Oleh: Dr. Hinca IP Pandjaitan*)
Saya merasa terhormat menjadi bagian dari terselenggaranya pertemuan Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono dan Presiden Joko Widodo di Istana Merdeka, 27 Oktober lalu. Pertemuan itu memberikan warna baru bagi situasi politik yang diwarnai oleh polarisasi yang makin mengkristal dan mengeras belakangan ini.
Bersama orang istana, awalnya kami menjadwalkan pertemuan pada 18 Oktober 2017. Namun, karena kesibukan keduanya, pertemuan akhirnya digeser ke 27 Oktober, tiga hari setelah pengesahan Perppu Ormas oleh Paripurna DPR. Jadi, pertemuan ini bukan dadakan seperti yang diberitakan beberapa media.
Pertemuan di beranda Istana itu juga bukan hal mengejutkan, seperti sindiran beberapa politisi. Sebab, ini sudah kali ketujuh Pak SBY bertemu Pak Jokowi setelah tak lagi menjadi presiden.
Sebagai presiden dua periode, Pak SBY sudah begitu menyatu dengan segala degup perjalanan negeri ini. Ia selalu ingin berbuat. Ia ingin setiap saat bisa berbagi solusi dengan Presiden Jokowi. Karena itulah, pada pertemuan sebelumnya, Pak SBY mengusulkan agar Pak Jokowi membentuk klub presiden.
“Kalau ada klub presiden dan mantan presiden kan baik, seperti ini, kita bisa saling berkomunikasi,” kata Pak SBY.
Menjalankan roda pemerintahan bukan hal mudah. Dibutuhkan masukan dan bantuan dari banyak pihak, termasuk para mantan presiden. Di Amerika, presiden meminta bantuan mantan presiden sudah menjadi hal lumrah. Bahkan, di negeri Paman Sam itu, klub presiden sudah ada sejak tahun 40-an. Dimulai oleh Presiden AS ke-33 Harry S. Truman dan dilanjutkan oleh presiden-presiden setelahnya. Pak SBY ingin membawa tradisi baik di Amerika itu ke Indonesia.
Seperti di Amerika, klub presiden tak harus berbentuk organisasi yang rigid. Sebatas kumpul, diskusi, tukar pandangan, dan mencari solusi bersama. Pentingnya klub semacam ini makin terasa di tengah polarisasi politik yang mengkristal seperti belakangan ini. Terkait Perppu Ormas misalnya, semua kekuatan politik seolah hanya dihadapkan pada dua pilihan sulit: menerima atau menolak.
Pak SBY tak mau terkungkung dengan polarisasi dan pilihan ekstrem itu. Sebab semuanya tak menguntungkan bagi terciptanya kehidupan bernegara yang baik. Karena itulah Pak SBY dan Partai Demokrat memunculkan pilihan ketiga: menerima untuk direvisi. Dan lewat pertemuan Pak SBY dan Presiden Jokowi, pilihan ketiga ini berhasil jadi solusi bersama.
Peduli dan Beri Solusi
Sore usai pertemuan di Istana Merdeka dengan Presiden Jokowi, Pak SBY mengumpulkan pengurus Partai Demokrat di rumahnya di Mega Kuningan, Jakarta Selatan. Pak SBY menceritakan hasil pertemuannya dengan Pak Jokowi. Salah satu hasil yang menggembirakan adalah komitmen Pak Jokowi untuk merevisi UU Ormas yang baru saja disahkan DPR.
Sejak Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan diterbitkan pada 10 Juli 2017, Pak SBY memang punya perhatian khusus. Dia langsung mengajak kami untuk membedah isinya. Hasilnya, kami melihat, Perppu Ormas itu sangat berbahaya jika diterapkan secara utuh.
Bisa dibayangkan, misalnya, suatu organisasi kemasyarakatan (Ormas) bisa dibubarkan hanya karena ulah satu atau dua anggotanya saja. Ormas yang dicap anti Pancasila, semua anggotanya bisa dipidana. Celakanya, dalam Perppu itu, yang berhak memvonis suatu ormas sesuai atau tidak sesuai dengan Pancasila, adalah pemerintah itu sendiri. Ini contoh beberapa poin yang mendorong kami untuk menolak Perppu tersebut.
Jelas, penolakan kami bukan karena anti-pemerintah. Memang sangat sulit untuk bersikap di tengah situasi politik yang terpolarisasi sedemikian rupa ke dalam kubu pro- dan kontra- pemerintah. Tapi kami tak mau terkungkung di sana. Dalam setiap langkah politik yang diambil, harus berpijak pada solusi. Itulah arahan Pak SBY yang sudah menjadi prinsip dasar Partai Demokrat: peduli dan beri solusi.
Jelang Paripurna DPR dengan agenda pengesahan Perppu Ormas, kami dihadapkan pada dua pilihan: menolak atau mendukung. Di barisan penolak ada tiga partai, PAN, Gerindra, dan PKS. Sementara di barisan pendukung ada enam partai, yaitu PDIP, Golkar, PKB, PPP, NasDem, dan Hanura. Dari komposisi ini, jelas Perppu Ormas akan sangat mudah untuk disahkan menjadi UU. Dan kalau disahkan, seperti hasil kajian kami, sangat berbahaya.
Dalam situasi seperti itu, kami melakukan lobi dengan pemerintah. Tawaran kami jelas, menerima bila direvisi, menolak jika tak ada revisi. Dengan tawaran itu, kami konsisten untuk berpijak pada solusi. Sebuah solusi yang akan menyelamatkan ormas dari undang-undang yang berpotensi untuk menjadi alat pemberangus.
Setelah Pak SBY menyampaikan komitmen Pak Jokowi untuk merevisi UU Ormas yang baru saja disahkan, kami siapkan naskah akademik sebagai usulan Partai Demokrat terhadap poin-poin yang perlu direvisi. Sabtu, 30 Oktober, tiga hari setelah pertemuan Pak SBY dan Pak Jokowi, naskah itu kami serahkan ke Badan Legislasi (Baleg) DPR,Kemendagri, dan Kemenkumham.
Merawat Demokrasi
Visi dari upaya revisi UU Ormas yang diperjuangkan Partai Demokrat adalah upaya merawat demokrasi. Seperti dikatakan Pak SBY, UU Ormas pada dasarnya adalah untuk menciptakan kehidupan bernegara yang baik. Hal itu bisa dicapai kalau relasi antara pemerintah dan ormas sebagai representasi civilsociety terselenggara dengan baik. Karena itu, relasi keduanya harus dibangun dengan paradigma yang benar.
Dalam pandangan kami, UU Ormas yang baru saja disahkan itu memosisikan ormas sebagai ancaman semata. Sebuah ancaman yang harus diwaspadai dan ditindak tegas. Padahal, ormas adalah representasi civilsociety yang menjadi partner pemerintah dalam membangun kehidupan bernegara yang baik.
Kehidupan bernegara yang baik adalah kehidupan bernegara dengan prinsip-prinsip demokrasi yang berjalan baik. Dan prinsip demokrasi sangat sulit dijalankan kalau representasi civilsociety, yaitu ormas, diposisikan sebagai ancaman. Inilah yang disampaikan Pak SBY kepada Pak Jokowi.
Pak SBY mengajak Pak Jokowi untuk bersama-sama merawat demokrasi. Selain dengan mengubah paradigma dalam UU Ormas, juga dengan memastikan Pilkada, terutama Pilkada 2018 berjalan secara fair tanpa intervensi atau keterlibatan lembaga negara. Hal ini disampaikan Pak SBY terkait Gubernur Papua Lukas Enembe yang ditemui Kepala Badan Intelijen Negara Budi Gunawan.
Sebab, kalau benar Lukas Enembe ditemui Kepala BIN terkait Pilkada Papua yang akan digelar pada 2018, ini mencederai prinsip-prinsip demokrasi. Dalam pertemuan itu, Pak SBY meminta Pak Jokowi untuk memandang serius faktor proporsionalitas dan profesionalitas para penegak hukum. Jangan sampai ada aparat penegak hukum yang menggunakan posisinya untuk melakukan tekanan karena faktor politik. Atas permintaan itu, Pak Jokowi merespons serius dan memastikan bahwa hal serupa tak terjadi lagi.
Respons serius Pak Jokowi, baik untuk memastikan tak ada intervensi dalam Pilkada 2018 maupun untuk merevisi UU Ormas, adalah buah nyata dari pertemuan Pak SBY dan Pak Jokowi. Sebuah pertemuan antara presiden dan mantan presiden. Sementara, pertemuan Pak SBY dan Pak Jokowi adalah buah nyata dari semangat politik yang berpijak pada solusi.
*)Sekretaris Jenderal DPP Partai Demokrat