Pantai di Banda Aceh beberapa saat setelah tsunami melanda wilayah itu. (Foto AFP)

Oleh: Miftah Fauziyah

Di awal pemerintahannya, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sudah “dihadiahi” dengan berbagai permasalahan. Masalah yang pertama adalah bencana tsunami yang melanda Aceh. Berikut adalah sekilas cerita mengenai tsunami di Aceh.

Tsunami Aceh, Desember 2004.

Pagi itu, tanggal 26 Desember 2004, di Nabire, Papua, rakyat sedang bersiap-siap melepas Presiden SBY dan Ibu Ani, yang semalam sebelumnya tidur di tenda setelah memberi bantuan kepada para korban gempa bumi.

Waktu itu, mulai terdengar berita samar-samar bahwa terjadi gempa di Aceh. Tidak lama setelah itu, berita yang masuk berubah: setelah gempa, ada ‘banjir besar’ di Aceh, dan setelah itu berubah lagi, ada ‘tsunami’.

Presiden segera menugaskan Sekretaris Militer untuk mengatur penerbangan dari Jayapura ke Aceh. Malam itu juga, Presiden menggelar Rapat Kabinet Darurat di kediaman Gubernur Papua.

Keesokan paginya, Presiden berangkat meninggalkan Jayapura dan tiba di Lhokseumawe pada sore hari.

Di Bandara Lhokseumawe Presiden langsung meminta laporan dari pimpinan provinsi di antaranya Gubernur, Pangdam, dan Kapolda. Presiden mengeluarkan instruksi yang bersifat operasional untuk melakukan langkah-langkah tanggap darurat. Intinya upaya penyelamatan jiwa penduduk, perawatan korban, SAR, dan bantuan pangan.

Kapolda Aceh Bahrumsyah dan Pangdam Iskandar Muda Endang Suwarya memberitahu Presiden bahwa fungsi pemerintahan praktis tidak berfungsi, karena banyak pejabat daerah yang meninggal atau hilang, kantor-kantor runtuh, sementara jaringan komunikasi –telepon, termasuk telepon genggam- terputus. Sementara itu, kapasitas anggota TNI dan Polri juga terbatas, karena banyak anggota yang juga tewas dan hilang dan sebagian besar perlengkapan–mobil, motor, truk–musnah.

Begitu kembali ke Jakarta, Presiden segera menggelar Rapat Kabinet Darurat, dimana SBY dapat memberi instruksi yang tepat, jelas, praktis, dan responsif terhadap kondisi aktual di lapangan: mengirim bantuan TNI dan Polri untuk operasi penyelamatan dan tanggap darurat, mengirim KRI ke Meulaboh, dan Hercules ke Banda Aceh, menyiapkan ribuan kantong untuk jenazah yang ditemukan; mengirim BBM, makanan dan air bersih; menghidupkan kembali listrik dan jalur telepon; menentukan jumlah tenda yang dibutuhkan untuk pengungsi; mengirim dokter tambahan; mengirim truk dari Medan; dan lain sebagainya.

SBY juga menghimbau masyarakat di seluruh Indonesia untuk membantu. Dan memang, masyarakat dari berbagai kalangan berduyun-duyun mengirim bantuan, baik berupa uang ataupun materi. Namun masalah selanjutnya adalah semua personil, perangkat dan bantuan yang datang masih belum cukup untuk menangani krisis.

Dalam hari-hari pertama, kesulitan ini sudah dapat dilihat. Bantuan yang datang menumpuk di bandar udara, karena arus masuk lebih besar dari kemampuan distribusi di lapangan. Petugas dan dokter-dokter sulit bergerak di lapangan karena jalan-jalan dan jembatan hancur. Karena jalan darat umumnya rusak, peran helikopter menjadi sangat penting, namun di seluruh Aceh hanya ada satu helikopter yang selamat. Karenanya banyak sekali korban di berbagai tempat yang terisolir yang tidak terjangkau dan tidak diketahui nasibnya.

Di sini, SBY cepat mengambil kesimpulan bahwa ada ‘kesenjangan sumber daya’ yang menganga lebar: antara apa yang sangat dibutuhkan di medan krisis, dan kemampuan pemerintah dan masyarakat kita untuk memenuhinya. Betapapun tingginya semangat dan dedikasi pemerintah, betapapun besarnya sumbangan masyarakat, masih belum cukup untuk menangani bencana alam paling menghancurkan dalam sejaran dunia modern ini.

Tidak lama setelah itu, SBY mengambil keputusan yang sangat strategis dalam menangani krisis tsunami: membuka Aceh secara total pada dunia luar, baik militer maupun LSM.

Sekitar tanggal 29 Desember 2004, Pemerintah Indonesia mengumumkan ‘open sky policy’ untuk Aceh dan Nias. Presiden juga menghimbau dunia agar menunjukkan ‘solidaritas global’ terhadap para korban tsunami, bukan hanya Indonesia, namun juga negara-negara lain di sekitar Samudera Hindia.

Dengan kebijakan baru ini, Aceh menjadi terbuka untuk segala pesawat dan kapal negara sahabat yang bertujuan membantu tsunami. Hal ini berlaku bagi militer maupun LSM internasional. Pekerja kemanusiaan dari manapun kini bisa masuk ke Aceh tanpa visa.
Setelah penggelaran TNI dan pasukan internasional komplit, operasi kemanusiaan dapat dilakukan secara merata di seluruh Aceh.

Letjen Bambang Darmono dapat dengan efisien membagi-bagi tugas setiap pagi kepada personil TNI dan kontingen militer asing, tanpa dibebani lagi hambatan logistik karena kini titik mana pun di Aceh dapat dicapai oleh Chinook, Blackhawk, atau Superpuma negara sahabat. Segala masalah yang timbul dapat ditanggapi dengan cepat. Puluhan ribu pasien dapat dirawat, semuanya gratis, di rumah sakit lapangan TNI, ataupun rumah sakit apung seperti USNS Mercy dan FGS Berlin.

Dalam konteks internasional, kebijakan open door merupakan apa yang dalam dunia militer dinamakan ‘Military Operation Other Than War’ terbesar sejak Perang Dunia ke-2. Tidak pernah ada suatu peristiwa dimana begitu banyak militer dari berbagai negara bahu-membahu melaksanakan satu misi bersama. Semua melupakan agenda, semua satu tujuan: menyelamatkan nyawa dan membantu rakyat Indonesia di Aceh dan Nias.

Dalam peristiwa tsunami ini, Presiden SBY menunjukkan sikap kepemimpinannya. Ia segera ‘maju ke depan’ dan tiba di Aceh pada hari kedua setelah tsunami. Dengan melihat langsung kondisi riil di lapangan, presiden SBY dapat memberi keputusan mengenai langkah-langkah apa yang harus segera dilakukan dalam keadaan segenting itu.

Kehadiran Presiden SBY juga mengangkat semangat petugas di lapangan yang waktu itu sangat terpukul, baik karena kehilangan keluarga, rekan-rekan, maupun karena mata rantai komando yang tercerai-berai.

Yang terakhir, kehadiran beliau menunjukkan bahwa pemerintah pusat memberikan perhatian penuh dan dukungan untuk membantu mereka keluar dari bencana ini.***