Jakarta: Polemik tentang ambang batas pemilihan presiden (presidential threshold) sebesar 20% dari kursi DPR atau 25% suara sah nasional pemilu legislatif terus menuai polemik. Bahkan ada yang berasumsi, dengan ambang batas pemilihan presiden 20-25% tersebut, Joko Widodo atau Jokowi (presiden saat ini) bisa saja tidak dicapreskan oleh partai-partai di pemerintahan.
“Para oknum di berbagai partai politik yang menggolkan ambang batas pemilihan presiden 20-25% secara nyata mengedepankan logika praktis. Yang penting menang. Lewat logika praktis atau yang penting menang ini, maka tidak ada jaminan pasti bahwa Jokowi akan kembali dicareskan oleh koalisi partai di pemerintahan saat ini,” demikian disampaikan kader Partai Demokrat, Mansyur Alfarisyi kepada website demokrat di Kantor DPP-PD, Wisma Proklamasi 41, Jakarta, Selasa (25/7).
Mantan Asisten Staf Khusus Presiden RI ke-6 Bidang Hankam tersebut mengingatkan, fenomena saat ini, berbagai polling, terutama, digelar di media sosial, tampak tingkat elektabilitas Prabowo naik terus sebaliknya Jokowi turun terus. Kalau tingkat elektabilitas Jokowi turun terus maka belum tentu ia akan dicapreskan pada Pilpres 2019. Sebab, bagaimanapun, para elite yang menggolkan ambang batas pilpres 20-25%, hanya berkeinginan memenangkan Pilpres 2019. Tidak penting cara yang dipakai atau calon yang diusung.
Mansyur Alfarisyi menegaskan, bagi para elite tersebut, ambang batas pilpres 20-25% adalah cara memenangkan Pilpres 2019. Tidak penting apakah Jokowi atau bukan yang dicapreskan.
Pada bagian lain, alumnus Ilmu Politik Fisip UI ini mengatakan, ambang batas pilpres 20-25% telah mematikan kanal-kanal demokrasi. Mengebiri hak politik rakyat. Logika demokrasi diabaikan karena yang penting adalah logika praktis. Penetapan ambang batas itu memotong keinginan rakyat berpartisipasi sebesar-besarnya dalam Pemilu Serentak 2019, termasuk Pilpres.
“Aspirasi rakyat yang sangat besar tidak mungkin tertampung dengan diterapkannya ambang batas pilpres 20-25%. Bahkan sangat mungkin sistem ini melahirkan capres-cawapres tunggal melawan kotak kosong. Jika ini yang terjadi maka sia-sialah upaya kita membangun demokrasi sejak kemerdekaan bangsa ini di tahun 1945,” ujar Mansyur yang telah bergabung di Partai Demokrat sejak kepemimpinan Subur Budhisantoso (Ketua Umum PD 2001-2005).
Hal lain yang dikhawatirkan, mayoritas rakyat kemudan apatis dan tidak mau mengikuti Pemilu Serentak 2019, termasuk Pilpres. Jika ini yang terjadi maka pemimpin atau presiden terpilih tidak memiliki legitimasi kuat dari rakyat. Sederhana saja, semakin besar partisipasi rakyat maka semakin besar legitimasi pemimpin; semakin kecil partisipasi rakyat maka semakin kecil pula legitimasi pemimpin. Akhirnya lahirlah apa yang disebut pseudo demokrasi; demokrasi yang semu; seolah-olah; palsu; terlihat demokratis faktanya tidak karena kecilnya partisipasi rakyat.
Karena itu, Mansyur menyambut baik, rencana para tokoh dan beragam elemen masyarakat melakukan uji materi terhadap Undang-undang Pemilu, yang disahkan Jumat 21 Juli dini hari lalu, ke Mahkamah Konstitusi (MK)
Ia juga menyarankan agar MK mempertimbangkan pendapat para pakar tata negara yang mayoritas mendukung tiadanya ambang batas Pilpres 2019, juga pendapat para ahli politik. Pendapat para pakar politik penting karena persoalan ini bukan sekadar menyangkut ketatanegaraan tetapi juga proses sosial budaya masyarakat.
Mansyur mengingatkan, filosofi demokrasi adalah berpihak pada rakyat. Hati nurani perpolitikan harus berpihak ke rakyat. Jika rakyat tidak difasilitasi dalam demokrasi maka rakyat akan apatis dan sia-sialah kita berdemokrasi.
(didik l pambudi)