Presiden RI ke-6, Ketua Umum Partai Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono (repro: politiktoday)

Partai Demokrat kembali diserang. Kali ini serangan langsung dialamatkan ke jantung partai. Ketua umum partai berlambang mercy itu, Susilo Bambang Yudhoyono diterjang dengan isu terlibat dalam korupsi pengadaan KTP berbasis elektronik yang dianggarkan di Kementrian Dalam Negeri. Tak tanggung tanggung pula, yang peluncur peluru adalah Mirwan Amir mantan “Anak” Demokrat yang sudah berganti baju menjadi kader Partai Hanura.

Serangan kepada Partai Demokrat dan SBY serta keluarganya memang tidak sekali ini saja dilancarkan pasca tidak lagi menjabat sebagai Presiden. Pada saat putra pertamanya Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) mencalonkan diri di Pilkada 2017 lalu, SBY diserang secara membabi buta. Tujuannya jelas, agar AHY dan Sylviana dua jagoan Partai Demokrat di Pilgub DKI keok.

Cara keji itu terbukti berhasil. Hanya berselang jam sebelum pencoblosan, Mantan Ketua KPK Antasari Azhar mengeluarkan pernyataan tak berdasar dan keji bahwa SBY adalah dalang dibelakang kasus hukum yang menimpanya. Antasari berucap demikian setelah permohonan grasinya diloloskan Presiden Jokowi. Lalu tak lama kemudian, iapun menghilang. Antasari sukses “mengalahkan” Demokrat dan AHY – Sylviana.

Tidak hanya sampai disitu, upaya keji terus dilakukan untuk menggerus pengaruh SBY dan memojokkan Partai Demokrat. Silih berganti peluru fitnah dikeluarkan.

Sepertinya ada yang tidak lazim dan aneh dibalik serangan demi serangan kepada SBY dan Demokrat itu. Tudingan bahwa Demokrat dibalik kasus Century misalnya, kenapa selalu diangkat. Bukankah sudab ada keputusan Pansus Century yang menyerahkan rekomendasi kepada KPK. Lalu soal Hambalang, bukankah sudah selesai dan pelakunya sudah pula dihukum. Dan tentu saja, kalau ada tindak lanjut dari kasus hukum itu, kenapa KPK diam saja.

Kali ini entah siapa yang mendorong Mirwan Amir untuk bersuara. Lidahnya begitu ringan menyebut nama SBY dan mengaku pernah ikut rapat di Cikeas. Tapi akibat dari “pengakuan palsunya” itu, Mirwan terancam dilaporkan ke polisi. Ia patut diduga memberikan kesaksian palsu di persidangan. Sekretaris Majelis Tinggi Partai Demokrat, Amir Syamsuddin malah lebih sinis. Ia menyebut Mirwan tidak ada di Cikeas dalam rapat rapat partai. Amir bahkan mempertanyakan kapasitas Mirwan.

Selain Mirwan, aktor serangan ke SBY kali ini juga adalah mantan pengacara Anas Urbaninggrum, Firman Wijaya,SH. Firman memang menjadi pembela Anas saat disidang dalam kasus korupsi pembangunan sarana olahraga di Bukit Hambalang.

Tali temali inilah yang patut kita pertanyakan. Apakah ada hubungannya dengan serangan kepada SBY?

Ucapan Mirwan yang menyebutkan SBY memerintahkan agar proyek e-KTP harus tetap jalan tentunya tidak bisa diterjemahkan bahwa SBY terlibat. Sebagai seorang Presiden, SBY bersumpah akan menjalankan UU yang telah ditetapkan. Proyek e-KTP adalah amanat UU Sistim Kependudukan dan Catatan Sipil, dan KTP berbasis elektronik adalah salah satu instrument penting dari perwujudan UU tersebut. Jika SBY menghentikan proyek tersebut, maka sebagai Presiden dia bisa di impeacht oleh parlemen.

Kasus kongkalingkong di proyek pengadaan peralatan e-KTP adalah sisi lain dari proyek tersebut. Dan buktinya, hingga hari ini Presiden Jokowi juga tidak menghentikan proyek yang sama. Artinya, kasus hukum dan amanat UU adalah dua sisi yang berbeda. SBY wajib menjalankan UU yang telah ditetapkan, dan jika ada kasus hukum, silahkan tetap jalan dan berproses.

Jadi kembali kepada serangan Mirwan dan Firmam kepada SBY dan Partai Demokrat mari kita lihat dari kacamata yang jauh lebih kritis. Bahwa ada yang takut SBY dan PD kembali menuai pamor di hati rakyat. Tentu ada kelompok yang tidak suka hal itu terjadi. Dan salah satu cara membuat Demokrat yang tengah bangkit kembali terpuruk adalah seranh dan serang meski dengan fitnah sekalipun.

Cara cara keji ini akan terus dilakukan. Targetnya jelas, elektablilitas Partai Demokrat menurun dan kewibawaan SBY terdegradasi masif. Semua akan melakukan itu. Demi menjatuhkan SBY dan menghapus legacy yang pernah dicetaknya.

Tapi tokh, Gusti Allah ora sare kan, Tuhan tidak tidur. Pelan namun pasti semua akan terbuka.

(Burhanuddin Khusairi/politiktoday)