Zaenal A Budiyono (ilustrasi Hafiz/Rilis.id)

Oleh: Zaenal A Budiyono*)

LOLOSNYA Inggris ke semifinal di Piala Dunia Rusia 2018 disambut meriah para pendukungan di seantero Britania Raya. Pasukan Gareth Southgate yang awalnya diragukan, kini mencatat sejarah. The Three Lions dipandang sebelah mata karena didominasi banyak anak muda minim pengalaman.

Misalnya pahlawan Inggris, kiper Jordan Pickford, saat ini baru berusia 23 tahun. Begitu juga dengan Raheem Sterling, Marcus Rashford, Jesse Lingard, Dele Alli dan John Stones yang baru memasuki usia awal 20-an. Southgate berani meninggalkan banyak bintang senior, atau mencadangkannya, demi membentuk tim muda penuh gairah.

Tak hanya Inggris, Prancis yang mengejutkan juga ditopang anak-anak muda “bau kencur”. Bahkan bomber mereka, Kylian Mbappe masih berusia 19 tahun! Faktanya pasukan Didier Deschamp mampu melangkah jauh. Jika dirata-rata, usia 23 squad Prancis sama dengan Inggris, yaitu 26 tahun. Dua semifinalis lain tak kalah muda, rata-rata usia pemain Belgia sekitar 27,6 tahun, dan Kroasia 27,9 tahun.

Statistik ini semakin menarik manakala dihadapkan pada rataan usia pasukan tim-tim tradisional Piala Dunia seperti Brasil (28,6 tahun), Argentina (29,3 tahun) dan Spanyol (28,6 tahun) yang pulang lebih cepat alias tersingkir di babak 16 besar. Kesimpulannya, Piala Dunia Rusia 2018 menjadi milik anak-anak muda yang meskipun minim pengalaman, namun mereka bisa terbang jauh bermodalkan semangat dan gairah bermain.

Tren “kemenangan” anak-anak muda tak hanya berlaku di sepak bola. Di kancah politik pun gejala yang sama terjadi dalam lima tahun terakhir. Dimulai dari terpilihnya Justin Trudeau sebagai PM Kanada di usia 44 tahun pada 2015, lalu Emmanuel Macron memimpin Prancis pada usia 39 tahun. Irlandia tidak mau kalah, setelah tahun lalu memilih Leo Varadkar pada usia 38 tahun.

Yang terbaru, 2017, tentu saja kemenangan sensasional Sebastian Kurz sebagai Kanselir Austria di usia 31 tahun. Hebatnya, peran mereka di panggung politik dunia juga tidak sehijau usianya. Macron misalnya, hanya dalam setahun pemerintahannya digambarkan oleh kolumnis James Traub sebagai anak muda yang tak hanya seorang presiden, melainkan penguasa. “One year after his election, it’s clear Emmanuel Macron isn’t just a president—he’s a liberal man of providence”.

Tak mau kalah dengan Macron, Trudeau di Kanada juga mencatat capaian politik luar negeri signifikan. Ia bertekad mengembalikan peran Kanada di banyak isu internasional, termasuk menduduki kursi Anggota Tidak Tetap Dewan Keamanan PBB (UNSC). Penampilannya yang cool membuat citra Kanada juga terangkat. Tak berlebihan bila seorang Colin Robinson menyimpulkan di era pemerintahan Trudeau, Kanada banyak mendapatkan sorotan dunia. “Under his leadership, Canada’s international brand has improved”.

Gejala darah muda bukan hanya menjadi tren di Amerika dan Eropa. Gejala yang sama juga melanda Asia, dan ASEAN. Kita lihat di Malaysia, PM Mahathir Muhammad (Dr M) mengangkat dua menteri berusia di bawah 30 tahun. Hal ini sangat mengejutkan, karena Malaysia selama ini dikenal sebagai negara konservatif dengan indeks demokrasi yang tidak terlalu menggembirakan. Ternyata kembalinya Mahathir diikuti dengan perubahan kultur di sana, dan memberi jalan bagi anak-anak muda untuk menapaki jalur politik.

Peremajaan politik global terjadi karena banyak faktor, salah satu yang paling utama adalah pengeruh perkembangan teknologi informasi yang mengubah hampir semua segi kehidupan. Kita tahu sejak awal 2000-an, new media menjadi elemen penting yang menopang kehidupan masyarakat di berbagai negara. Internet menjadi tools, tak hanya di ekonomi, termasuk juga politik.

Arab Spring 2010 terjadi karena gerakan partisipasi politik anak-anak muda yang dengan dukungan teknologi. Mereka memobilisasi massa melalui media sosial hingga berujung tumbangnya rezim-rezim “lama” yang antidemokrasi. Selain itu percepatan informasi membuat anak-anak muda lebih cepat belajar dan mencapai level leader lebih cepat dari generasi sebelumnya.

Justru generasi tua yang terlihat gagap dengan perkembangan yang terjadi. Sebagian yang tak mampu beradaptasi tersingkir, sedangkan yang mampu menyelami perkembangan terbukti bisa bertahan. Kisah mengejutkan kemenangan Dr M di usia 93 tahun, karena ia menyadari perubahan zaman yang terjadi.  Hal itu dibuktikan dengan banyaknya anak muda berlabel expert staff di sekelilingnya. Mereka bertugas antara lain untuk memviralkan setiap pidatonya melalui social media dan lainnya.

Bagaimana dengan Indonesia? Sejak 2011 Indonesia diakui sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia setelah India dan Amerika Serikat (AS). Namun capaian ini belum diikuti oleh adanya kesempatan yang luas bagi politisi dan aktivis muda untuk menduduki jabatan-jabatan strategis nasional. Sejak pemilu 1999, para pemimpin yang muncul masih didominasi mereka yang tua dan berpengalaman.

Namun semakin kesini terjadi perkembangan positif di tingkat regional, dengan terpilihnya sejumlah nama muda Pilkada mulai dari 2015 sampai 2018. Pada Pilkada terakhir, Ridwan Kamil (45) misalnya muncul sebagai pemenang di Jawa Barat. Kemudian di Jawa Timur ada nama Emil Dardak di posisi Wakil Gubernur yang baru berusia 34 tahun. Tren positif ini diharapkan terus berjalan sampai Pilpres 2019 mendatang.

Ironisnya, persyaratan Presidential Threshold (PT) 20 persen di Pilpres 2019 menjadi handycap yang menyulitkan anak-anak muda untuk mendapat kesempatan. Akibatnya langsung dirasakan, dimana sampai saat ini nama yang muncul hanya dua tokoh lama yaitu Presiden Joko Widodo dan Prabowo Subianto. Asa munculnya poros ketiga juga makin mengecil seiring konfigurasi koalisi yang kurang dinamis. Kini celah yang tersedia hanya pada posisi cawapres, dimana Jokowi dan Prabowo masih menimbang nama-nama yang muncul di bursa pencalonan.

Setidaknya ada tiga nama anak muda di bawah 45 tahun yang layak diperhitungkan untuk posisi vice president. Layak dalam arti memiliki kapasitas, kompetensi, kesempatan, dan didukung partai tertentu. Mereka antara lain Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), 39 tahun, Romahurmuziy (Romy), 43 tahun, dan Puan Maharani (44 tahun).

AHY merupakan new blood di politik nasional, dimana sebelumnya ia menghabiskan 16 tahun pengabdian di militer. Pada 2017 ia mundur dari ketentaraan untuk bertarung di Pilkada DKI Jakarta. Di awal kemunculannya, AHY mendapat respon positif publik, dimana elektabilitasnya pernah mencapai 35 persen. Pilkada ibukota yang keras membuat namanya akhirnya kandas di akhir pertarungan. Meski demikian, modal kompetisi di Jakarta membuat AHY memiliki pengalaman politik yang lebih matang dari sebelumnya.

Kedua, Romy dikenal sebagai politisi muda handal. Ia mematahkan mitos pemimpin senior di Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang telah lama berjalan. Meski sempat mendukung Prabowo di Pilpres 2014, Romy kini muncul sebagai pembela Jokowi. Di banyak kesempatan ia menjelaskan berbagai isu yang menerpa pemerintahan Jokowi. Daya tahan politiknya juga cukup teruji, yang bisa menjadi modal mengarungi pertarungan 2019 yang keras.

Terakhir, Puan memiliki pengalaman panjang di politik, baik sebagai oposisi maupun pemerintah. Ia belajar banyak dari kedua orang tuanya, dan kakeknya yang tak lain proklamator Indonesia. Dengan mesin politik sebesar PDIP, Puan memiliki kesempatan untuk bersaing di 2019.

Selain kapasitas, dukungan elite dan mesin politik, cawapres mendatang juga dituntut memiliki elektabilitas mumpuni. Hal ini sebagai konsekuensi dari pelaksanaan Pilpres Langsung, dimana suara publik sangat menentukan. Survei Poltracking Februari 2018 memuculkan nama AHY sebagai cawapres terpopuler, dengan elektabilitas 22,3 persen. Sementara Puan terpaut jauh, dengan elektabilitas 1,9 persen, dan Romy dengan 0,3 persen.

Temuan Alvara Research Center juga senada, dimana dalam bursa cawapres, nama AHY menempati posisi teratas dengan elektabilitas mencapai 17,2 persen, mengungguli Gatot Nurmantyo (15,2 persen), Jusuf Kalla dan Anies Baswedan. Namun demikian, modal elektabilitas AHY yang relatif baik tidak selalu berbanding lurus dengan peluang mendapat tiket Cawapres. Kunci terakhir berada di tangan elit koalisi partai, apakah mereka akan melihat hasil survei sebagai pertimbangan memilih cawapres, atau semua diserahkan kepada selera capresnya. Dua-duanya memiliki kelebihan dan kekurangan.

Lepas dari itu, sekali lagi para elite harus berani membuat terobosan untuk memberi “karpet merah” bagi anak-anak muda. Jika tidak maka demokrasi kita tidak akan mengalami kemajuan berarti, sementara negara-negara lain sudah mengantisipasi “tanda-danda zaman” tersebut. Kita lihat hasilnya beberapa minggu lagi.

*)Direktur Eksekutif Developing Countries Studies Center (DCSC) dan Dosen FISIP Universitas Al-Azhar Indonesia

(Rilis.id)