Oleh: Recxy Alexander Gautama
Jangan terus-terusan bangga hanya karena Jokowi terpilih sebagai Presiden ke-7 pada umur 53 tahun. Sejarah mencatat, rentang usia 50-an memang usia yang lazim. Satu-satunya yang dipoles adalah slogan Jokowi from “zero” to “hero”. Lalu drama penolakan Megawati. Tetapi, sekali lagi, usia Jokowi saat dilantik sebagai presiden tidak luarbiasa. Apalagi jika dibandingkan dengan Presiden Perancis Emmanuel Macron yang menjabat di usia 39 tahun.
Kita bisa membaca dari fenomena awal reformasi. Terjadi ledakan kepemimpinan generasi awal reformasi. Rata-rata mereka berusia 50-an. Beberapa lantas menjadi pemuncak, yakni terpilih sebagai presiden atau wakil presiden. K.H. Abdurahman Wahid diangkat sebagai Presiden RI ke-4 pada usia 59 tahun.
Menyusul Megawati pada usia 54 tahun. Lalu Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada usia 55 tahun. Prabowo Subianto sudah terjun dalam konvensi Golkar 2004 pada usia 53 tahun. Pada pilpres 2004, Wiranto berusia 57 tahun. Satu-satunya yang terlambat hanya Jusuf Kalla yang terpilih sebagai Wapres di usia 62 tahun.
Saya lantas teringat Deklarasi Kepemimpinan Kaum Muda 2007. Waktu itu dilantangkan gerakan agar kaum muda maju ke depan untuk merebut kepemimpinan nasional. Runtutan dari Deklarasi itu adalah Yuddy Crisnandy, saat itu berusia 39 tahun, mulai berancang-ancang mengejar kursi capres.
Pada Munas Golkar 2009 di Riau, Yuddy sempat maju sebagai kandidat ketum Golkar. Ada pula Rizal Mallarangeng, yang pada Agustus 2008 mendeklarasikan diri sebagai calon presiden pada usia 44 tahun. Ada pula Fadjroel Rahman yang sebaya Rizal Mallarangeng.
Ketiga nama itu kemudian gagal. Nama-nama kaum muda ini akhirnya meredup dan terlupakan. Sebaliknya, pesaing mereka, generasi awal reformasi masih terus bercokol hingga hari ini. Jusuf Kalla masih menjadi wapres, sementara Prabowo Subianto dipastikan akan maju lagi pada Pilpres 2019. Sebaliknya, di tubuh parpol hanya PKB, PKS dan PPP—jika kita sepakat ketua umumnya adalah Muchammad Romahurmuziy—dinahkodai oleh sosok-sosok di rentang usia 40-an.
Partai Demokrat telah dan terus membuka ruang yang cukup bagi generasi milenial atau para pemuda. Usia muda tidak menjadi hambatan untuk berkiprah di dunia politik, khususnya di tubuh Partai Demokrat.
Lantas, di mana posisi Jokowi dalam perspektif kaum muda ini? Sekali lagi saya memandang Jokowi bukan representasi kepemimpinan politik kaum muda. Pertama, karena usianya yang standar. Kedua, kelemahannya gaya kepemimpinannya dalam tiga tahun terakhir ini.
Revolusi Macron
Macron adalah produk revolusi politik di Perancis. Pertama, ia dilantik pada usia 39 tahun. Kedua, ia berkompetisi dengan 10 kandidat pada Pilpres Perancis tempo hari. Ketiga, Macron diusung En marche!, pergerakan politik Perancis yang didirikan pada tanggal 6 April 2016.
Fenomena kompetisi Pilpres Perancis 2017 sulit terjadi pada Pemilu 2019. Pemerintah sudah sukses memastikan presidential threshold 20% kursi DPR atau 25% suara sah nasional. Dengan ambang batas ini, kemungkinan hanya dua-tiga capres yang akan bersaing pada Pilpres 2019. Dua di antaranya, hampir bisa dipastikan adalah Jokowi dan Prabowo.
Namun, munculnya sosok semacam Macron bukan mustahil. Ada pilihan revolusioner untuk menurunkan usia presiden-wakil presiden menjadi rentang usia Soekarno-Hatta saat memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Usia 40-an. Benih-benih ini tampak pada kepemimpinan di tubuh PKB, PKS dan PPP.
Namun, yang paling keras melantangkan alih generasi ini adalah Partai Demokrat. Ada tiga hal penting yang menjadi batu pijakan di tubuh Partai Demokrat dalam konteks mengembuskan alih generasi kepemimpinan nasional.
Pertama, Munas Partai Demokrat 2010. Munas ini diikuti oleh tiga orang: Anas Urbaningrum (41 tahun), Andi Marallangeng (47 tahun) dan Marzuli Alie (55 tahun).
Kedua, konvensi Partai Demokrat. Kendati Partai Demokrat sempat limbung, SBY tetap membuka ruang untuk munculnya kandidat-kandidat muda dan potensial dalam kancah kepemimpinan nasional. Caranya, dengan membuka konvensi Partai Demokrat 2014. Dari 11 kandidat yang berkompetisi, diketahui 3 di antaranya berada pada rentang usia 40-an, yaitu Gita Wirjawan (48 tahun), Anies Baswedan (44 tahun) dan Dino Patti Djalal (48 tahun). Ada pula Ali Masykur Musa yang saat itu menapaki usia 51 tahun.
Ketiga, menjelang Pemilu 2019. Partai Demokrat memberi ruang bagi kemunculan tiga kader mudanya. Ada Gubernur Lampung Muhammad Ridho Ficardo (37 tahun), Tuan Guru Bajang Muhammad Zainul Majdi (45 tahun), dan tentu Agus Harimurti Yudhoyono (39 tahun). Nama Agus Harimurti Yudhoyono bahkan sangat popular di benak publik masyarakat Indonesia. Pada beberapa Pilgub 2018, nama AHY turut muncul: Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Lampung.
Ketiga fenomena ini kian menegaskan bahwa Partai Demokrat telah dan terus membuka ruang yang cukup bagi generasi milenial atau para pemuda. Usia muda tidak menjadi hambatan untuk berkiprah di dunia politik, khususnya di tubuh Partai Demokrat. Barangkali, semangat anak muda ini pula yang membuat Partai Demokrat dalam Rakernas di Lombok menyebut Partai Demokrat akan mengusung pasangan capres dan cawapres dalam pilpres 2019.
Terkait hal itu, sebentar lagi Indonesia akan menikmati era bonus demografi. Pada periode 2020-2035, jumlah usia produktif diproyeksikan berada pada grafik tertinggi dalam sejarah, yakni mencapai 64 persen dari total penduduk 297 juta jiwa. Pada 2014 saja, rentang usia 16-30 tahun, sudah mencapai 61,8 juta orang atau 24,5 persen dari total jumlah penduduk. Potensi ini tentu perlu diantisipasi. Sudah terbit sinyal untuk melakukan alih generasi di pelbagai sektor di Indonesia. Pertanyaannya, apakah semangat perubahan ini hendak ditafikan hanya demi kepentingan segelintir golongan?
*)Aktivis dan Politisi Muda
(politiktoday)