Oleh: Ferdinand Hutahaean*)
Dua hari terakhir, media semarak memberitakan tentang telah disepakatinya perpanjangan Kontrak Freeport 2 x 10 tahun pasca 2021 atau hingga tahun 2041.
Media seperti Tempo dan lain-lain menuliskan tentang kesepakatan itu pasca adanya rapat pertemuan di Kementerian Keuangan untuk membahas 4 isu utama Kontrak Freeport, salah satunya adalah kesepakatan perpanjangan kontrak operasi Freeport di Papua hingga tahun 2041. Empat isu utama yang dibahas adalah Perpanjangan Kontrak, Pembangungan Smelter, Divestasi Saham dan Stabilisasi Investasi. Menurut pemberitaan 2 hari lalu, bahwa 2 hal telah disepakati yaitu Perpanjangan Kontrak dan Pembangunan Smelter, sementara menyisakan dua poin lagi yang perlu pembahasan lanjutan.
Menarik mencermati pernyataan Fajar Harry Sampurno, Deputy Bidang Usaha Pertambangan, Industri Strategis dan Media Kementerian BUMN, yang kemudian tidak berselang lama dan hanya beberapa jam saja, muncul bantahan dari yang bersangkutan setelah ramai dipublik diperbincangkan tentang sikap pemerintah tersebut. Bahkan muncul tagar di lini massa Twitter yang menuliskan #JokowiBohongSoalFreeport.
Munculnya tagar tersebut bukanlah muncul begitu saja atau tanpa alasan. Semua itu karena publik melihat beberapa pernyataan Jokowi terkait Freeport semasa kampanye Pilpres maupun semasa telah menjabat sebagai Presiden. Bahkan tanggal 25 Juli 2014 saat Jokowi belum resmi menjadi Presiden, sudah mengeluarkan pernyataan seperti ditulis media viva.co.id yang diposting pukul 20.53 oleh : Lestia Kertopati berjudul : “Jokowi : Tidak ada Perpanjangan Kontrak Freeport” seraya Jokowi menegaskan bahwa negosiasi Kontrak Freeport hanya boleh dilakukan tahun 2019 atau 2 tahun sebelum Kontrak Karya berakhir 2021. Ditambah sederet pernyataan Presiden yang seolah gagah perkasa menekan dan mengontrol Freeport bahwa tidak akan perpanjangan Kontrak. Alhasil rakyat tersihir dan terbius oleh propaganda indah sang Presiden terpilih saat itu.
Satu hal yang unik untuk dicermati adalah, ada sekelompok yang patut diduga adalah kelompok pendukung Presiden Jokowi, yang justru membangun opini di tengah publik bahwa justru SBY lah yang telah memperpanjang Kontrak Freeport sehingga Presiden Jokowi sekarang tidak mungkin membatalkan hal tersebut. Opini itu melintas dari tulisan pendek tanpa penulis yang terkirim lewat aplikasi Whatssapp dan mampir juga di ponsel yang saya pegang. Saya kemudian tertawa dan sekaligus tercengang. Seraya bertanya dalam diri, siapa orang bodoh yang memiliki karakter sejahat itu mampu membangun opini bahwa perpanjangan kontrak Freeport adalah akibat ulah SBY? Fitnah yang kejam, namun menjadi lelucon yang tak layak ditertawakan.
Saya masih ingat periode bulan Juni-Juli 2014, saat itu Presiden SBY masih memimpin, dan dikomandani oleh Dirjen Minerba saat itu Bapak Sukyar memang melakukan negosiasi untuk Amendment Kontrak Karya Freeport. Garisbawahi kata Amendment, karena itu bukan Perpanjangan Kontrak, namun Amendment yang bertujuan untuk memasukkan poin-poin penting ke dalam kontrak Karya. Ada 6 (Enam) poin yang dinegosiasikan waktu itu, yaitu adalah Kewajiban Pembangunan Smelter, Pengurangan Luas Lahan, Perubahan Kontrak Karya kepada Izin Usaha (IUPK), Kenaikan Royalti penerimaan negara, Divestasi Saham, serta penggunaan barang dan jasa pertambangan dalam negeri. Lantas dimana dari 6 poin tersebut yang menyatakan akan memperpanjang Kontrak Freeport? Negosiasi itu kemudian dituangkan ke dalam Memorandum of Understanding (MoU) atau Nota Kesepahaman antara Pemerintah dengan Freeport. Tidak ada yang salah, itu sudah benar, dan andai Pemerintahan Jokowi meneruskan MoU tersebut untuk dinegosiasikan, tentu sudah menghasilkan dampak positif bagi Negara, minimal Smelter sudah selesai dibangun selama 3 tahun dari 2014.
Namun ironi kemudian terjadi, Pemerintahan yang dipimpin oleh Presiden Jokowi tampil seolah Nasionalis, seoalah gagah perkasa berhadapan dengan dominasi Freeport, mengeluarkan pernyataan-pernyataan (maaf) sok heroik namun fakta yang terjadi di lapangan muncul kejanggalan-kejanggalan yang berbeda antara pernyataan dengan sikap. Pertemuan di Kementerian Keuangan itu menunjukan bahwa Pemerintah memang sedang Negosiasi Kontrak dengan Freeport meski belum tahun 2019 sebagaimana yang pernah disampaikan oleh Jokowi. Hmmm… memang lidah tak bertulang. Kemudian sempat ramai diperbincangkan dan menjadi berita atas meledaknya kasus Papa Minta Saham yang menyebut-nyebut nama Presiden dan beberapa nama orang penting di kabinet. Kasus itu kemudian membuat terduga Papa Minta Saham itu menghilang yaitu Mohammad Riza Chalid serta sempat melengserkan Setya Novanto dari Kursi Ketua DPR meski sekarang duduk kembali seolah tidak terjadi apa-apa.
Tampaknya Pemerintah sedang menguji publik atau test the waters dengan perpanjangan kontrak Freeport tersebut dan respons publik menolak, alhasil Fajar Harry Sampurno yang harus menanggung sendirian hasil uji publik tersebut.
Secara pribadi, saya sangat prihatin atas sikap pemerintah yang terus menerus bermain di tataran opini dan propaganda untuk mendapat citra psositif dari publik. Inilah yang saya tulis beberapa bulan lalu yaitu Maret dan April tentang Nasionalisme Abal-abal dan Waspadai Pihak Pura-pura Nasionalis yang mengurus masalah Freeport. Sebagai anak bangsa, Saya kecewa karena hanya permainan opini yang liar bermain tanpa menghasilkan apapun kepada peningkatan penerimaan negara dan bangsa supaya bermanfaat bagi rakyat.
Saya himbau kepada Pemerintahan Jokowi agar serius mengurus Freeport, jangan jadikan Freeport cuma mainan opini sesaat meski ujung-ujungnya nanti akan diperpajang. Lakukan saja negosiasi dari sekarang untuk komitmen penting yaitu terkait Pembangunan Smelter dan Peningkatan Royalti. Smelter ini sangat penting, jauh lebih penting dari bicara Divestasi karena dengan Smelter, semua akan tahu sebetulnya hasil dari Freeport itu sebesar apa. Karena selama ini publik bahkan negara hanya dapat berita di atas kertas tanpa pernah mengetahui hasil faktual dari Freeport. Dengan Smleter maka semua itu akan terbuka dan saya meyakini bahwa penerimaan negara akan meningkat setidaknya dua kali lebih besar.
Tidak usah ngotot tentang divestasi karena memang kemampuan keuangan kita sedang tidak mampu untuk divestasi saham. Lihat saja divestasi yang ditawarkan tahun lalu sebesar 10% tidak mampu kita selesaikan hingga sekarang, Itu masih 10%, bukan 51%. Lantas mengapa sebegitu ngototnya terhadap divestasi itu? Adakah pihak lain yang sudah mengintip di balik layar seperti dugaan banyak pihak selama ini bahwa China sedang mengintip divestasi ini? Jangan sampai kita lepas dari mulut harimau masuk mulut buaya. Jangan karena kepentingan biaya logistik 2019, nasib negara dipertaruhkan dan dibuat dagangan.
Sekali lagi kami menghimbau pemerintah untuk serius dalam kebijakan negosiasai dengan Freeport. Sudah cukup era pencitraan basa-basi. Bangsa ini butuh kepastian kebijakan dan tidak butuh basa-basi atau opini politik.
Jakarta, 6 Juli 2017
*)Pimpinan Rumah Amanah Rakyat dan Direktur Eksekutif Energy Watch Indonesia
(repelita.com/dik)