kita harus memiliki strategi raya atau grand straegy, yang meliputi mekanisme pertahanan yang dapat menjamin bahwa tidak ada kekuatan militer asing yang mengusik wilayah nusantara dan segala sesuatu yang terkandung di dalamnya. Untuk itu, TNI, sebagai alat utama pertahanan negara, harus terus dibangun dan diperkuat. Modernisasi sistem persenjataan harus dilanjutkan sehingga TNI dapat benar-benar menjadi daya tangkal, sekaligus kekuatan yang efektif dan menentukan.

Membangun hard power itu diper­lukan, namun upaya mencegah terja­dinya konflik dan perang antar negara menjadi prioritas. Indonesia juga harus mengembangkan dan menggunakan soft power nya. Melalui diplomasi, ker­ja sama, dan persahabatan yang diba­ngun dengan baik, pada tataran Govern­ment-to-Government, Military-to-Military, Business-to-Business, sampai dengan People-to-People, maka Indonesia akan dihormati dan disegani oleh negara-ne­gara lainnya.

Indonesia juga harus aman dari se­gala bentuk kejahatan transnasional yang mengancam keselamatan warga serta merugikan perekonomian negara. Sebagai contoh, selain menimbulkan korban jiwa dan kerugian material, aksi terorisme di Indonesia akan berdam­pak sangat buruk terhadap iklim inves­tasi dan perekonomian kita, khususnya di sektor pariwisata. Sedangkan per­dagangan narkoba yang merajalela sa­ngat berpotensi menghancurkan gene­rasi bangsa. Selain melalui pendekatan edukatif dan preventif, Polri kita harus terus ditingkatkan kapasitasnya untuk dapat melakukan penindakan terhadap kejahatan transnasional tersebut. Da­lam prosesnya, Polri harus membangun kerja sama yang erat dengan jaring­an law enforcement negara-negara lain. Yang tidak kalah penting, penegakan hukum di Tanah Air harus dilakukan secara tegas dan tidak tebang pilih.

Hal lain yang fundamental, persa­tuan dan keutuhan NKRI harus terus terpelihara. Kita harus selalu menya­dari, Indonesia ditakdirkan sebagai bangsa yang sangat majemuk. Ditam­bah dengan kondisi geografisnya, seca­ra alami Indonesia selalu memiliki po­tensi konflik komunal berbasis SARA, maupun konflik vertikal di mana ada pihak-pihak yang mencoba memisahkan diri dari NKRI. Kita harus bisa mengantisipasinya, terutama melalui pendekatan-pendekatan sosio-kultural.

Prasyarat kedua untuk mewujud­kan Indonesia Emas 2045, negara ha­rus adil dan sejahtera. Pembangunan harus dilakukan secara berkelanjutan dan berkeadilan dengan berpijak pada empat pilar: pro-growthpro-jobspro-poor; dan pro-environmentPro-growth mengandung makna bahwa sebagai negara berkembang, Indonesia harus memiliki angka pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Caranya, semua variabel pertumbuhan (konsumsi rumah tangga; belanja pemerintah; investasi; dan seli­sih antara ekspor dan impor) harus kita pelihara dan tingkatkan. Pembangunan infrastruktur yang berkelanjutan dan tepat sasaran juga menjadi kunci per­tumbuhan ekonomi. Tentunya dengan memperhatikan aspek pendanaan dan pelaksanaan yang transparan dan akun­tabel. Jika pertumbuhan ekonomi kita tinggi, di atas 6 persen, maka sesuai dengan yang diprediksi oleh lembaga internasional, dua dekade mendatang Indonesia sangat berpeluang masuk ke dalam 5 besar ekonomi dunia.

Pro-jobs bermakna pembangunan ekonomi di Indonesia harus membuka lapangan kerja dan menyerap tenaga kerja yang seluas-luasnya. Pemerintah harus menghadirkan kebijakan-kebijak­an yang dapat menciptakan iklim usa­ha yang kondusif, sehingga mendorong sektor publik dan swasta membuka la­pangan kerja baru. Ini secara otomatis akan mengurangi jumlah penganggur­an di Tanah Air, khususnya generasi muda. Dengan mendapatkan pekerjaan tetap dan penghasilan yang layak akan mencegah mereka terjerat dalam kemiskinan, serta berbagai permasalah­an sosial, termasuk kriminalitas.

Pro-poor artinya pembangunan ha­rus berpihak kepada mereka yang se­cara ekonomi berada dalam kategori sangat miskin (extreme poor), miskin (poor), dan rentan miskin (near poor). Negara harus menyiapkan jaring peng­aman sosial (social safety net) untuk menjamin bahwa mereka dapat men­yambung hidupnya sehari-hari. Peme­rintah juga harus terus membangun ke­pedulian dan mendorong dunia usaha untuk menyalurkan dana corporate social responsibility (CSR) secara tepat sasaran dalam rangka membantu kehidupan saudara-saudara kita tersebut. Secara keseluruhan, kebijakan pro-poor juga akan memperkecil jurang ketimpangan yang ada di tengah-tengah masyarakat kita.

Pro-environment dapat diartikan wa­laupun Indonesia berupaya mengejar pertumbuhan yang tinggi, pembangun­an ekonomi harus memperhatikan ling­kungan hidup. Indonesia, sejak Bali Road Map tahun 2007, memiliki komit­men yang tinggi untuk menjadi warga dunia yang bertanggung jawab dalam konteks menjaga lingkungan hidup dari kerusakan akibat pembangunan, mau­pun dari dampak pemanasan global. Komitmen ini harus terus dipelihara demi kelangsungan hidup generasi an­ak-cucu kita selanjutnya. Ke depan, In­donesia juga harus lebih mengorienta­sikan pembangunannya sesuai dengan prinsip-prinsip green economy.

Jika kesemuanya dapat dijalankan dengan baik, maka di tahun 2045 In­donesia akan menjadi negara dengan ekonomi yang kuat, di mana rakyat­nya menikmati tingkat kemakmuran yang tinggi secara berkeadilan. Selain melalui empat pilar pembangunan eko­nomi, kesejahteraan rakyat akan dapat dicapai jika seluruh warga Indonesia memiliki akses yang sama baiknya un­tuk memperoleh pendidikan yang ber­kualitas dan pelayanan kesehatan, serta akses terhadap teknologi informasi dan komunikasi.

Prasyarat ketiga bagi terwujudnya Indonesia Emas 2045, bangsa Indone­sia harus maju dan mendunia. Seiring dengan meningkatnya kesejahteraan rakyat, bangsa Indonesia harus mulai memfokuskan dirinya untuk hal-hal yang lebih advance. Dengan berbasis pada teknologi tinggi, kita harus mam­pu berinovasi dan menghasilkan pro­duk-produk unggulan berkelas dunia. Ketika Indonesia sudah memasuki ta­hap itu, maka kita akan mampu ber­saing, bahkan memenangkan pasar global.

Mendunia bukan berarti kemudian Indonesia kehilangan jati dirinya. Jus­tru sebaliknya, mendunia artinya kita bisa mengekspor segala keunikan dan keunggulan yang kita miliki sebagai bangsa, seperti kebudayaan, kesenian, adibusana, kuliner, potensi pariwisata, industri kreatif, serta produk-produk unggulan tadi ke berbagai belahan du­nia. Dengan demikian, dunia semakin mengenal Indonesia.

Ketika ekonomi Indonesia semakin kuat di dunia, maka Indonesia akan memiliki status sebagai regional power, sekaligus key global player. Ini akan membuat Indonesia semakin memiliki pengaruh dan suara di dunia interna­sional. Namun status tersebut tentu­nya dibarengi dengan tanggung jawab moral yang juga besar. Misalnya, ketika menghadapi berbagai isu atau perma­salahan yang dihadapi dunia, Indone­sia harus berani menjadi champion da­lam rangka menghadirkan solusi, demi kemajuan bersama.

MENYIAPKAN GENERASI UNGGUL BANGSA

Ketika memahami segala peluang yang kita miliki, maka seharusnya kita se­makin opitimistis, dan semakin terpacu untuk mewujudkan Indonesia Emas 2045. Tidak terasa tinggal 28 tahun lagi, waktu yang tidak lama dalam kon­teks sejarah. Segala mimpi besar dan indah tentang bangsa Indonesia di usia­nya yang ke-100, tidak akan terjadi jika kita tidak segera bangun dari tidur kita, untuk bekerja keras mewujudkannya. Apalagi pada tahun 2030 Indonesia di­ prediksi akan mengalami masa puncak bonus demografi yang penting sekali untuk kita manfaatkan. Tidak banyak pilihan bagi kita, selain menyiapkan ge­nerasi bangsa yang unggul, yang pada saatnya akan mengawaki dan memim­pin Indonesia di masa keemasannya.

Saya berpendapat bahwa ada tiga hal utama yang harus dimiliki oleh generasi unggul ke depan: kapasitas intelektual yang tinggi; karakter dan mentalitas yang kuat; dan kemampuan untuk memimpin secara efektif. Ketiga­nya harus dimiliki secara lengkap.

Ke depan, dengan semakin keras­nya kompetisi global, semakin dibutuh­kan kapasitas intelektual yang tinggi. Teknologi informasi dan komunika­si akan terus berkembang pesat. Jika kita tidak mampu memanfaatkannya dengan baik, maka kita akan terting­gal, dan tergilas zaman. Generasi yang unggul adalah mereka yang memiliki kecerdasan intelektual, dan intellectual curiosity atau rasa keingintahuan yang tinggi terhadap segala sesuatu. Mereka selalu haus untuk menambah ilmu pe­ngetahuan, wawasan, dan pengalaman sepanjang hidupnya. Mereka juga yang akan menjadi inovator-inovator yang akan melahirkan gagasan dan produk yang akan mengubah banyak hal di du­nia. Dan merekalah yang akan menjadi pemenang dalam rezim globalisasi di abad 21.

Hal kedua yang harus dimiliki oleh generasi unggul adalah karakter dan mentalitas yang kuat. Kecerdasan in­telektual tanpa dibarengi oleh karakter dan integritas, hanya akan melahirkan “monster” yang mengerikan. Misalnya, ada seseorang ber-IQ tinggi, tapi ia me­miliki karakter yang sangat ambisius, di mana demi sukses semua cara ia ha­lalkan. Tipe semacam ini justru sangat berbahaya, terlebih ketika ia menda­patkan otoritas untuk memimpin. Kita ingin melahirkan generasi yang cer­das, dan juga memiliki prinsip-prinsip moral dan etika, serta menjunjung ting­gi hukum dan nilai-nilai kemanusiaan.

Terkait dengan mentalitas yang kuat, kita ingin melahirkan generasi yang memiliki “never give up spirit”, atau semangat pantang menyerah. Mereka tidak mudah patah arang ketika meng­alami kegagalan. Seperti para pejuang kemerdekaan 1945, mereka adalah pat­riot, yang memiliki mental petarung, yang berani mengambil risiko untuk se­buah cita-cita yang mulia. Bahkan, me­reka rela meninggalkan zona nyaman­nya karena memiliki tujuan yang lebih besar dari dirinya sendiri.

Ketiga, generasi unggul adalah ge­nerasi yang memiliki kemampuan un­tuk memimpin secara efektif. Pemim­pin haruslah visioner, dan mampu mempengaruhi para pengikutnya un­tuk bersama-sama mencapai cita-cita besar dan tujuan yang telah ditetapkan. Pemimpin juga harus memiliki kebera­nian untuk menghadapi, dan memim­pin perubahan untuk sesuatu yang le­bih baik.

Untuk menjadi pemimpin yang tangguh, seseorang harus dibentuk dan ditempa dengan keras, serta diisi dan dipersiapkan dengan baik dan bijak. Mengapa kepemimpinan menjadi fak­tor yang begitu penting dalam mewu­judkan Indonesia Emas 2045? Karena kepemimpinan adalah faktor peng­ganda, atau multiplier factor. Jika dibun­gkus oleh kepemimpinan yang efektif, maka kapasitas intelektual dan mental­itas yang kuat tadi, akan menghasilkan output yang berlipat ganda.

Akhirnya, pemimpin yang baik adalah ia yang menyiapkan kader-kader pemimpin selanjutnya. Dalam rangka mewujudkan Indonesia Emas 2045, sebagai bangsa kita harus bersatu, bergandengan tangan. Meskipun insya Allah diberikan umur panjang, di tahun 2045, saya dan generasi saya sudah harus fade away. Oleh karena itu, generasi hari ini harus mempersiapkan jalan, sebagai jembatan yang kokoh. Pada saatnya, generasi berikutnya lah yang akan memimpin kita semua. Mari kita bersama wujudkan Indonesia Emas 2045. Ini adalah bentuk terima kasih atas perjuangan dan pengorbanan generasi pendahulu bangsa, dan tanggung jawab kita atas nasib dan masa depan anak-cucu kita.

Dirgahayu ke-72 Republik Indonesia. Sampai mati, kau kucinta dan kubela.

*)Direktur Eksekutif The Yudhoyono Institute

(Majalah Strategi)