Oleh : Dr. Didik Mukrianto*)

Dr Didik Mukrianto (ist)

Salah satu harapan tumbuh kembangnya demokrasi di Indonesia, idealnya akan terwujudnya pemerataan kekuasaan dan ekonomi demi kesejahteraan rakyat. Namun pada perkembangan saat ini, justru bisa dianggap berjalan di arah yang sebaliknya, kekuasaan dan ekonomi semakin terkonsentrasi.

Apabila Oligarki sudah menguasai demokrasi maka bisa dipastikan, cita-cita terwujudnya pemerataan kekuasaan dan kemakmuran rakyat semakin jauh. Makin dalamnya jurang antara si kaya dan si miskin, konsentrasi kekuasaan dan kekayaan meningkat, serta ketimpangan yang juga meningkat adalah potret dan kode keras bahwa bandul demokrasi semakin dekat bergeser ke oligarki. Kalau sampai oligarki menguasai dan mengontrol sistem demokrasi, maka jangan salahkan kalau oligarki demokrasi akan abai terhadap kebutuhan dan kepentingan rakyat.

Demikian halnya dengan wacana para elite politik beberapa waktu belakangan ini tentang pemberlakuan pemilu tidak langsung, bisa membuka ruang yang sangat terbuka tumbuh suburnya oligarki demokrasi. Pemberlakuan pemilu tidak langsung, baik pemilu presiden maupun pemilu Gub/Bupati/Walikota, bukan hanya bisa merampas hak dan kedaulatan rakyat dalam memilih pemimpinnya secara langsung, tapi jauh lebih dari itu akan bisa mempersempit kesempatan rakyat untuk ikut berkompetisi dan dipilih menjadi pemimpin secara sehat dan fair.

Dengan alasan apapun juga, tidak seharusnya para elite politik yang mendeklarasikan dirinya sebagai pecinta demokrasi, membiarkan bahkan menjadi pupuk tumbuh suburnya oligarki. Jangan sampai juga oligarki demokrasi berlindung di balik mayoritas dan kekuasaan. Kalau ini dibiarkan maka tidak bisa terhindarkan bandul demokrasi akan bergeser ke oligarki.

Namun demikian, pergeseran bandul ini pasti juga akan berhadapan dengan kekuatan pecinta demokrasi. Civil society dan pejuang demokrasi akan dengan mudah membangun “koalisi baru” yaitu koalisi pro demokrasi. Dan apabila pergeseran bandul demokrasi semakin masif menuju oligarki bisa dipastikan akan saling berhadapan kutub pro demokrasi melawan koalisi anti demokrasi.

Oligarki demokrasi seperti ini akan bisa dicegah jika penguasa tidak bermain-main dengan para oligarkh dan secepatnya mengkonsolidasikan demokrasi dengan kehendak dan kepentingan rakyat. Dan pada situasi inilah partai politik sebagai bagian pilar demokrasi akan diuji komitmen dan keberpihakannya.

Semestinya tidak ada satupun partai politik yang rela apabila demokrasi direduksi dan didegradasi. Idealnya partai politik tidak akan membiarkan bandul demokrasi bergeser menuju arah oligarki.

Dalam konteks ini Partai Demokrat akan memastikan dirinya menjadi pemimpin pro demokrasi, jika para oligarkh terus membangun sekutu untuk mendestruksi demokrasi menuju bandul oligraki, termasuk jika ada upaya untuk mencabut kedaulatan rakyat, merampas hak rakyat melalui upaya pencabutan pemilu dan pilkada langsung.

Kalaupun dalam pelaksanaan pemilu dan pilkada langsung perlu penyempurnaan, sudah seharusnya dilakukan perbaikan bukan menggeser bandul demokrasi yang selama sudah berjalan baik, berjalan demokratis dan fair.

10 Tahun era pemerintahan SBY, demokrasi tumbuh subur dan rakyat menikmati demokrasi dengan kesukacitaannya dalam memilih pemimpinnya secara langsung. Demikian juga rakyat diberikan ruang dan hak selebar-lebarnya untuk menjadi bagian dari kompetisi.

Ada apa dengan negeri ini, apakah negara sudah kalah dengan para oligarkh yang ingin menguasai demokrasi? Apakah para pemimpin dan elite akan membiarkan demokrasi dikuasai dan dikontrol oleh para oligarkh?

Jangan biarkan demokrasi mati, jangan biarkan oligarkhi berkuasa atas nama demokrasi.

*)Anggota Komisi III DPR-RI, Fraksi Demokrat; Ketua Umum Karang Taruna Nasional