Oleh: Alkautsar*)

Pasca Pemilihan Umum (Pemilu) 2014 hingga saat ini situasi perpolitikan di Indonesia mengalami dekadensi yang signifikan, kemunduran itu utamanya terjadi pada kondisi demokrasi.

Kemunduran demokrasi itu berasal dari adanya pembelahan kelompok di dalam masyarakat yang berasal dari para pendukung Calon Presiden dan Wakil Presiden, yaitu pendukung Joko Widodo-Jusuf Kalla melawan pendukung Prabowo Subianto-Hattarajasa.

Parahnya, meskipun kontestasi pemilu sudah berakhir, perselisihan antar dua kelompok ini ternyata belum berakhir juga. Keduanya masih saling menyerang membela junjungan masing-masing, pendukung Jokowi selanjutnya menjadi kelompok yang pro terhadap pemerintah dan pendukung Prabowo berubah menjadi kelompok yang kontra terhadap pemerintah dan selalu mengkritik kebijakan pemerintah saat itu.

Seolah tak memiliki kedewasaan dalam ber-demokrasi, pertarungan dan pembelahan ini kembali pada Pemilu 2019.

Masih sama, pelakunya adalah kelompok pendukung Jokowi dan pendukung Prabowo. Namun, kondisinya semakin parah, serangan yang dilakukan begitu membabi buta, bukan fokus pada program masing-masing calon, mereka malah saling menyerang privasi masing-masing. Padahal, dalam demokrasi, privasi dan subjektifitas seseorang tidak boleh disangkutpautkan.

Pasca berakhirnya Pemilu, ditambah kelompok Prabowo masuk dalam ruang-ruang kekuasaan dengan memiliki jatah pada pos-pos kementerian dan pemerintahan, kondisi demokrasi seharusnya membaik. Namun, kondisinya saat ini masih sama, bahkan cenderung terus mundur. Keberadaan pendukung Jokowi dalam Pemilu selanjutnya berganti rupa menjadi buzzer yang pro pemerintah dan menyerang siapa saja yang mengkritik pemerintah.

Keberadaan buzzer pendukung pemerintah ini tentu saja meresahkan demokrasi di Indonesia. Bahkan, merekalah yang menjadi salah satu penyebab kemunduran demokrasi di era pemerintahan Jokowi. Selain karena rezim saat ini juga memang tidak memedulikan demokrasi. Mereka, para buzzer itu secara membabi buta mendukung dan melakukan pembenaran terhadap apapun keputusan dan kebijakan pemerintah. Seolah-olah rezim ini tidak memiliki cacat dan kesalahan sedikit pun.

Padahal, dalam kehidupan ber-demokrasi, sebagaimana sistem politik yang sudah disepakati oleh para pendiri bangsa terdahulu, kehadiran oposisi dan kelompok yang mengkritik pemerintah sangatlah penting. Keberadaan oposisi diperlukan untuk menjalankan fungsi check and balance terhadap pemerintah. Kekuatan oposisi juga berperan untuk menyuplai ‘vitamin’ kepada pemerintah yang dihimpun dari suara dan aspirasi rakyat di bawah. Dengan begitu, pemerintah tidak bisa sewenang-wenang dalam membuat kebijakan maupun peraturan.

Namun, kondisi tersebut tidak terjadi dalam sistem politik dan demokrasi di Indonesia. Belakangan ini, Partai Demokrat yang pada saat Pemilu 2014 dan Pemilu 2019 tidak berposisi pada kedua belah kubu yang berselisih dan memilih untuk berada di luar pemerintahan lantaran mereka menilai bahwa pertarungan politik tersebut sudah mulai tidak sehat yang diakibatkan oleh politik identitas ternyata menjadi korban dari serangan buzzer pemerintah.

Terbaru, mereka menuduh Demokrat menjadi dalang dan aktor intelektual di balik kritikan pelbagai kelompok mahasiswa yang baru-baru ini sering mengkritik Pemerintah dan Presiden Jokowi. Parahnya lagi, tuduhan tersebut juga dilayangkan oleh orang pemerintahan sendiri, sekelas wakil menteri.

Dalam unggahan di media sosialnya, wakil menteri yang notabene merupakan pejabat tinggi memposting sebuah flyer yang berisikan tuduhan adanya aktor politik dibalik kritikan yang dilayangkan oleh kelompok mahasiswa. Dengan kata lain, kita bisa menyebut bahwa pejabat ini sudah termakan isu-isu hoax atau bahkan dia sendiri adalah pemimpin dari para buzzer pemerintah itu?

Partai Demokrat memang kerap menjadi sasaran dari serangan dari buzzer pemerintah. Beberapa kali partai yang dipimpin oleh Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) mendapatkan serangan dan fitnah. Terakhir, Demokrat dituding sebagai pihak yang berada dibalik rencana aksi ‘Jokowi End Game’.

Keberadaan para buzzer yang terus menerus mendukung kebijakan pemerintah dan menyerang siapa saja yang mengkritik pemerintah ini tentu meresahkan keberlanjutan demokrasi di Indonesia. Cita-cita demokrasi para pendahulu yang diharapkan dapat menjadi dasar kehidupan bermasyarakat dan bintang penuntun menuju keadilan sosial bagi seluruh rakyat ini bisa terinterupsi dan menyebabkan kehidupan politik di Indonesia semakin mundur.

Menurut penulis, pemerintah seharusnya dewasa dan bisa menerima segala kritik dan saran dari rakyat dan kelompok-kelompok lainnya di luar pemerintahan. Sebab, sejatinya kritik tersebut demi kebaikan dan tujuan demokrasi, yakni masyarakat Indonesia yang adil dan sejahtera. Jangan malah memelihara cecunguk buzzer-buzzer itu.

*)Aktivis Demokrasi Jakarta; Demisioner Ketua LMND DKI Jakarta