Oleh: Willem Wandik S. Sos*)
Dalam analisis forecasting, “ramalan” ekonomi Indonesia, yang sebentar lagi akan diumumkan pada kuartal ketiga (menjelang akhir September), pertumbuhan ekonomi Indonesia diprediksi akan mengalami negatif atau -1,2%, dimana data aktual pada kuartal kedua tahun ini pertumbuhan sudah negatif -5,32%.
Disusul dengan data balance of trade Indonesia menjelang September yang nilainya negatif (-) 1,7 juta USD. Data current account Indonesia juga diprediksi akan berkisar di angka negatif (-) 9 juta USD. Yang tidak kalah mengejutkan, budget APBN akan tumbuh negatif di angka (-) 6,5% terhadap GDP.
Ke semua indikator ini, tentunya sangat mengkhawatirkan, sebab, dipastikan tidak ada jalan lain untuk mendongkrak perekonomian Indonesia, selain berusaha mengontrol dampak krisis keuangan yang akan menghantam Indonesia.
Perlu kita ketahui, bahwa government budget sekalipun, bergantung dari sumber pembiayaan Surat Berharga yang diterbitkan oleh Bank Indonesia, dimana marketplace nya selama ini didominasi oleh investor asing. Yang berarti, Indonesia tidak memiliki kedaulatan untuk mengontrol perilaku pasar keuangan, dimana para pemainnya selama ini berasal
dari multinasional buyer.
Dalam konteks krisis, yang membayangi Indonesia di depan mata, ada yang menarik dari perilaku “kekuasaan eksekutif” yang dalam beberapa tahun terakhir, tidak sepenuhnya membuktikan diri mereka dapat bekerja kredibel mengamankan amanat undang-undang yang diberikan.
Sebagai contoh, pada awal masa jabatan kepresidenan Jokowi pada pengujung tahun 2014, pidato berapi-api presiden yang mengumumkan, Indonesia memiliki dana besar untuk mendukung target megaproyek “nawacita”. Namun memasuki tahun 2015, Kabinet pada saat itu tiba-tiba mengumumkan kesulitan keuangan, mengalami defisit anggaran, dan pada akhirnya mendorong penggantian jabatan menkeu pada saat itu, dari Bambang Brojonegoro ke Menkeu Srimulyani, yang pada saat itu menawarkan “konsep angin surga–dana repatriasi” yang kemudian dikenal dengan istilah Undang Undang Tax Amnesty.. Namun, setelah implementasi kebijakan tax amnesty tersebut, tidak ada penambahan dana signifikan untuk membiayai defisit anggaran APBN, yang kemudian berubah menjadi “deal kontrak” megaproyek APBN ke swasta Asing, dan mengubah kantor-kantor kementerian menjadi “kantor marketing–investor korporasi asing” dengan modus Cooperation with BUMN/korporasi negara.
Apa yang terjadi, pertumbuhan ekonomi di sepanjang 6 tahun terakhir, tumbuh tidak seimbang, aktivitas perusahaan asing dan BUMN, dimana sebagian pengguna manfaat dari mega proyek ini, justru tidak bergerak di pelaku ekonomi daerah, banyak pelaku jasa konstruksi lokal daerah yang gulung tikar/bangkrut.
Ini barulah awal, dari bencana besar yang kemudian diperburuk dengan hadirnya bencana kesehatan (Covid 19) yang, sejatinya, hanya memperburuk keadaan ketimpangan pertumbuhan ekonomi, yang sejak awal sudah bermasalah sejak 6 tahun silam..
Saat ini, Pemerintah terus menggunakan tools yang sama, senjata yang sama, untuk menekan Parlemen (DPR RI) agar menyetujui Parpu Stabilitas Keuangan Negara.
Rasa rasanya, narasi darurat/ancaman krisis ini, telah lama diwacanakan oleh tim keuangan Pemerintah, dan selalu menjadi alat legitimasi yang ampuh, untuk menekan parlemen, demi mendapatkan legitimasi “persetujuan” sekalipun harus mengamputasi kewenangan Lembaga DPR, dan mengenyampingkan perintah konstitusi terkait fungsi kontrol lembaga legislatif terhadap setiap keputusan Pemerintah yang dipandang berpengaruh sangat besar terhadap kehidupan nasional.
Wa Wa
*)Anggota DPR-RI dari Fraksi Partai Demokrat; Wakil Ketua Umum Partai Demokrat