Quote Agus Harimurti Yudhoyono atau AHY (PolitikToday)

“Masa depan bukan terletak pada ilmu yang diperoleh, bukan pada kecerdasan yang dikembangkan, dan bukan pada keahlian yang dikuasai. Sesungguhnya masa depan terletak pada perilaku” ~ Plato.

Apa yang disampaikan Plato sejatinya mempertegas falsafah yang dididikan kepada kita sedari kecil: ada masa depan yang indah yang mengiringi mereka yang memiliki perilaku yang baik. Falsafah ini menebus sekat suku, etnis, agama, hingga status sosial dari mana kita berasal.

Ini membuktikan falsafah atas perilaku yang baik berada di aras transedental, bersumber dari nilai-nilai kebajikan Ilahi. Agaknya tak salah apabila banyak orang bilang perilaku kita menunjukkan apakah kita emas atau loyang.

Karena itu perilaku Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), yang dengan segala hormat, memohon izin untuk berdialog dengan Megawati patut diapresiasi. Perilaku AHY ini bukan hanya tidak terprediksi tapi juga berlawanan dengan arus kebanyakan. AHY telah mendobrak kacau-balaunya peradaban politik Indonesia akibat terkikisnya etika.

Berpijak dari perilaku ini, kita bisa menilai sosok seperti apakah AHY itu.

Pertama, AHY menunjukan bahwa kaum muda juga bisa santun. Kita pasti ingat tren perilaku “arogan itu hebat” yang galib dipertontonkan elite politik Indonesia. Berlandaskan kebenaran yang diyakini, dengan tiada berdosa mereka menuding kelompok yang berbeda —tak peduli yang dituding adalah tokoh masyarakat atau orang yang jauh lebih tua sekalipun.

“Arogan itu hebat” lantas disebarluaskan oleh media massa yang butuh berita-berita sensasional. Alhasil, terpantiklah pergesekan di akar rumput: kaum muda berseteru dengan kaum tua, kelompok pro dan kontra gontok-gontokan. Mendadak kita terkaget-kaget saat menginsyafi bahwa seorang awam yang memaki-maki para ulama, tokoh masyarakat, sampai pejabat negara adalah cerita keseharian media sosial.

AHY menolak perilaku seperti ini. Arogan tidak selalu hebat. Tanpa arogan pun, kita bisa hebat. AHY menjadi representasi dari kaum muda yang menolak memposisikan mereka yang berseberangan sebagai musuh. Kebenaran yang diyakini kaum muda tak harus membuat mereka angkuh di hadapan kaum tua, para senior.

Kedua, AHY tidak terpenjara dalam taman labirin pikirannya sendiri. Ia terus bergerak untuk memparipurnakan kapasitas kepemimpinanya dari waktu ke waktu. Ia bukan hanya melempar gagasan Indonesia Emas, tapi juga merengkuh pelbagai gagasan yang tumbuh berkembang di Indonesia.

Sebelum keinginan bertemu Megawati, AHY telah menyambangi Presiden Jokowi. Tanpa canggung, AHY pun bersilaturahmi dengan Prabowo Subianto dan Jusuf Kalla. Lewat The Yudhoyono Institute misalnya, AHY melempar gagasan sekaligus menyelami pemikiran para negarawan yang sempat berbakti pada pemerintah terdahulu.

Dalam gerilyanya, AHY kerap berdialog dengan banyak kalangan: akademisi, kepala daerah, pengusaha dan jurnalis, tokoh pemuda, hingga kalangan ulama. Ada proses pertemuan banyak gagasan di sini.

Ketiga, alih-alih menjadi menara yang senyap, AHY menjadikan dirinya sebagai jembatan penghubung banyak kalangan. Pertemuan AHY dengan banyak kalangan di atas, lintas suku, etnis, agama, hingga status sosial; menggambarkan bahwa AHY mengambil peran untuk menghubungkan banyak kepentingan, banyak harapan, banyak gagasan sebagai konsekunsi untuk merawat keragaman dan bersama-sama mensinergikan keragaman itu untuk mencapai Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.

Simbol yang tegas dari peran AHY ini tergambar saat lauching The Yudhoyono Institute. AHY mengundang para kompetitornya di Pilgub DKI Jakarta, para senior dan tokoh muda, anak-anak presiden terdahulu, pemimpin ormas hingga perwakilan lintas organisasi keagamaan.

Perilaku santun AHY untuk berdialog dengan Megawati semakin menegaskan ketiga karakter ini. Dan Megawati pun menyambut baik dengan mengutus Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto dan Prananda Prabowo. Lempar-sambut ini adalah oase di gurun politik Indonesia yang terasa kian terik belakangan ini.

Dari mana AHY mendapatkan karakter-karakter unggul tersebut? Tentu saja lewat pencarian dirinya sendiri plus bantuan tak ternilai dari ayahandanya, Susilo Bambang Yudhoyono.

(Ridwan Sugianto; pegiat media sosial/PolitikToday/dik)