Oleh: Erma Ranik*)
Kamis, 20 Juli 2017, DPR akan melakukan voting terkait putusan RUU Pemilu. Ada 5 isu krusial yang akan diputuskan: sistem pemilu, sistem penghitungan suara, jumlah anggota DPR per dapil, parlemen threshold dan presidential threshold.
Partai Demokrat mendukung sistem pemilu legislatif terbuka (tidak berdasarkan nomor urut) untuk memastikan wakil rakyat terpilih adalah sosok yang dikenal di daerah pemilihannya, bukan hasil kongkalikong dan oligarki suatu partai.
Ambang batas parlemen, kami pandang, cukup 4-5 persen. Agar ada peluang bagi partai partai baru untuk berkontribusi bagi bangsa.
Khusus untuk ambang batas mengajukan calon presiden, Partai Demokrat memilih mengikuti Amar Putusan Mahkamah Konsitusi No 14/ PUU-XI/2014.
Putusan yang diambil akibat gugatan Effendi Gozali, dibacakan Januari 2014, menyatakan bahwa karena UU no 42 tahun 2008 menyatakan bahwa pilpres dilakukan usai pilpres menjadi BATAL. Pilpres HARUS DILAKSANAKAN BERSAMAAN dengan Pemilu legislatif. Salah satu pertimbangan MK adalah, pileg dan pilpres yang beda 3 bulan menyebabkan calon presiden harus melakukan negosiasi dengan partai partai politik. Padahal calon presiden harus menghindari terjadinya ini.
Karena itu ada 2 alasan pokok kami, Partai Demokrat, menginginkan ambang batas nol persen untuk calon presiden, yakni:
- Kami taat dengan putusan MK. Agar bernegara menjadi teratur, salah satu maknanya adalah menghormati putusan peradilan. Karenanya lembaga peradilan (MK dan MA) berfungsi melakukan koreksi ketika legislatif dan eksekutif menyimpang dari arah hukum ketatanegaraan. MK sudah memutus dengan tegas soal ini. Kita tidak ada pilihan selain taat pada hukum. Jangan membiasakan diri bernegara dengan tidak menghormati hukum. Kacau hasilnya. Hukum diciptakan untuk ketertiban.
- Tahun 2004, 2009 dan 2014 ada angka persentase ambang batas presiden bisa muncul karena pileg dilakukan sebelum pilpres. Jadi KPU akan mudah menghitung parpol dengan perolehan suara yang berhak mengajukan capres. Saat pilpres bersamaan dengan pileg persentase mana yang akan dihitung?
Hasil Pemilu Legislatif 2004, parpol sudah memberikan “tiket” dan sudah dipakai capres (Megawati, Susilo Bambang Yudhoyono atau SBY, Wiranto, Amien Rais dan Hamzah Haz) ketika bertarung di Pilpres 2004.
Hasil Pemilu Legislatif 2009, sudah dipakai juga “tiketnya” oleh SBY, Megawati dan Jusuf Kala saat bertarung di Pilpres 2009.
Hasil pemilu 2014 tiketnya sudah dipakai Joko Widodo dan Prabowo Subianto ketika bertarung di Pilpres 2014.
Kalau mau pakai angka 20-25 persen, menghitungnya dari mana? Pemilu Presiden bersamaan dengan Pemilu Legislatif. Bagaimana menghitung persentase perolehan suara partainya?
Bolehkah Pilpres 2019 pakai tiket hasil Pemilu 2004 ketika Golkar menang Pileg ?
Bolehkah Pilpres 2019 pakai tiket hasil Pemilu 2009 ketika Demokrat menang 22 persen?
Bolehkah Pilpres 2019, pakai tiket Pileg 2014 ketika PDI Perjuangan menang 19 persen?
Semua “tiket” tahun 2004, 2009, 2014 sudah dipakai para capres. Karena itu angka ambang batas Pemilu Presiden menjadi tidak relevan.
Ibarat nonton bioskop, Anda sudah beli tiket nonton “Spiderman”. Tiketnya sudah disobek. Eh, Anda ngotot mau nonton lagi film “Wonder Woman” dengan tiket yang sudah disobek. Kan aneh. Bisa dikeplak penjaga bioskop Anda.
Parta Demokrat percaya bahwa pilihan ambang batas presiden NOL PERSEN adalah sesuai dengan ketatanegaraan. Sebagai parpol kami ingin menjadi bagian yang mendukung penghormatan terhadap putusan lembaga peradilan termasuk MK.
Pikiran kami sejalan juga dengan pikiran akademisi Effendi Gozali, Prof Mahfud MD, Prof Jimly Asshiddiqie dan Perludem, LSM yang bergerak di isu Pemilu.
Bagi kami ini soal ketaatan dalam bernegara. Mari kita jaga bersama.
Tabik
*)Anggota Fraksi Partai Demokrat DPR-RI