Ketua Kogasma Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono menerima pataka dari Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono. (ist/politiktoday)

Hari ini saya teringat pada pidato Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di peringatan HUT Partai Demokrat ke-16. Berdesir hati saya saat menonton kembali rekaman pidato itu di Youtube, utamanya saat SBY mengajak kita untuk melakukan refleksi kesejarahan Indonesia untuk menjawab mengapa Indonesia dahulu jatuh ke dalam krisis besar, yang hampir saja menjadikan Indonesia negara gagal.

Tujuah poin penting terkait refleksi masa silam itu adalah:

Pertama, seolah-olah kita harus memilih antara ekonomi atau demokrasi.

Kedua, seolah-olah kita harus memilih antara stabilitas politik dan keamanan, atau kebebasan.

Ketiga, rakyat di minta sabar dan mau menerima keadaan pembangunan yang belum merata karena negara harus meningkatkan dulu pertumbuhan ekonominya.

Keempat, dalam kehidupan politik, aparat negara termasuk TNI, Polri dan BIN sering tidak netral, dan berpihak kepada penguasa dan parpol tertentu.

Kelima, pemilihan umum dan pilkada dinilai tidak adil dan tidak demokratis karena aparat negara termasuk TNI, Polri, dan BIN berpihak alias tidak netral.

Keenam, kemerdekaan pers sangat dikontrol bahkan dibatasi, media sering menjadi corong negara bahkan kepentingan penguasa.

Ketujuh, negara dinilai kurang gigih dalam memberantas korupsi, sementara kolusi antara dunia bisnis dengan politik tumbuh subur.

Sependek ingatan saya, saat menjabat sebagai Presiden RI, SBY telah bergerak untuk mengatasi aspirasi masyarakat atas ketujuh problem ini. Baik sebagai suatu insiatif dan terobosan atau bersifat melanjutkan apa-apa yang sudah baik yang diwariskan oleh pendahulunya. Telebih SBY adalah presiden RI pertama yang lahir dari system demokrasi langsung, plus menjabat dua periode sehingga memiliki cukup waktu untuk melakukan hal-hal yang positif serta meninggalkan warisan sebagai pondasi penerusnya.

Ambil contoh SBY menerapkan pembangunan yang berbasiskan empat pilar pro-growth, pro-poor, pro-job dan pro-enviroment. Empat pilar ini disusun agar pembangunan ekonomi dapat berkorespondensi dengan peningkatan kesejahteraan masyarat, sekaligus tidak menyebabkan kerusakan lingkungan. Keberhasilan-keberhasilan ini pun bisa diuji secara statistik.

Kondisi serupa juga terjadi pada netralitas aparatur negara, termasuk TNI, Polri dan BIN agar tidak ikut-ikutan politik praktis, kebebasan pers dan kebebasan berdemokrasi, serta dukungannya terhadap pemberantasan korupsi (baca: pasang badan buat KPK).

Celakanya, di era pemerintahan Jokowi-JK ini penuntasan ketujuh aspirasi rakyat ini terkesan surut ke belakang. Ibaratnya, tangga-tanga yang dibangun, bukannya kian membumbung ke langit, justru pecah berkeping-keping ke arah bawah.

Betul, pada era pemerintahan hari ini semangat Pancasila, NKRI, UUD 1945, dan kebhinekaan begitu meluap-luap. Tapi tekad dan kesadaran ini terang tak cukup, terang tak lengkap. Bukti paling gampangnya adalah saking meluap-luapnya, tekad dan kesadaran itu malah memantik pergesekan secara horizontal maupun vertical tak bisa dielakkan.

Kita sama-sama paham orientasi dari keempat tekad dan kesadaran bukan sekadar bersifat an sich, bukan sekadar harga mati yang tak bisa diganggugugat. Di balik tekad dan kesadaran itu kita ingin membangun dan berkehidupan di Indonesia yang aman dan damai, Indonesia yang menjamin tegaknya keadilan bagi semua, Indoensia yang memakmurkan rakyatnya tanpa kecuali, serta Indonesia yang menjami kebebasan dan nilai-nilai demokrasi.

Dan kondisi ideal ini sulit tercipta apabila ketujuh aspirasi rakyat ini ditafik akibat arogansi elit politik. Telisik saja baik-baik! Ada kesan pemerintah lebih mendahulukan proyek-proyek infrastruktur ketimbang mengurus kesejahteraan rakyat. Indeks demokrasi Indonesia terus menurun. Rumor TNI, Polri dan BIN ikut politik praktis meledak hebat. Pemberantasan korupsi seolah berputar-putar saat menyentuh kader-kader parpol yang berkuasa. Independensi pers kembali dipertanyakan.

Kita sama-sama paham SBY bukan sosok yang suka berkutat pada masalah, ia lebih suka berfokus pada solusi dan menerapkan solusi terbaik yang telah dipilih.

Lagipula era pemerintahan SBY sudah habis. Jadi jangan berharap yang bukan-bukan—seumpama rakyat yang dalam beberapa survey masih mengharapkan SBY maju dalam Pilpres 2019. Aspirasi itu kita aspirasi karena ini adalah bentuk dari kepercayaan. Tapi konstitusi sudah melarang, dan SBY pun jauh-jauh hari sudah bicara regenerasi.

Sehingga, tanpa bermaksud mengambil-alih tugas pemerintah, sudah selayaknya kader-kader Partai Demokrat berkontribusi untuk menjawab 7 aspirasi rakyat ini. Terlebih yang pertama kali mengangkat tujuh aspirasi rakyat tersebut adalah SBY, dalam kapasitasnya sebagai Ketua Umum DPP Partai Demokrat, maka sebagai rakyat Indonesia saya pun mengharapkan himbauan itu akan didengar dan dilaksanakan oleh kader-kader Partai Demokrat.

Baik kader Partai Demokrat yang saat ini sedang berada di kursi kekuasan: legislatif maupun eksekutif; atau yang sedang menjadi kontestan Pilkada; atau fungsionaris Partai Demokrat yang memiliki akses untuk menginisiasi perubahan, sudah selayaknya memperjuangkan tujuh aspirasi rakyat ini.

Sudah selayaknya para kader Partai Demokrat terjun ke tengah-tengah rakyat dan bekerjakeras untuk menjawab tantangan SBY ini; menjawab aspirasi rakyat yang realisasinya agak kedodoran belakangan ini.

Tentu saja ini bukan semata tugas dari kader-kader Partai Demokrat. Ini adalah tanggungjawab dan kewajiban setiap anak bangsa yang ingin melihat Indonesia semakin maju dari hari ke hari; termasuk ke-13 parpol lainnya yang tempo hari disahkan sebagai peserta Pemilu 2019.

(Arif Rahman, warganet bermukim di Bandung/PolitikToday/dik)