Sekretaris Jenderal DPP-PD Dr Hinca IP Pandjaitan XIII dalam sambutan pembukaan Workshop Bimtek Divisi Pendidikan dan Pelatihan (Diklat) DPP-PD edisi kedua; gelombang IV; angkatan 10, 11 dan 12 di Auditorium DPP Partai Demokrat, Wisma Proklamasi 41, Pegangsaan, Menteng, Jakarta Pusat, Senin (17/4/2017). Pelatihan itu ditujukan bagi Anggota Fraksi Partai Demokrat DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota di Sumatera Utara, Lampung, Jawa Timur, Kalimantan Timur, Kalimantan Utara, Sulawesi Tengah, Maluku dan Papua Barat. (Foto: MCPD/Iwan K)

Jakarta: Lampu padam. Suasana gelap. Dua layar proyektor di samping kiri kanan panggung sontak menjadi pusat perhatian sekitar 300an kader Partai Demokrat.

Lalu tawa kerap terdengar dari para kader saat menyimak video yang ditayangkan.  Di layar tampak adegan beberapa kader tengah menjawab pertanyaan sederhana dari Tim Media Kesekretariatjenderalan (Kesekjenan) tentang profil Pimpinan Partai Demokrat. Meski tak sempurna, nyaris seluruh kader mampu menjawab pertanyaan diajukan.

“Bagaimana kita bisa memenangkan partai besar ini jika kalian tak kenal pimpinan kalian.” Meski tampak tersenyum, Sekretaris Jenderal Partai Demokrat Dr Hinca IP Pandjaitan XIII tentulah sedang sangat serius saat menyampaikan, mengapa video berisi wawancara dengan kader itu ditayangkan .

Ya, keseriusan memang menjadi syarat utama dalam perhelatan tersebut. Penayangan video itu menjadi bagian dari pembukaan Workshop Bimbingan Teknis (Bimtek) Divisi Pendidikan dan Pelatihan (Diklat) Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrat (DPP-PD). Pembukaan digelar di Auditorium DPP-PD, Wisma Proklamasi 41, Pegangsaan, Menteng, Jakarta Pusat, Senin malam (17/4/2017).

Bimtek ini sudah memasuki edisi kedua; gelombang IV; angkatan 10, 11 dan 12. Bimtek ditujukan bagi Anggota Fraksi Partai Demokrat DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota di Sumatera Utara, Lampung, Jawa Timur, Kalimantan Timur, Kalimantan Utara, Sulawesi Tengah, Maluku dan Papua Barat.

Hadir dalam pembukaan workshop bimtek, antara lain, Ketua Divisi Diklat DPP-PD Gondo Radityo (Dudi) Gambiro, Wakil Sekjen DPP-PD Andi Timo Pangerang, Wakil Bendahara Umum DPP-PD Siswanto; Fariani Sugiharto dan Edwin Tandjung, Wakil Direktur Eksekutif DPP-PD Daisy M Silanno, Sekretaris Divisi Diklat DPP-PD Agustinus Tamo Mbapa, Sekretaris Divisi Komunikasi Publik DPP-PD Hilda Thawila, Komunikator DPP-PD Ferdinand Hutahaean, Pengurus Dept Agama DPP-PD Elvira Kaunang, Ketua Panitia Peaksana Bimtek Iwan Rinaldo Syarif serta para kader utama Partai Demokrat.

Seusai penayangan video “ringan” tersebut, Hinca mulai memberikan arahannya. Lelaki kelahiran  Aek Songsongan, Kab Asahan, Sumatera Utara (25 September 1964) mengatakan, berpolitik itu harus nyaman dan asyik.

“Berpolitiklah dengan kening tak berkerut. Sebab berpolitik itu asyik. Santai, jangan tegang. Jangan ada beban.”

Ratusan kader berjas biru tampak mendengarkan dengan takzim.

Orasi adalah seni. Kesantaian tak boleh mengurangi keseriusan. Hinca lantas mulai mengingatkan para kader bahwa Demokrat yang digagas dan didirikan Prof Dr Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) saat ini sedang menyiapkan diri untuk memenangkan kompetisi demi kompetisi politik.

Di tahun 2018, setidaknya ada 171 Pemilihan Langsung Kepala Daerah (Pilkada) Serentak yang harus diikuti dan dimenangkan Demokrat. Puncaknya, di 2019, ada Pemilihan Langsung Presiden-Wakil Presiden dan Pemilihan Langsung Legislator Pusat Daerah Serentak, yang tentu wajib pula dimenangkan partai berlambang bintang segitiga merah putih.

“Partai ini berenergi besar.  Bayangkan gagahnya. Partai ini besar sekali,” Hinca menegaskan.

Berhenti sejenak, Hinca memandang tajam ke arah hadirin. ”Kenapa partai ini besar sekali?  Karena Ketua Umum Partai Demokrat Pak SBY adalah Presiden RI ke-6 yang memerintah satu dasawarsa. Karena kader Partai Demokrat solid!”

Hinca lantas menyampaikan pengalamannya berkeliling Nusantara. Upaya itu dilakukan karena para kader harus turun ke bawah untuk menyapa rakyat, jika ingin Demokrat menang. Para kader harus bicara tentang kenyataan. Para kader harus berdiri di sisi rakyat. Itulah makna menjadi partai penyeimbang.

“Kalian adalah anggota legiaslator. Kalian harus bicara. Apalagi pernyataan kalian dilindungi undang-undang,” Hinca menegaskan.

Menukik lebih dalam, Hinca menginstruksikan kader untuk mulai menyampaikan pernyataan secara tertulis. Sebab tulisan apalagi yang naratif adalah kekuatan Partai Demokrat.

Lantas lampu kembali padam. Dua layar proyektor kembali menayangkan video saat Demokrat menggelar Rapat Pimpinan Nasional  (Rapimnas) 7 Februari 2017. Satu adegannya adalah cuplikan pidato politik SBY. Bunyinya:

“…Yang penting, bagaimana kita bisa menjaga dan merawat kebhinnekaan itu sekarang dan ke depan. Saya berpendapat, ada 2 kata kunci jika kita ingin sukses menjaga kebhinnekaan. Yang pertama adalah toleransi, dan yang kedua tenggang rasa.

“Toleransi berarti menghormati perbedaan. Toleransi juga berarti kita bisa mengerti, dan tidak cepat tersinggung atau marah, jika mendengar atau mengetahui sesuatu yang tidak ‘pas’.

“Sementara, tenggang rasa adalah kemampuan dan kesediaan untuk mengendalikan diri. Kita mesti mencegah tutur kata dan perbuatan yang bisa melukai, menyinggung, memperolok, dan merendahkan keyakinan saudara kita yang berbeda identitas. Karenanya, toleransi ini harus senantiasa dipasangkan dengan tenggang rasa.”

Di layar, tampak ribuan kader utama se-Indonesia kompak menyanyikan Mars Demokrat, karya SBY. Tampak pula Agus Harimurti Yudhoyono, Sang Pemimpin Nasional mendatang. Seluruhnya tampak bersemangat tinggi. Yakin bahwa hari depan pasti gemilang dalam bingkai kebhinnekaan tunggal ika.

“Lihatlah. Tidak ada partai yang segagah Demokrat,” Hinca menunjukkan.

Video selanjutnya, di layar proyektor, tampillah cuplikan adegan Film Naga Bonar (1987). Tokoh Naga Bonar diilhami sosok Kolonel Bedjo, tokoh penting dalam Pertempuran Medan Area (Desember 1945-Agustus 1946). Ini sesuai penuturan Sugiono MP, wartawan senior, teman dekat Asrul Sani, Sutradara Naga Bonar.

Dalam adegan itu, Naga Bonar tampak gagah memerintah pasukannya untuk bertempur. Tetapi kegagahannya langsung sirna ketika Sang Ibu memanggil. Tak sekadar memenuhi panggilan, Naga Bonar rela menggendong Sang Ibu, menepis rasa malu. Bagi Naga Bonar, Ibu adalah segalanya.

“Adegan film itu membuat kita harus membuat pilihan. Apakah kita ingin menjadi Naga Bonar yang rela berbakti pada ibunya atau Malin Kundang yang durhaka sehingga dikutuk Sang Ibu menjadi batu. Partai Demokrat adalah Ibu kalian. Jaga dan rawatlah partai ini. Sebagai anggota dewan, tentu kalian sangat sibuk. Tapi janganlah kalian lebih PNS daripada PNS. Demokrat adalah Ibu kalian. Bisakah kalian menjadi anggota dewan jika bukan karena Demokrat? Maka jika Ibumu memanggil, datanglah. Pulanglah.”

Tentu pernyataan  Hinca agar kader menjadi Naga Bonar bukan Malin Kundang telah kerap disampaikan. Tetapi Hinca menegaskan ia akan terus menyampaikannya karena tidak mungkin partai besar jika para kadernya mengabaikan Sang Ibu; mengabaikan Demokrat.

(didik l pambudi)