Ferdinand Hutahaean (sujanews)

Oleh : Ferdinand Hutahaean*)

Pasca dihentikannya penyelidikan atas laporan terpidana Antasari Azhar oleh Bareskrim Polri sebagaimana yang disampaikan oleh Direktur Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri Brigadir Jenderal Herry Rudolf Nahak yang menyatakan bahwa pihaknya tidak dapat menemukan dua alat bukti sebagai syarat untuk meningkatkan status laporan tersebut, tampaknya membawa atmosfir baru dalam kehidupan Antasari. Penghentian ini bisa berujung kepada dua hal, pertama Antasari menjadi ksatria dengan mengaku salah dan minta maaf atau Antasari harus berhadapan dengan ancaman hukuman atas laporan pencemaran nama baik yang dilakukannya kepada Presiden RI Ke 6 Susilo Bambang Yudhoyono yang juga sekaligus Ketua Umum Partai Demokrat.

Babak baru dimulai, bola ditangan Antasari Azhar, apakah dirinya adalah seorang ksatria atau hanya seorang pecundang politik tergantung kepada sikap dan langkah Antasari selanjutnya. Antasari mungkin saja saat ini menyesali dirinya, atau mungkin saja sedang menangisi dirinya yang telah tanpa berpikir panjang menebar berita fitnah tentang SBY yang dituduh berada dibalik rekayasa hukum atas jatuhnya Antasari kedalam hukuman penjara atas vonis pembunuhan Nasrudin, rekan Antasari sejak lama. Atau mungkinkah saat ini Antasari tertawa dengan semua situasi ini karena dirinya sudah menduga akan ujung dari laporannya? Jika demikian, maka dugaan bahwa tindak tanduk Antasari hanyalah untuk kepentingan politik menjadi patut diambil sebagai sebuah kesimpulan.

Perkara baru akan bergulir yaitu proses tindak lanjut dari laporan pencemaran nama baik SBY yang dilakukan oleh Antasari Azhar. 15 Pebruari 2017 tim Kuasa Hukum SBY resmi melaporkan Antasari Azhar ke Bareskrim Polri setelah malam harinya 14 Pebruari 2017 mendatangi Bareskrim. Antasari dilaporkan dengan Pasal 310 dan 311 KUHP juncto Pasal 27 UU ITE No 8 tahun 2011. Ancaman hukuman yang berat dan tentu bisa membawa Antasari kembali mendekam didalam penjara adalah ancaman serius dan bukan main-main. Antasari sedang menggali lobang untuk dirinya.

Perkara hukum yang menjerat Antasari Azhar bukanlah perkara rekayasa atau perkara yang sengaja dibuat seperti yang dituduhkan oleh Antasari. Opini dan persepsi pribadi seorang terpidana adalah sebuah persepsi buruk yang sama sekali tidak layak dipercaya. Seorang terdakwa di pengadilan memang boleh saja berbohong untuk membela dirinya, itu sah saja. Namun jika terpidana masih harus terus menciptakan kebohongan untuk membersihkan dirinya adalah sebuah sikap buruk, jahat dan barbar. Terlebih lagi jika ada yang percaya dengan opini serta persepsi seorang terpidana sebagai sebuah kebenaran.

Saya sangat prihatin, dan tentu kita semua harus prihatin melihat sikap presiden Jokowi yang pernah memberikan karpet merah bagi seorang terpidana di Istana. Presiden itu mewakili negara, yang menjadikan Antasari itu menjadi terhukum dan menjadi terpidana adalah atas kewajiban Negara, lantas mengapa Presiden Jokowi seperti berseberangan sikap dengan negara dan seolah percaya dengan persepsi Antasari? Presiden kedepan harus bisa lebih bijak dalam mengelola negara. Apakah Presiden tidak merasa risih percaya kepada persepsi Antasari jika mendengar rekaman suara Antasari dengan Rani yang dijadikan bukti di pengadilan dulu?

Kembali kepada pribadi Antasari Azhar. Ancaman proses hukum didepan mata. Pilihan ada ditangan Antasari.

Yang kami pahami, SBY pun tidak pernah ingin memenjarakan siapapun, tidak ingin menghukum siapapun, tapi SBY harus membela dirinya dari serangan fitnah secara benar yaitu menempuh jalur hukum. Saya meyakini, andai Antasari meminta maaf secara terbuka telah memfitnah SBY, maka pintu maaf akan dibukakan kepada Antasari karena SBY adalah sosok negarawan yang bijaksana.

Masalahnya sekarang, ada pada Antasari. Tuan Antasari, beranikah tuan dengan jujur mengaku salah dan minta maaf?

Makasar, 18 Mei 2017

*)Komunikator Politik Partai Demokrat