Keakraban dua tokoh muda Indonesia yang matang intelektual dan emosionalnya, Agus Harimurti Yudhoyono dan Gubernur sekaligus Ketua Partai Demokrat NTB Zainul Majdi atau Tuan Guru Bajang dalam acara “Jalan Sehat Bersama AHY dan TGB”, di Taman Sangkareang, Mataram, NTB, Minggu (7/5). (twitter/hincapandjaitan)

Oleh: Renanda Bachtar*)

Berbeda dengan suasana Jakarta yang akibat berbagai peristiwa politik belakangan ini meningkat suhu ketegangannya, kota Mataram, Lombok, Nusa Tenggara Barat yang kecantikan alamnya tidak saja mampu menyejukkan mata, keramahan sikap masyarakatnya ternyata juga mampu menentramkan hati. Setidaknya demikian yang dirasakan penulis pada saat menginjakkan kaki di pulau Lombok yang terkenal dengan sebutan Pulau Seribu Masjid ini.

Kehidupan sosial masyarakat di provinsi yang ditinggali mayoritas suku Sasak (80%) serta berbagai suku lain seperti suku Bima dan Sumbawa, suku Bali (15%) dan sisanya suku Jawa, Tionghoa dan Arab ini sangatlah dinamis. Warga NTB yang memang terkenal ramah dan terbuka, hidup berdampingan secara penuh kekeluargaan dan harmonis. Sungguh ini seakan merupakan pengejawantahan dari sesanti Bhinneka Tunggal Ika yang sesungguhnya dalam praktik kehidupan dan bermasyarakat.

Kebersahajaan, sikap santun yang mengedepankan jiwa kekeluargaan ini bahkan baru-baru ini seakan diuji pada saat Gubernurnya, Dr TGH Muhammad Zainul Majdi MA, akrab disapa Tuan Guru Bajang (TGB), dengan spontan memaafkan sikap seorang anak muda yang karena salah paham telah memaki-makinya dengan kata-kata kasar di sebuah Bandara. Kisah ini kemudian sontak menjadi viral dan tak kurang dari kalangan luas secara spontan memuji sikap Gubernur NTB yang masih relatif berusia muda ini sebagai sikap pemimpin/pejabat yang rendah hati dan berjiwa “sejuk”.

Kehidupan publik sesungguhnya merefleksikan nilai-nilai moralitas kita, demikian pula sebaliknya. Sebegitu jauh, kehidupan politik selama ini lebih merefleksikan nilai-nilai buruk dan kurang mengaktualisisasi nilai-nilai luhur yang ada di masyarakat. Sungguh hal ini layak menjadi perenungan serius bagi bangsa yang dahulu terkenal dengan budaya adiluhungnya.

Entah kebetulan atau tidak, Partai Demokrat kali ini memilih menyelenggarakan Rapat Kerja Nasional (Rakernas)-nya di kota Mataram, Lombok, tanggal 7-9 Mei 2017.

Partai yang beberapa tahun ini mengusung Tag Line “Partai Demokrat Peduli Dan Beri Solusi” memang tengah giat-giatnya mengaktivasi seluruh struktur di seluruh Indonesia untuk selalu: Bersama Rakyat, Peduli, Menyerap Aspirasi, dan Tawarkan Solusi.

Ada yang menarik dari partai yang pernah menempatkan kader terbaiknya, Prof Dr Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menjadi Presiden RI ke-6 dan memerintah selama 10 tahun (2 periode). Sejak kemunculan putra tertua SBY, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) yang selama 4 tahun digembleng di sekolah taruna dan berkarier di institusi militer selama 16 tahun di kontestasi Pilgub DKI kemaren, mayoritas pengurus Partai Demokrat di daerah kerap menitipkan pesan kepada Sekjen DPP-PD Dr Hinca Pandjaitan agar berkenan membujuk AHY hadir bersamaan dengan agenda partai seperti musda, muscab serta acara-acara partai lainnya di berbagai daerah.

Hari ini, 7 Mei 2017 AHY menjawab kerinduan yang rupanya tidak hanya dirundung kader-kader Partai Demokrat di Lombok saja, namun rupanya dirasakan pula oleh masyarakat Lombok, khususnya generasi muda. Mereka tampak sangat antusias-jika tidak bisa disebut emosional. Mereka langsung menyapa, memeluk, meminta foto bersama. Sepanjang hari sejak pagi hingga malam hari, telinga seakan tak mampu menghentikan dengung kata “AHY” yang tak henti-hentinya diteriakkan masyarakat di kota yang terkenal dengan kuliner ayam taliwangnya.

Dimulai dengan acara “Jalan Sehat Bersama AHY dan TGB” pukul 07.00 WITA, AHY dan TGB sepanjang jalan antara Lapangan Sangkareang sampai ke titik finish di Taman Udayana melebur menjadi satu dengan masyarakat, saling melepas salam dan bertukar sapa. Tidak kurang dari 50.000 masyarakat membaurkan diri dan penuh semangat mengikuti rangkaian aktifitas AHY di kota mereka. AHY dan TGB yang seolah menjadi “Dwi Tunggal” berjalan beriringan sambil sesekali berbincang penuh keakraban antar-mereka.

Persis di sebelah kiri titik garis finish, AHY dan TGB kemudian bergabung dalam rangkaian acara selanjutnya, yaitu pemecahan Rekor MURI untuk kategori penandatanganan petisi di atas sepuluh banner (baliho dicetak digital) berukuran “raksasa”.

Aksi penandatanganan “Petisi Anti-Hoax dan Fitnah” bertujuan membangun pers yang merdeka, adil dan bertanggungjawab ini dinyatakan MURI berhasil menciptakan rekor baru.  Tak kurang 9.709 peserta membubuhkan tandatangannya. Rekor petisi melawan hoax sebelumnya dicatatkan Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur sebanyak 3.000 orang.

Menggenapi pemecahan rekor MURI tersebut, SBY, yang hadir untuk  memimpin jalannya Rakernas Partai Demokrat– menghadirkan lebih dari 5.000 kader se-Indonesia di Lombok–tampil ke atas panggung. Kehadirannya diiringi sambutan dan tepuk tangan meriah masyarakat Lombok yang terlihat sangat merindukannya. Dalam sambutan singkatnya SBY mengingatkan untuk senantiasa memerangi berita hoax dan fitnah karena negara kita adalah negara hukum.

“Keadilan harus ditegakkan dan aparat penegak hukum serta kepolisian harus adil dalam menegakkan aturan. Jika pers adil maka rakyat akan sejahtera,” demikian Presiden RI ke-6 tersebut memungkasi.

Pada kesempatan itu SBY juga meluncurkan buku Twitter yang ditulisnya ketika masih menjadi Kepala Negara dan Pemerintahan RI.

Terik matahari belum usai ketika AHY dan TGB menutup rangkaian peringatan acara Hari Pers se-Dunia tersebut dengan mengadakan pertandingan futsal persahabatan dengan para Jurnalis di NTB. Rangkaian acara duet AHY dan TGB berakhir selepas sore harinya mereka berdialog dengan masyarakat nelayan di Kampung Banjar Ampenan dan melakukan “Gerilya Lapangan” dari kampung ke kampung. Luar biasa memang energi dua tokoh berusia muda ini.

Tak ubahnya TGB yang dengan rendah hati dan mudahnya memaafkan orang yang mencacinya, masih segar di ingatan kita pidato kekalahan AHY di sore hari pasca-pencoblosan. AHY secara kesatria mengakui kekelahannya dan memberikan selamat kepada dua pesaing yang lolos ke tahap kontestasi berikutnya.

Pada pidato itu juga AHY menitipkan pesan bijaknya: “Jangan pernah takut gagal, jangan pernah takut kalah. Berbuatlah yang terbaik, karena banyak sekali yang bisa dilakukan dan diperjuangkan oleh generasi muda Indonesia.”

AHY dan TGB masih berusia relatif muda, namun sikap dan pandangan mereka membuka mata kita bahwa kesantunan, sikap rendah hati dan jiwa nasionalis patriotis yang cinta tanah air, cinta bangsa serta gandrung akan persatuan tak memiliki relevansi dengan tingkat kematangan usia.

Masih terngiang di telinga saya kata-kata AHY beberapa bulan lalu: “Ke depan, nanti saya akan mendarmabaktikan hidup saya untuk ikut memajukan bangsa dan negara tercinta ini menuju Indonesia Emas di tahun 2045,”.

Kini, 20 tahun sudah AHY telah menggembleng dirinya di Kawah Chandradimuka, tempat para kesatria pilihan disiapkan untuk hadir tampil ke dunia. Garis tangan AHY saat ini belum menuntunnya memenangkan kontestasi Pilgub DKI, tapi bagai pepatah, ia nyata bersikap: Apa yang tidak membunuhmu, akan membuatmu lebih kuat (What Doesn’t Kill You Makes You Stronger).

Melihat AHY dan sambutan masyarakat terhadapnya di Lombok seharian ini, saya yakin bukan hanya saya sendirian yang tak sabar menanti datangnya masa dimana AHY sebagai pemimpin muda nasionalis patriotis pada saat tepat muncul kembali dan maju tampil memimpin negara ini. Maju ke tingkat yang hanya bisa dicapai oleh kepemimpinan cerdas, enerjik dan visioner.

Mataram, Lombok, 7 Mei 2017

*)Sekretaris Departemen Koordinasi Perekonomian DPP Partai Demokrat