Oleh: Didi Irawadi Syamsuddin*)
Independensi dan kemandirian pers sedang diuji, penghargaan Kemerdekaan Pers terhadap Presiden ke-7 Jokowi boleh-boleh saja. Tetapi apakah sudah tepat? Ingat pers adalah salah satu pilar demokrasi yang penting. Sejarah akan mencatat apakah penghargaan ini sudah benar dan tepat adanya, atau karena sekadar kebutuhan politik semata.
Saya berpendapat pemberian penghargaan Kemerdekaan Pers kepada Joko Widodo pada puncak peringatan Hari Pers Nasional yang diselenggarakan di Surabaya tanggal 9 Februari 2019 belum tepat. Bahkan bisa melukai semangat berdemokrasi, semangat kebebasan berpendapat dan berbicara yang bertanggungjawab.
Penghargaan diberikan di tengah kembali maraknya fenomena ‘blackout’ untuk berita-berita yang dinilai bisa merugikan penguasa. Kita bisa melihat setelah era Orde Baru, di era inilah para pihak yang kritis harus menghadapi tajamnya pisau hukum. Sedikit-sedikit dipanggil, diperiksa oleh polisi, hingga dituntut oleh Kejaksaan.
Sementara terhadap kubu-kubu yang dekat dengan kekuasaan hukum itu menjadi tumpul tidak berdaya. Sehingga kebebasan berpendapat yang bertanggung jawab dibiarkan dilanggar untuk kepentingan penguasa.
Yang juga sangat mengenaskan, pemberian remisi terhadap otak pembunuhan wartawan Radar Bali yang membuat banyak orang marah. Pers yang bermartabat seharusnya tidak menjilat pada kekuasaan yang sejatinya harus mereka kontrol dan awasi.
Saya sedih jika lebih banyak salah langkah, kelak bisa terjadi krisis kepercayaan pada pers. Sesungguhnya kita ingin pers menjadi sahabat rakyat, dan tentu sahabat yang “baik” bagi penguasa. Sahabat yang baik tentu tidak hanya asal bapak senang (ABS) apalagi menjilat. Sejatinya harus berani mengatakan apa adanya. Dengan demikian bisa menjaga penguasa dari kekhilafan dan kekeliruan, sehingga penguasa bisa memperbaiki diri segera dari setiap kebijakan yang salah.
Semua pihak perlu menyadari bahwa institusi pers bukan hanya mewakili para pekerja pers atau pemilik industri media semata. Melainkan sepenuhnya mewakili suara hati dan kepentingan publik.
Oleh karenanya, penghargaan itu lebih baik ditinjau dan dikoreksi kembali. Andai saya jadi Presiden Jokowi saya akan tolak dengan baik-baik penghargaan itu, dan selanjutnya terus berusaha memperbaiki dan menjaga iklim demokrasi agar lebih baik dan kondusif.
Dan saya kelak siap menerima kembali penghargaan itu, jika saya telah berlaku tegas dan adil terhadap pihak-pihak yang ada dalam kekuasaan saya, yang saya anggap keliru atau khilaf selama ini.
Kami mencintai pemimpin kami juga pers kami. Asalkan tidak tidak sekadar ABS. Sebab ABS kepada penguasa, apalagi pada rakyat tidak akan pernah menghasilkan apa-apa.
Tidak akan pernah menghasilkan demokrasi yang lebih baik, apalagi nasib bangsa yang lebih baik ke depan.
Salam.
*)Wakil Sekjend Partai Demokrat