Sekretaris Dept Urusan DPR DPP-PD dan Dewan Pakar Jaringan Nusantara Jansen Sitindaon (mcpd/ist)

Oleh: Jansen Sitindaon*)

Pembukaan

Pada Selasa tanggal 14 Februari 2017 yang lalu, Antasari Azhar melaporkan dugaan “rekayasa kasusnya” ke Badan Reserse Kriminal Polri.

Dalam LP bernomor: 167/II/2017/Bareskrim itu, Antasari mendasarkan laporannya pada pelanggaran Pasal 318 KUHP Jo. Pasal 417 KUHP.

Pasal 318 terkait persangkaan palsu. Dimana didalam KUHP dijelaskan: “sebuah perbuatan yang dengan sengaja menimbulkan secara palsu persangkaan terhadap seseorang bahwa dia melakukan suatu perbuatan pidana”.

Pasal 417 terkait Kejahatan Jabatan. Dimana tuduhannya: “seorang pejabat atau orang lain yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum terus menerus atau untuk sementara waktu yang sengaja menggelapkan, menghancurkan merusakkan atau membikin tak dapat dipakai barang-barang yang diperuntukkan guna meyakinkan atau membuktikan di muka penguasa yang berwenang.. “

—–

Saya ingin mengomentari laporan Antasari ini. Mari kita bedah.

Sebelumnya saya ingin bertanya. Apakah teman-teman (khususnya kalangan sarjana hukum) melihat ada yang “aneh” dan salah dari laporan ini??

Kalau saya sih melihat ada. Dan sifatnya: error in juridis  lagi. Sebuah kesalahan telak! Nanti saya jelaskan dibagian bawah tulisan ini.

—–

Antasari ini bersama kita tahu. Puluhan tahun jadi jaksa. Pernah menjadi Kajati. Bahkan beberapa kali jadi Kajari.

“Kitab utama” pegangan semua Jaksa adalah KUHP.

Para Jaksa inilah “tulang punggung utama” Negara ini dibidang pidana. Tidak ada “satu perkara” pidanapun yang bisa sampai ke Pengadilan kalau bukan tanpa Jaksa.

Untuk itulah tidak terlalu berlebihan jika kita mengatakan para Jaksa inilah “ahlinya pidana”. Yang sangat menguasai “KUHP”.

——

Kembali ke Antasari yang mantan Jaksa.  Dengan keadaan yang sama. Dapatlah kita katakan bahwa Antasari (harusnya) adalah orang yang sangat menguasai KUHP.  Sangat menguasai pasal-pasal pidana yang ada di KUHP.

Selain mantan Jaksa. Antasari ini juga kita ketahui adalah mantan Ketua KPK. Kalau KPK. Tentulah pegangannya UU Tindak Pidana Korupsi (“Tipikor”). Baik itu UU Tipikor No.31/1999 maupun perubahannya UU Tipikor No.20/2001. Tentulah sangat dikuasai Antasari.

——

Sekarang mari kita masuk ke thema utama tulisan ini. Dimana saya katakan Antasari tidak mengerti hukum. Dan dalam laporannya ke Bareskrim tanggal 14 Feb 2017 yang lalu saya katakan telah terjadi “error in juridis“.

Kembali ke LP Antasari. Didalam LP nya ini, salah satu pasal yang dia laporkan adalah “PASAL 417 KUHP”. Tentang “kejahatan jabatan”. Sebagaimana dibagian awal tulisan ini telah saya uraikan bunyinya.

Sebagai mantan Ketua KPK. Yang pegangannya. Yang “kitab sucinya” adalah UU Tipikor. Apakah Antasari lupa!! Kalau Pasal 417 KUHP ini berdasarkan Pasal 43B UU Tipikor perubahan No.20/2001 telah dinyatakan tidak berlaku lagi!

Ya. Sekali lagi saya tegaskan. Pasal 417 KUHP ini sudah tidak berlaku lagi. Tepatnya sejak 21 Nopember 2001. Pasal 417 KUHP ini (bersama 12 pasal lainnya dalam KUHP) sudah dinyatakan tidak berlaku lagi. Jadi sudah mau masuk tahun ke-16 pasal ini “dimatikan” dari sistem hukum kita.

Agar jelas juga bagi kita. Dan khususnya untuk Pak Antasari. Karena mungkin beliau lupa akibat saking “nafsunya” mau lapor-melaporkan orang. Dan tampil dimedia. Berikut saya uraikan isi lengkap dari Pasal 43B UU Tipikor ini:

“Pada saat mulai berlakunya Undang-undang ini, Pasal 209, Pasal 210, Pasal 387, Pasal 388, Pasal 415, Pasal 416, Pasal 417, Pasal 418, Pasal 419, Pasal 420, Pasal 423, Pasal 425, dan Pasal 435 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, dinyatakan tidak berlaku..”

——

Itulah dasar mengapa saya katakan Pak Antasari ini tidak mengerti hukum.

Sebagai mantan Ketua KPK. Dimana UU Tipikor adalah pegangannya. Bahkan “mungkin dibawanya sampai tidur”. Bukankah hal yang aneh UU yang jadi pegangannya saja dia tidak kuasai. Inilah yang membuktikan “omong besar” saja pak Antasari selama ini.

Kualitas seorang ahli hukum itu katanya, dapat dilihat dari langkah hukum yang dia ambil.

Kira-kira dengan membuat Laporan Polisi. Dimana pasal yang dia laporkan “sudah tidak berlaku” lagi. Bagaimana kita melihat sosok Antasari Azhar ini?

Kalau bermodal UU yang harusnya dia kuasai saja, dia “error in juridis”. Sudah konferensi pers kemana-mana lagi. Membawa-bawa nama mantan Presiden SBY lagi. Berteriak-teriak mengatakan kasusnya telah di intervensilah. Telah terjadi kejahatan jabatanlah. Padahal Pasal 417 yang dijadikan dasar laporannya saja telah “mati“. Sudah tidak berlaku lagi.

Dengan keadaan sejenis ini, masihkah kita akan mempercayai setiap ucapan Antasari Azhar ini?

Kalau saya. Berdasarkan hukum yang seharusnya dia kuasai saja dia membuat tindakan hukum yang salah. Error. Apalagi “omongannya”. Yang kita tidak memiliki dasar pegangan untuk mengujinya!

——

Sedikit masuk kewilayah lain. Masih terkait Antasari. Saya pribadi sepakat dengan apa yang di sampaikan oleh Dr. Benny K Harman, Wakil Ketua Komisi III dalam RDP dengan Kapolri kemarin di DPR . Dimana Dr. BKH menyampaikan: “Mabes Polri telah memberikan karpet merah untuk Antasari”.

Dasar saya sepakat dengan pernyataan Dr. BKH ini berikut dasar yuridisnya.

Didalam Perkap Kapolri No.12/2009 tentang Pengawasan dan Pengendalian Penanganan Perkara Pidana, didalam ketentuan Pasal 5 ayat 2 b, dikatakan:

“Pada setiap SPK yang menerima laporan atau pengaduan, ditempatkan anggota reserse kriminal yang ditugasi untuk: (b). melakukan kajian awal untuk menyaring perkara yang dilaporkan…”

Inilah yang kalau “dalam praktek” kita kenal dengan nama “ruang konsultasi”.

Ketika kita datang ke SPK untuk membuat laporan atau pengaduan. Kita akan diarahkan terlebih dahulu ke ruang konsultasi ini. Jadi bukan “ujug ujug” langsung dibuatkan LP.

Diruang inilah kita “berdiskusi” terkait rencana laporan kita. Seperti kejadian apa yang mau dilaporkan. Pasalnya pasal berapa. Dan berbagai diskusi yuridis lainnya sebelum nantinya akan dibuatkan laporan resmi. Untuk itulah dibanyak kejadian sering terjadi. Orang datang ingin buat LP. Pulangnya malah tangan kosong. Karena rencana LP nya “ditolak tidak diloloskan” diruang konsultasi ini. Ada karena perkaranya ternyata bukan perkara pidana. Kurang buktilah. Atau dalam kondisi khusus misalnya seperti pada perkara Antasari ini. Pasal yang dia jadikan dasar laporan ternyata sudah tidak berlaku lagi.

Untuk itulah, tidak salah untuk mengatakan: sejak diruang konsultasi ini, LP nya pak Antasari ini harusnya sudah ditolak.

Inilah dasar saya mengatakan. Terkait LP yang menggunakan pasal yang “sudah mati” ini, Mabes Polri telah memberikan karpet merah kepada Antasari. LP yang harusnya di tolak. Malah diterbitkan LP model B sebagaimana dimaksud Pasal 6 ayat (3) Perkap Kapolri No.12/2009. Sehingga dengan “bermodal” LP ini, Antasari kemudian “berkoar koar” ke media. Teriak sana teriak sini. Serang sana serang sini. Seakan dia sudah paling benar dengan berlindung dibalik LP ini. 

——

Sebagai penutup. Semoga bersama tulisan ini pak Antasari segera sadar. Bahwa LP bapak yang bernomor: 167/II/2017/Bareskrim tanggal 14 Februari 2017 yang lalu adalah LP yang “error in juridis”. Dengan bapak mengetahui LP ini tidak berdasar hukum,  semoga Pak Antasari tidak “banyak omong” lagi di media.

Sebagai bahan perenungan.

Coba pak Antasari baca baik-baik lagi Pasal 43 B UU Tipikor. Sebuah UU yang harusnya sangat bapak kuasai. Lihat dengan terang dan jelas bahwa Pasal 417 KUHP yang bapak jadikan dasar laporan telah dinyatakan tidak berlaku lagi.

Kesimpulan:

Dengan fakta hukum pasal yang dilaporkan sudah tidak berlaku lagi (sebagaimana diuraikan diatas). Laporan pak Antasari ini tidak layak lagi untuk diteruskan oleh Mabes Polri.

Dan menurut saya malah sebaliknya, pak Antasari ini yang harusnya segera diproses balik oleh Mabes Polri.

Selain karena Pasal 417 KUHP yang dia laporkan sudah tidak berlaku lagi. Sehingga dia sudah tidak punya pegangan yuridis. “Koar-koar” dan tuduhan tanpa dasarnya beberapa waktu belakangan ini juga telah nyata mencemarkan nama baik mantan Presiden SBY.

Kalau pak Antasari ini tidak segera diproses. Berbahaya sekali. Bisa jadi preseden buruk. Karena setiap orang nantinya akan meniru. Dan bebas “memproduksi” tuduhan apapun kepada seseorang.

Jakarta, 24 Februari 2017

*) Sekretaris Departemen Urusan DPR DPP-PD dan Dewan Pakar Jaringan Nusantara