Agus Harimurti Yudhoyono (politiktoday)

Oleh: Renanda Bachtar*)

Apa yang telah dicapai bangsa dalam perjalanan 72 tahunnya ini? Dalam realitasnya, permasalahan kebangsaan berkembang ke arah yang tidak menggembirakan; mulai dari adanya dis-orientasi tujuan dasar berbangsa dan bernegara, sampai kepada semakin tidak dihayatinya nilai-nilai Pancasila yang sedianya menjadi meja statis (dasar yang statis, yang berisikan elemen-elemen “jiwa Indonesia”) dan sekaligus “leidstar dinamis”, bintang penunjuk jalan ke mana seharusnya bangsa ini berjalan.

Jika Pancasila tak lagi dihayati, maka menurunnya etika dalam tataran kehidupan berbangsa dan bernegara; pudarnya kesadaran dan kebanggaan terhadap nilai-nilai budaya dan kearifan lokal sudah tentu menjadi paket turunannya. Nah karena namanya juga paket, bonusnya pun tidak tanggung-tanggung, yaitu ancaman disintegrasi bangsa dan intoleransi yang lahir akibat sikap hidup masyarakat yang menjauh dari prinsip sesanti Bhinneka Tunggal Ika. Semua hal itu diperparah dengan melemahnya kedaulatan kita, baik sebagai akibat terjangan efek globalisasi yang melanda pada hampir semua aspek dan sendi sendi kehidupan bermasyarakat, atau, ini yang lebih menyedihkan, akibat pemimpin nasional kurang “istiqomah” menjaga agar kekuasaannya tetap dibatasi oleh sensor rasa, yang berfungsi sebagai jaring pengaman untuk selalu menjaga rasa kecintaan kepada bangsanya, bersumpah setia kepada kedaulatan negaranya agar tidak dieksploitasi bangsa lain atau kelompok usaha asing secara tidak proporsional, berlebihan, tanpa meletakkan hak rakyat sebagai prioritas.

Politik Kekuasaan dan Penguasaan

Politik negara seharusnya menjadi alat untuk mencapai tujuan negara sebagaimana yang diamanatkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 45, dengan memberikan ruang seluas-luasnya bagi tumbuh dan terakomodasinya aspirasi rakyat. Namun yang terjadi saat ini politik negara cenderung mengalami pengerdilan tujuan menjadi sekadar perjuangan individu atau kelompok untuk menghasilkan kuasa yang kemudian dipergunakan untuk kepentingan individu dan atau kelompok untuk menciptakan monopoli kekuasaan dan penguasaan sumber-sumber ekonomi. Di bidang politik power tend to nepotism, dan di bidang ekonomi power tend to corrupt.

Akibat pengalaman di masa Orde Baru dahulu, pembatasan masa bhakti seorang presiden merupakan bagian dari ikhtiar politik guna membatasi kekuasaan yang tend to corrupt, tapi apakah seorang presiden yang hanya berkuasa satu periode tidak bisa KKN? Tentu saja bisa. Lantas, apa yang membedakan dan mampu mencegah gairah kekuasaan demi sebesar-besarnya keuntungan pribadi? Jawabannya sederhana: Nasionalisme dan integritas pemimpin. Hanya ini yang jadi faktor pembeda satu pemimpin dengan yang lainnya. Pertanyaan selanjutnya seberapa sulitnya mendapatkan pemimpin dengan kriteria seperti itu?

Trend Anak Muda yang Mengubah Dunia

Banyak kalangan percaya bahwa anak muda memiliki kemampuan yang tidak kalah dengan orang tua yang lebih mapan usianya dan karena itu perlu diberikan kesempatan untuk memimpin. Usia yang muda tidak bisa selalu menjadi ukuran untuk menilai kemampuan, karena usia mapan juga tidak bisa menjadi jaminan pasti lebih baik dari yang muda karena memang tidak ada korelasi yang relevan antara usia dengan capability, integrity, commitment dan satu hal penting lagi: Nationalism.

Seringkali anak muda tampil mendapat amanah untuk memimpin setidaknya berdasarkan kepercayaan umum bahwa anak muda lebih enerjik, lebih gesit, lebih idealis, lebih visioner, dan lebih memahami tantangan milenial saat ini. Tentu saja karena ini persepsi bisa saja salah, namun setidaknya kriteria-kriteria tersebut dipercaya melekat erat pada diri anak muda.

Untuk menyegarkan ingatan kita, selain para pemimpin perintis kemerdekaan seperti Sukarno, Hatta, Sutan Syahrir, Chaerul Saleh, Adam Malik dan masih banyak lagi, berikut adalah anak muda yang ketika terpilih menjadi pemimpin daerah masih berusia muda (di bawah 40 tahun); M Zainil Majdi (Gubernur NTB), M. Ridho Ficardo (Gubernur Lampung), Zumi Zola (Gubernur Jambi), Mardani Maming (Bupati Tanah Bumbu), Yopi Arianto (Bupati Indragiri Hulu), Indah Putri Indriani (Bupati Luwu Utara), Muhammad Syahrial (Walikota Tanjung Balai), Mochamad Nur Arifin (Wagub Trenggalek) dan lain lain.

Di belahan dunia yang lain, pemimpin berusia muda di bawah 40 tahun yang diberi amanah untuk menjawab tantangan milenial negaranya juga mulai menjadi tren, misalnya: Atifete Jahjaga (Presiden Kosovo), Alexis Tsiprahs (Perdana Menteri Yunani), Irakli Garisbashvili (Perdana Menteri Georgia), Joseph Kabila (Presiden Kongo).

Bagaimana di dunia bisnis? Nama-nama seperti Steve Jobs (usia 40-an, Apple), Mark Zuckerberg (31 th, Facebook), Larry Page (42 th, Google), Evan Spiegel (27 th, Snapchat), Garret Camp (37 th, Uber Taxi), Jack Ma (36 th, Alibaba.com) adalah sedikit dari daftar pengusaha muda sukses yang mengubah wajah peradaban dunia.

AHY, Satria Piningit?

Apa hubungan AHY (Agus Harimurti Yudhoyono) dengan segala penjelasan di atas? Tentu saja karena disebut di awal dalam judul tulisan ini, penulis memang ingin menarik korelasi analisis logis-empiris, antara kerinduan akan figur pemimpin yang “idealis-nasionalis-visioner” dengan sosok pribadi AHY.

AHY menjalankan pendidikan taruna di SMA Taruna Nusantara selama tiga tahun dan meraih penghargaan terbaik dan diganjar medali Garuda Trisakti Tarunatama Emas. AHY kemudian masuk Akmil dan meraih penghargaan Tri Sakti Wiratama pada tingkat I dan II dan terpilih menjadi Komandan Resimen Korps Taruna Akademi Militer pada tahun 1999. AHY lulus AKMIL dengan predikat terbaik dan meraih penghargaan pedang Tri Sakti Wiratama dan Adhi Makayasa pada Desember 2000. Setelah itu, dia mengikuti Sekolah Dasar Kecabangan Infanteri dan lulus terbaik Kursus Combat Intel pada tahun 2001. AHY bergabung dengan Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad). Pada tahun 2002, dia menjadi Komandan Peleton di Batalyon Infanteri Lintas Udara 305/Tengkorak yang berpartisipasi dalam Operasi Pemulihan Keamanan di Aceh dan pernah menjadi Pasiops Batalyon Infanteri Mekanis Kontingen Garuda XXIII-A di Libanon.

Selain mengikuti pendidikan militer di Fort Benning Amerika dan terpilih sebagai lulusan terbaik serta mendapat sejumlah penghargaan dari sekolah tersebut, AHY juga mengikuti pendidikan Command and General Staff College (CGSC) di Fort Leavenworth, Kansas, Amerika Serikat dan lulus dengan hasil sempurna dengan IPK 4.0. AHY juga diketahui mengantongi tiga gelar master, yaitu Master Kajian Strategi dari S Rajaratam School of International Studies, Nanyang Technological University, Singapore (2006), Master Administrasi Publik dari John F. Kennedy School of Government, Harvard University, U.S. (lulus dengan IPK sempurna 4.0); dan Master of Arts Leadership and Management dari George Herbert Walker School of Business and Technology, Webster University (IPK 4.0).

Cukuplah dengan deretan prestasi tersebut, tahun ini AHY maju sebagai Cagub DKI dan tidak mendapat suara yang cukup untuk melanjutkan kontestasi di panggung Pilkada DKI 2017, tempat ia mencoba ruang pengabdian lain. Survei elektabilitas AHY dari waktu ke waktu cukup unik. Melesat di 20%an selepas 5 hari pasca-pengumuman pencalonannya, dan bahkan memuncaki cukup lama perolehan suara dibanding 2 kontestan lainnya, yaitu dengan nilai dukungan di atas 30%an, namun menjelang pencoblosan menurun dan akhirnya hanya mendapat 17% suara pemilih. Tentu saja banyak faktor yang bisa menyebabkan naik-turunnya perolehan suara AHY, tetapi fakta yang tidak terbantahkan adalah bahwa kontestan termuda yang tahun 2017 ini “baru” berusia 38 tahun dan menjadi kontestan termuda ini mampu mendapat kepercayaan besar sekalipun diperbandingkan dengan tokoh sekelas Basuki Tjahya Purnama sang petahana maupun Anies Baswedan yang mantan menteri itu. Tak pelak, fenomena “yang muda yang memimpin” bukan lagi sebatas pewacanaan, tapi jawaban atas tren yang lahir sebagai jawaban dari tantangan hari ini dan masa depan.

Apa yang Diharapkan dari Seorang AHY?

Sosok pemimpin yang “idealis-nasionalis-visioner”! Penanaman jiwa nasionalis patriot pembela NKRI yang mengalir di darah dan jiwa AHY, ditambah segudang prestasi akademis yang ia peroleh merupakan bukti kecerdasan dan kemampuannya dalam berpikir dan memimpin. Semuanya itu diharapkan mampu membentuk AHY sebagai seorang Satria Piningit yang muncul dari Kawah Chandradimuka untuk tampil membangun Indonesia dengan sehebat-hebatnya. Dan itu demi Indonesia. Demi kedaulatan bangsa dan negara sebagaimana paham Trisakti yang digagas Sukarno, sang Founding Father. Trisakti yang diamalkan, bukan hanya dirapalkan.

Semoga kelak Satria Piningit ini tampil memimpin perubahan di negara ini, merealisasikan Indonesia sebagai negara yang; Maju karena cerdas, visioner dan kompetitif, berdaulat karena dipimpin seorang patriot nasionalis yang tulus mencintai bangsa dan negaranya, serta mampu berbicara tegas dengan kepala tegak di panggung dunia karena berintegritas.

Saya merindukan datangnya masa itu. Apakah rakyat Indonesia akan memberikan amanah bagi AHY untuk tampil memimpin Indonesia pada tahun 2019? Atau rakyat lebih percaya kepada tokoh senior yang lahir dari rahim koalisi partai-partai yang menjalankan konsep power sharing semata? Lalu bagaimana ide pemimpin muda nasional yang “idealis-nasionalis-visioner” tadi? Kita kubur dalam-dalam saja?

Saya akan tampil terdepan membela pikiran dan keyakinan saya bahwa bangsa ini butuh figur seperti AHY lebih dari yang mereka bayangkan dan lebih dari yang mampu mereka pikirkan. Bagaimana dengan kalian?

*)CEO Vote Getter, Konsultan Marketing Politik/Sekretaris Departemen Koordinasi Perekonomian Partai Demokrat/Bendahara DPP Persatuan Alumni GMNI (Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia)

(politiktoday)