Oleh: Agus Harimurti Yudhoyono
(Alumnus John F Kennedy School of Government, Harvard University)
Penyebaran pandemi coronavirus disease 2019 (Covid-19) memunculkan tekanan berat terhadap ekonomi nasional. Hal itu ditandai penurunan pertumbuhan ekonomi kuartal II sekitar 8 persen. Dari yang semula 2,97 persen di kuartal I menjadi -5,32 persen di kuartal II. Untuk itu, diperlukan langkah-langkah tepat guna memoderasi tekanan ekonomi nasional akibat pandemi.
Merujuk pada data struktur dan pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) menurut lapangan usaha di kuartal II, hampir semua sektor utama mengalami tekanan signifikan. Jika menilik lima sektor terbesar, misalnya, hanya sektor pertanian yang masih mampu bertahan di level positif 2,19 persen.
Meskipun juga mengalami tekanan, performa sektor pertanian ini disumbang datangnya masa panen di kuartal II yang lalu. Sementara empat sektor terbesar yang lain mengalami tekanan berat, yakni sektor industri jatuh di angka -6,19 persen, perdagangan menembus -7,57 persen, konstruksi -5,39 persen, dan sektor pertambangan -2,72 persen (BPS, Agustus 2020).
Selanjutnya, kondisi ekonomi kuartal III akan sangat ditentukan oleh belanja pemerintah (government spending). Sebab, di tengah ketidakpastian ekonomi dunia, pergerakan industri dan perdagangan yang dikendalikan oleh sektor swasta cenderung masih akan mempertahankan strategi ”mencari titik aman” dan menghindari spekulasi yang bisa membahayakan nasib bisnis mereka. Karena itu, belanja pemerintah menjadi faktor yang sangat penting untuk mendongkrak daya tahan sektor swasta dan juga menjaga daya beli masyarakat di akar rumput.
Untuk itu, langkah pendistribusian bantuan sosial dan stimulus ekonomi harus didorong secara masif, transparan, dan akuntabel untuk memastikan intervensi pemerintah itu dapat dieksekusi secara cepat dan tepat sasaran. Kecepatan dan ketepatan sasaran ini akan menentukan seberapa kuat daya tahan ekonomi kita dalam menghadapi ketidakpastian tekanan ekonomi di tengah pandemi ini.
Adapun hal yang perlu diantisipasi, selama ini tren daya serap anggaran kuartal III umumnya belum menunjukkan peningkatan signifikan. Tren serapan tinggi itu umumnya baru tampak di kuartal IV atau pengujung tahun anggaran. Jika tren lama itu masih dipertahankan atau tidak mengalami perubahan signifikan, pertumbuhan ekonomi kuartal III berpotensi tetap negatif.
Jika itu terjadi, pertumbuhan PDB negatif yang terjadi di dua kali kuartal secara berturut-turut akan menandai awal hadirnya resesi ekonomi di Indonesia. Jika kinerja ekonomi kuartal III terhitung berjalan sejak Juli hingga September, saat ini kita telah melewati 1,5 bulan menuju akhir kinerja kuartal III. Untuk itu, kita semua harus siaga.
Pada saat yang sama, kondisi ini tidak boleh dianggap remeh. Sebab, jika merujuk pada teori ekonomi dasar yang dipopulerkan ekonom internasional terkemuka Arthur Okun (1965), bahwa setiap penurunan 2 persen PDB, akan berdampak pada meningkatnya 1 persen jumlah pengangguran di suatu negara. Selanjutnya, jika pengangguran meningkat, angka kemiskinan dan juga ketimpangan sosial hampir bisa dipastikan juga akan meningkat tajam.
Selama 10 tahun menjalankan pemerintahan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah ikut berkontribusi menurunkan angka kemiskinan negara dari 16,6 persen (2004) menjadi 10,96 persen (2014). Saat itu, dengan tren pertumbuhan ekonomi negara yang rata-rata sekitar 6 persen, peningkatan ABPN juga berhasil meningkat 4 kali lipat selama dua periode pemerintahan, dari Rp 427,2 triliun (2004) menjadi Rp 1.876,9 triliun (2014).
Kinerja ekonomi itu memberikan keleluasaan bagi negara untuk terus memperkuat kebijakan dan kerja-kerja peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) unggul, menciptakan lapangan kerja, membangun infrastruktur strategis, meminimalkan rasio utang negara, dan pengentasan rakayat dari kemiskinan.
Selanjutnya, apresiasi juga patut disampaikan pada periode pertama pemerintahan Presiden Joko Widodo yang melanjutkan tren penurunan angka kemiskinan sebesar 1,5 persen. Dari semula 10,96 persen menjadi single digit sebesar 9,22 persen. Namun, tekanan ekonomi akibat pandemi Covid-19 ini berpotensi mengembalikan angka kemiskinan ke level double digit lagi. Akibatnya, porsi masyarakat yang tergolong miskin (poor) dan hampir miskin (nearly poor) dalam struktur ekonomi masyarakat Indonesia berpotensi mengalami pembengkakan ke depan.
Hal ini harus benar-benar diantisipasi bersama. Sebab, meskipun kecenderungan pertumbuhan ekonomi kuartal IV akan mengalami peningkatan, tren penurunan ekonomi global dan nasional di awal tahun 2021 akan menyambut kita semua. Seberapa kuat sumber-sumber fiskal negara (fiscal sources) menyambut 2021 nanti? Haruskah negara menambah utang-utang lagi setelah negara mengalami peningkatan besar rasio utang untuk kebutuhan infrastruktur yang dampak ekonominya baru akan kita rasakan beberapa tahun lagi? Ini semua perlu kita cermati bersama.
Tentu kita semua berharap tekanan ekonomi ini berbentuk ”V-shape” yang ditandai kembalinya performa ekonomi ke posisi normal. Namun, perlu diantisipasi jika ketidakpastian ekonomi global juga memberikan tekanan sehingga tren ekonomi kita menjadi ”U-shape” atau ”W-shape”. Bahkan, jangan-jangan justru ”L-shape”, yang tentu tidak kita harapkan bersama.
Sementara itu, jika melihat data tren penyebaran pandemi Covid-19 yang saat ini masih menunjukkan peningkatan eksponensial, yang secara langsung dan tidak langsung, tentu berdampak besar pada kinerja ekonomi. Maka, diperlukan langkah-langkah cepat dan tepat untuk menetralisasi kondisi ini agar ekonomi negara tidak mengarah pada terbentuknya ”L-shape”.
Untuk itu, dalam situasi krisis ini, semua pihak harus bersatu mendukung sekaligus mengevaluasi langkah-langkah negara demi mempercepat upaya penanganan pandemi dan penyelamatan ekonomi. Terkait dengan itu, saya mengajukan sejumlah saran strategis.
Pertama, secara filosofis, garis kebijakan negara harus clear dan lebih tegas dengan memaknai penyebaran pandemi sebagai ”apinya”, sedangkan penurunan ekonomi sebagai ”asapnya”. Jangan sampai kebijakan publik terlena dan salah fokus pada asapnya, bukan justru memadamkan apinya. Jangan sampai pengambil kebijakan di tataran teknis dan strategis masih memperdebatkan filosofi kebijakan publik di tengah krisis ini.
Agar langkah ini semakin cepat dan efektif, peningkatan transparansi dan akurasi data, baik data penyebaran pandemi maupun data bansos yang masih tumpang-tindih, harus segera diperbaiki. Akurasi data ini sangat menentukan arah intervensi dan eksekusi kebijakan negara untuk menyelamatkan kesehatan publik dan ekonomi republik.
Kedua, memastikan setiap langkah penyelamatan sektor-sektor strategis yang menjadi pilar utama ekonomi negara laiknya industri, pertanian, perdagangan, konstruksi, dan pertambangan benar-benar tepat sasaran agar pertumbuhan yang semula negatif bisa kembali positif. Untuk itu, prinsip transparansi dan akuntabilitas distribusi dana stimulasi ekonomi harus ditegakkan.
Untuk penanganan pandemi dan dampak ekonomi, negara telah mengalokasikan sekitar Rp 900-an triliun. Pendistribusian alokasi dana itu akan berpuncak di kuartal IV nanti, yakni bulan Oktober hingga Desember. Karena terbatasnya waktu pembelanjaan alokasi anggaran, potensi penyelewengan uang negara oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab cenderung terbuka. Untuk itu, kita harus kawal bersama agar target-target pertumbuhan ekonomi ke depan tidak lagi terkoreksi kembali (error correction model).
Ketiga, memastikan bantuan sosial di akar rumput dan juga stimulus ekonomi, utamanya bagi sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) dapat dijalankan secara tepat sasaran. Hal ini penting karena kebijakan bantuan sosial dan bantuan tunai sebagai keep buying strategy yang dijalankan pemerintahan Presiden SBY terbukti ampuh untuk menjaga daya beli masyarakat saat menghadapi tekanan ekonomi 2008. Di saat yang sama, pertolongan terhadap pelaku UMKM menjadi sangat relevan karena sektor ini menyediakan lapangan kerja bagi 60 persen penduduk kita.
Jika dalam krisis ekonomi 1998 dan 2008 UMKM bisa menjadi katup pengaman ekonomi negara, kini mereka yang terdampak signifikan akibat pandemi. Sebab, kebijakan pembatasan mobilitas sosial berimplikasi langsung pada sisi permintaan (demand) atas produk barang dan jasa, pasokan barang atau bahan baku untuk proses produksi, dan sumber modal usaha mereka. Karena itu, selamatkan daya beli rakyat dan daya tahan UMKM kita untuk menyelamatkan ekonomi negara.
Dengan komitmen bersama antarsesama anak bangsa, setiap langkah kita bisa meringankan beban rakyat, pelaku usaha, dan pemerintah untuk menyelamatkan negara dan kembali fokus pada kerja-kerja membangun jembatan sejarah menuju Indonesia Emas 2045.
Note: Artikel ini diterbitkan di kompas.id, Kamis, 3 September 2020