Presiden RI ke-6 (2004-2014) yang juga Ketua Umum Partai Demokrat Prof Dr Susilo Bambang Yudhoyono menggelar konferensi pers menyikapi dugaan penyadapan yang dilakukan terhadap dirinya. Konferensi pers tersebut digelar di Kantor Pusat Partai Demokrat, Wisma Proklamasi 41, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu sore (1/2/2015). (mcpd/iwan k)

Jakarta: Presiden RI ke-6 (2004-2014) yang juga  Ketua Umum Partai Demokrat Prof Dr  Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) akhirnya menggelar konferensi pers menyikapi dugaan penyadapan yang dilakukan terhadap dirinya. Konferensi pers tersebut digelar di Kantor Pusat Partai Demokrat, Wisma Proklamasi 41, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu sore (1/2/2015).

Konferensi pers itu digelar menyikapi pernyataan Basuki T Purnama (Ahok) dan tim kuasa hukumnya yang mengaku memiliki bukti soal telepon Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono kepada Ketua Umum Majelis Uiama Indonesia KH Ma’ruf Amin. Pengakuan itu disampaikan pada Selasa kemarin dalam sidang kasus penodaan agama dengan terdakwa Ahok.

Hadir dalam konferensi pers tersebut Ibu Ani Yudhoyono, Ketua Dewan Kehormatan DPP-PD Dr Amir Syamsuddin, Wakil Ketua Umum DPP-PD Dr Syarief Hasan, Sekretaris Jenderal DPP-PD Dr Hinca IP Pandjaitan, Bendahara Umum Indrawati Sukadis, Direktur Eksekutif DPP-PD Fadjar Sampurno, Wakil Ketua Komisi III DPR-RI dari FPD Dr Benny K Harman, Wakil Sekjen DPP-PD Andi Timo Pangerang; Didi Irawadi; M Rifai Darus, Ketua Departemen Koordinasi Perekonomian DPP-PD Sartono Hutomo, Ketua Divisi Komunikasi Publik DPP-PD Imelda Sari, Ketua Divisi Tanggap Darurat DPP-PD Umar Arsal, Wakil Direktur Eksekutif DPP-PD Irawan S Leksono dan Daisy M Silanno, Sekretaris Divisi Komunikasi Publik DPP-PD Hilda Thawila dan para petinggi Partai Demokrat lainnya.

Berikut Transkrip Pernyataan SBY Menyikapi Dugaan Penyadapan tersebut:

Bismillahirohmanirohim

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Salam sejahtera untuk kita semua

Rekan-rekan wartawan yang saya cintai,

Alhamdullilah, kita dapat bertemu kembali pada sore hari ini. Semoga pertemuan kita membawa berkah

Saya pada kesempatan yang baik ini ingin menyampaikan penjelasan; merespons apa yang kemarin dalam persidangan kasus hukum Pak Ahok, yang baik pengacara maupun Pak Ahok, mengaitkan nama saya dalam persidangan tersebut.

Oleh karena itulah saya ingin menyampaikan semua itu secara gamblang.

Namun sebelum saya masuk ke situ, ada dua hal.

Pertama, teman-teman mengingatkan sebetulnya, “Pak  SBY, gak usah bicaralah; lebih baik diam saja daripada nanti digempur lagi.”

Jawaban saya, “lha saya diam saja juga digempur”.

Oleh karena itu, akan bagus rakyat mendengarkan penjelasan saya, karena kemarin nama saya dikait-kaitkan dalam persidangan kasus Pak Ahok.

Kedua, dari  staf saya, katanya, wartawan (berkata), “pasti ini SBY marah”.

Dulu, bulan November (2016) saya dianggap keras atau marah.  Karena memang, tidak ada angin; tidak ada hujan, Partai Demokrat dituduh mengggerakkan Aksi Damai 4-11. Saya juga dituduh mendanai dan bahkan menunggangi aksi damai itu. Bahkan belakangan, katanya, menyuruh  membom Istana Merdeka, di mana saya, sepuluh tahun, duduk di sana. Katanya, SBY juga dalang rencana makar.

Tentu teman-teman; saudara-saudara, kalau dituduh, difitnah seperti itu, saya, sebagai manusia biasa, harus menyampaikan perasaan saya, bahwa semua itu tidak benar.

Sayang sekali, saya belum punya kesempatan bertemu presiden kita, Bapak Jokowi. Kalau saya ketemu beliau, niat saya, saya ingin bicara dengan beliau secara blak-blakan. Siapa yang melaporkan pada beliau, yang memberikan informasi atau intelijen pada beliau, yang tadi itu: menuduh saya mendanai Aksi Damai 4-11, menunggangi aksi damai itu, urusan pemboman, dan juga urusan makar?

Saya ingin sebetulnya melakukan klarifikasi secara baik, dengan niat dan tujuan yang baik, supaya tidak menyimpan, baik Pak Jokowi maupun saya, prasangka; praduga; perasaan enak dan tidak enak atau saling bercuriga.

Beliau Presiden RI;  presiden kita. Saya juga pernah memimpin negeri ini  sebelum beliau. Oleh karena itulah, bagus kalau saya bisa bertemu, sekali lagi blak-blakan, apa yang terjadi; apa yang belum jelas; mana yang benar , mana yang tidak benar.

Presiden RI ke-6 (2004-2014) yang juga Ketua Umum Partai Demokrat Prof Dr Susilo Bambang Yudhoyono menggelar konferensi pers menyikapi dugaan penyadapan yang dilakukan terhadap dirinya. Konferensi pers tersebut digelar di Kantor Pusat Partai Demokrat, Wisma Proklamasi 41, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu sore (1/2/2015). (mcpd/iwan k)

Saya diberitahu, konon katanya, ada yang memberi tahu saya, beliau ingin bertemu saya. Tidak ada masalah. Cuma dilarang oleh 2-3 orang di sekeliling beliau. Lha, dalam hati saya, hebat juga ini, bisa melarang presiden kita untuk bertemu sahabatnya yang juga mantan presiden.

Bagus kalau kami berdua bisa melalukan klarifkasi, supaya  tidak menyimpan, sekali lagi, prasangka; praduga dan bahkan rasa kecurigaan.

Itu pengantar. Dan sekarang intinya.

Teman-teman, para wartawan,

saya kira semua mengikuti, kemarin, dalam sebuah persidangan, dikatakan, ada rekaman,atau transkrip ataupun percakapan saya dengan KH Maruf Amin. Begitu intinya.

Situasinya langsung macam-macam.

Saya ingin menyoroti masalah itu, karena kalau betul percakapan saya dengan Pak Ma’ruf Amin, atau percakapan siapa pun dengan siapa disadap, tanpa alasan yang sah; tanpa perintah pengadilan; dan hal-hal yang dibenarkan UU, namanya itu penyadapan ilegal.

Kalau yang disadap itu percakapan telepon, bunyinya menjadi illegal telephone tapping. Nah kalau penyadapan itu punya motif politik, maka istilahnya menjadi political spying.

Satu, dari aspek hukum masuk; dari aspek politik juga masuk.

Saya kira, teman-teman masih ingat Skandal Watergate. Dulu, kubu Presiden Nixon (Richard Nixon) menyadap kubu lawan politik yang sedang dalam kampanye pemilihan presiden. Memang, Presiden Nixon terpilih menjadi presiden tetapi skandal itu terbongkar. Ada penyadapan; ada tapping; ada spying. Itulah yang menyebabkan, akhirnya, Presiden Nixon harus mundur; resign. Karena, kalau tidak, beliau akan di-impeach.

Saya hanya menggambarkan bahwa political spying; illegal tapping, itu kejahatan yang serius di negara  manapun juga.

Oleh karena itulah, saya, pada kesempatan yang baik ini, ingin mencari dan mendapatkan keadilan sebenarnya. Apa yang sesungguhnya terjadi? Karena kalau betul-betul telepon saya, selama ini, disadap secara tidak legal.

Saya mendengar, pada awal September, setelah kembali dari Jawa Tengah; Jawa Barat, diberitahu, “Pak SBY, hati-hati, ada informasi telepon Bapak dan alat aktif yang lain disadap”. Belum lama, kurang lebih satu bulan yang lalu, saya juga mendapatkan informasi, sahabat dekat saya tidak berani menerima telepon saya karena diingatkan oleh seseorang di lingkaran kekuasaan, “Hati-hati, telepon kalian disadap.  Sehingga, kalau bicara, sekarang melalui utusan; melalui caraka”.

Tetapi, saya masih belum yakin. Apa iya? Salah saya apa disadap? Mantan presiden itu mendapatkan pengamanan oleh Paspampres, siapa pun mantan presiden itu; siapa pun mantan wakil presiden itu. Yang diamankan apanya? Orangnya; objeknya; kegiatannya; dan kemudian kerahasiaan pembicaraannya.

Jadi, menurut saya, antara yakin dan  tidak yakin, apa iya saya disadap? Kalau betul-betul disadap maka segala pembicaran; kemudian kegiatan; mungkin strategi; mungkin rencana; apa pun akan diketahui oleh mereka yang tidak punya hak sama sekali. Ya sama dengan Skandal Watergate tadi. Mendapatkan keuntungan dengan cara menyadap. Mengetahui, mendapatkan informasi tentang seluk beluk pemberitaan termasuk rencana dan staretegi dari lawan politiknya.

Presiden RI ke-6 (2004-2014) yang juga Ketua Umum Partai Demokrat Prof Dr Susilo Bambang Yudhoyono menggelar konferensi pers menyikapi dugaan penyadapan yang dilakukan terhadap dirinya. Konferensi pers tersebut digelar di Kantor Pusat Partai Demokrat, Wisma Proklamasi 41, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu sore (1/2/2015). (mcpd/iwan k)

Dalam Pilpres maupun Pilkada, penyadapan seperti ini sangat bisa membikin seorang kandidat kalah. Ya, memang akan ketahuan semua. Mau dirahasiakan seperti apa pun, tetap akan tahu.

Sementara itu, Saudara-saudara, saya ingatkan kembali ke soal penyadapan ilegal, karena very serious, very serious.

Kita punya perangkat UU. Adalah UU tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).  Itu pertama kali terbit di era saya. Dulu, pada tahun  2008. Kemudian diperbaharui di era Pak Jokowi pada tahun 2016. Di situ ada pasal-pasal yang melarang seseorang atau pihak manapun melakukan penyadapan ilegal  tadi. Salah satunya saya bacakan, Ini pasal 31: “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atau  penyadapan atas informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik  dalam suatu komputer dan/atau Sistem Elektronik tertentu milik Orang lain dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun dan/atau denda paling banyak Rp800 juta”.

Konstitusi kita; UU kita; aturan kita, sama dengan negara lain, melarang kita melakukan penyadapan ilegal itu.

Oleh karena itulah, dengan semuanya itu, saya bermohon sebagai warga negara biasa, kalau memang pembicaraan saya, kapan pun, kalian sebut kemarin, pembicaraan saya dengan Pak Ma’ruf Amin itu disadap; ada rekamannya; ada transkripnya, maka saya berharap, pihak kepolisian, pihak kejaksaan, dan pihak pengadilan untuk menegakkan hukum sesuai UU ITE tadi. Saya hanya mohon, sebagai rakyat biasa, mendapatkan keadilan dan tegaknya hukum.

Dan mulai hari ini, saya akan mengikuti apa respons dari penegak hukum karena ini bukan delik aduan. Tidak perlu Polri menunggu aduan saya. Sekali lagi ini bukan delik aduan. Equality  Before the Law. Persamaan dalam hukum itu adalah hak konstitusional setiap orang. Semangat dan jiwa UUD 1945 juga seperti itu.

Dan melalui mimbar ini saya juga mohon agar transkrip pembicaran saya yang sekarang, katanya, dimiliki pihak Pak Ahok sendiri atau tim pengacaranya, saya juga  bisa mendapatkan. Saya khawatir kalau tidak saya dapatkan, sangat bisa transkrip itu ditambah atau dikurangi percakapannya. Sangat mungkin kalau sudah menjadi transkrip itu bisa ada tambah kurang yang tentu akan mengubah dari isinya seperti apa.  Saya sungguh ingin mendapatkan transkrip itu karena dikatakan “kami punya buktinya; kami punya rekamannya, dan kami punya transkripnya”. Kurang lebih seperti itu.

Nah, kalau, Saudara-saudara, yang menyadap secara ilegal ini bukan pihak Pak Ahok atau Tim Pengacaranya Pak Ahok dan pihak lain, saya juga mohon kepada negara untuk diusut, siapa yang menyadap itu. Yang saya ketahui, di samping KPK, yang menyadap urusannya tindak pidana korupsi, ada lembaga yang lain yaitu Polri, BIN, dan BAIS TNI, saya tidak tahu masih ada atau tidak, tetapi paling tidak itulah institusi-institusi negara yang memiliki kemampuan untuk menyadap. Pemahaman saya, sama seperti waktu saya memimpin dulu, penyadapan tidak boleh sembarangan, tidak boleh ilegal dan harus berdasarkan aturan yang telah diatur undang-undang. Tapi kalau misalnya bukan pak ahok, tapi lembaga yang lain tadi, menurut saya sama, hukum harus ditegakan. Kalau institusi negara, misalnya, Polri ataupun BIN, menurut saya, negara ikut bertanggung jawab.

Saya juga memohon Pak Jokowi, presiden kita, untuk memberikan penjelasan, dari mana transkrip atau penyadapan itu? Siapa yang menyadap? Supaya jelas  jelas, yang kita cari kebenaran. Ini negara, negara kita sendiri, bukan negara orang lain. Bagus kalau kita bisa menyelesaikan segala sesuatunya dengan baik;adil dan bertanggungjawab.

Itu dari aspek hukum, Saudara-saudara, juga sedikit dari aspek politik.

Nah kalau dari aspek sosial begini, kalau saya saja sebagai mantan presiden yang mendapatkan pengamanan dari Paspampres, begitu mudahnya disadap, bagaimana denga saudara-saudara kita yang lain? Rakyat yang lain? Politisi yang lain? Sangat mungkin mereka mengalami nasib yang sama dengan yang saya alami.

Nah, kalau itu terjadi negara kita seperti di rimba raya. Hukumnya hukum rimba. Yang kuat yang menang. Yang lemah kalah. Padahal yang betul itu, yang benar menang dan yang salah,kalah. Oleh karena itu kita mohonkan kejelasan dari Bapak Presiden tentang hal ini,mudah-mudahan tidak terjadi, sehingga rakyat menjadi tenang. Tetapi karena ini diucapkan di tempat persidangan berarti memilik kekuatan dan keabsahan tersendiri. Itu yang kita sampaikan

Tentu saudara ingin mendapatkan, apa memang tidak ada percakapan antara saya dengan Pak Ma’ruf Amin ataupun dengan pejabat-pejabat yang lain? Saya ingin bicara truth, fakta dan kebenaran.

Tanggal 7 Oktober 2016, memang ada pertemuan antara Agus Harimurti Yudhoyono dan Sylviana Murni dengan dua organisasi. Pada hari itu dijadwalkan Agus-Sylvi bertemu dengan PBNU dan PP Muhammadiyah. Yang saya tahu, tema dari pertemuan itu, Agus Sylvi mohon doa restu; mohon nasihat, agar perjuangannya dalam pilkada Jakarta itu berhasil. Itu yang saya ketahui. Kemudian, sebelum Agus Sylvi berangkat, saya berpesan sampaikan salam saya kepada beliau-beliau dan kapan-kapan senang kalau saya bisa bertukar pikiran tentang masalah Islam dan dunia. Untuk teman teman ketahui, sekarang ini saya adalah satu dari tiga yang disebut wise person; yang tergabung dalam Wise Persons Council.  Saya, Mantan Presiden Turki Abdullah Gul dan Mantan Presiden Nigeria Abdussalam secara resmi sejak tahun yang lalu menjadi Wise Persons Council  dari Organisasi Kerjasama Islam (OKI) yang berpusat di Jeddah, Saudi Arabia. Peran dan tugas kami bertiga adalah untuk memberikan pandangan dan nasehat kepada OKI tentang bagaimana kita mengelola permasalahan Islam sedunia;  Timur Tengah, Rohingya dan banyak lagi tempat, yang menurut OKI, kita harus peduli dan juga mencari solusi. Dalam konteks itulah saya sampaikan, kapan kapan kalau ketemu saya bisa berdiskusi; mendiskusikan itu.

Presiden RI ke-6 (2004-2014) yang juga Ketua Umum Partai Demokrat Prof Dr Susilo Bambang Yudhoyono menggelar konferensi pers menyikapi dugaan penyadapan yang dilakukan terhadap dirinya. Konferensi pers tersebut digelar di Kantor Pusat Partai Demokrat, Wisma Proklamasi 41, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu sore (1/2/2015). (mcpd/iwan k)

Kemudian saya diberi tahu, di acara PBNU, itu cukup lengkap. Bukan hanya Pak Said Agil Siradj tetapi juga Pak Ma’ruf Amin sebagai Rois Aam, bukan dalam kapasitasnya sebagai Ketua MUI. Dan mereka, para pengurus itu, yang katanya lengkap, mengira saya ikut dalam rombongan itu. Saya katakan, tidak mungkin. Agus-Sylvi juga sudah mandiri, nanti dikira di bawah bayang bayang ayahnya, nanti tidak baik. Toh mereka datang untuk minta doa restu dan mohon bimbingan.

Pada saat itulah, sebenarnya tidak ada kaitannya dengan kasus Pak Ahok dengan tugas-tugas MUI; dengan tugas-tugas untuk mengeluarkan fatwa. Ada staf, bukan saya yang telepon Pak Ma’ruf Amin langsung atau Pak Ma’ruf Amin langsung telepon saya. Tetapi ada staf yang di sana, dengan handphone yang bersangkutan, menyambungkan percakapan saya dengan Pak Ma’ruf Amin, yang kaitannya seputar pertemuan itu. Dan saya ulangi lagi, tadi, bahwa kita kalau suatu saat bisa  berdiskusi dengan yang lain-lain. Intinya di situ. Jadi percakapan itu ada.

Kalau Pak Ma’ruf Amin pernah menyatakan, tidak ada pertemuan langsung saya dengan SBY; dan percakapan langsung saya dengan SBY, iya, berkaitan dengan tugas kami; MUI untuk menetapkan pendapat keagamaan atau apa pun namanya.

Namun saya tidak ingin berpanjang lebar di situ. Kalau dibangun opini, gara-gara percakapan saya dengan Pak Ma’ruf Amin; gara-gara pertemuan Agus-Sylvi dengan PBNU dan PP Muhammadiyah maka pendapat keagamaan yang dikeluarkan MUI seperti itu, tanyakan saja kepada MUI.

MUI itu Majelis Ulama Indonesia. Memang ada ketuanya. Tapi selama ini yang saya ketahui; selama  jadi presiden, beberapa kali saya bertemu dengan MUI, lengkap pengurusnya, memang segala sesuatunya dimusyawarahkan. Dan ketika mengeluarkan fatwa atau entah apa pun itu, sudah dibicarakan di antara mereka. Silakan ditanyakan, apakah pendapat keagamaan MUI itu lahir di bawah tekanan SBY atau di bawah tekanan siapa pun.

Saya kira mudah sekali aparat untuk mengeceknya daripada saya nanti depensif, tanyakan saja langsung. Apakah, sekali lagi, MUI dalam mengeluarkan pendapat keagamaannya, didikte atau ditekan yang namanya SBY atau siapa pun. Itu yang ingin saya sampaikan.

Dan teman-teman, para wartawan, kesimpulan yang ingin saya sampaikan adalah:

Dengan penjelasan saya ini, berangkat dari pernyataan pihak Pak Ahok yang memegang bukti atau transkrip atau apa pun yang menyangkut percakapan saya dengan Pak Ma’ruf Amin, saya nilai itu adalah sebuah kejahatan. Karena itu adalah penyadapan ilegal.

Saya hanya mohon hukum ditegakkan.

Bola sekarang, bukan pada saya; bukan di Pak Ma’ruf Amin; bukan di Pak Ahok dan tim pengacaranya, tapi pada Polri dan penegak hukum yang lain. Bola di tangan mereka. Kalau ternyata yang menyadap institusi negara, bola di tangan Presiden Jokowi.

Saya hanya memohon keadilan. Tidak lebih dari itu. Karena hak saya diinjak-injak  dan privacy saya dijamin oleh undang-undang, dibatalkan karena disadap secara tidak legal.

Dan teman-teman semuanya, baik yang ada di ruangan ini maupun di mana pun, karena sejak tadi malam, saya banyak sekali mendapatkan pesan, beragam sekali. Ada yang sedang, keras, marah dan sebagainya. Saya berharap dan saya sudah menyampaikan ini dengan baik-baik, dengan niat dan tujuan baik, maka teman-teman; para pendukung harap sabar dan tegar. Tolong bisa menahan diri.  Insya Allah ada titik air keadilan. Kalau kita haus dan dahaga, kalau sudah ada titik air keadilan rasanya haus kita; dahaga kita hilang.

Itulah yang ingin saya sampaikan.

Terima kasih teman teman atas kesabaran dan perhatiannya. Saya  lebih baik begini daripada main di media sosial saling mengeluarkan hoax, kita begini saja langsung. Media tradisional ada, tv ada, radio ada, majalah juga ada. Jangan sampai kita malah saling berkomunikasi dengan tidak tahu, siapa yang berkomunikasi itu.

Bung Karno mengatakan, “Mana dadamu, ini dadaku”. Artinya, supaya tidak kita mudah saling memfitnah; tidak mudah kita saling menjatuhkan. Ini yang kita harapkan.

Itu saja teman-teman dan sekali lagi terima kasih atas perhatiannya. Saya sudah menjelaskan segalanya dengan niat dan tujuan baik.

Sekian

Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

(iwan kurniawan/didik l pambudi)