Oleh: Jansen Sitindaon*)
Catatan perjalanan ini saya tulis setelah melihat langsung dan bertindak sebagai pemimpin sidang beberapa Muscab Partai Demokrat se-Provinsi NTT.
Sebagaimana kebiasan saya selama ini. Dalam setiap acara Partai Demokrat ke daerah. Dimana saya ikut dan dilibatkan. Saya selalu berusaha. Dengan kemampuan menulis yang sebenarnya juga terbatas. Untuk membuat sebuah risalah kecil dalam bentuk catatan perjalanan.
Pastilah! Tidak semua bagian dari perjalanan yang panjang ini bisa saya “potret” melalui sebuah tulisan ini saja. Namun. Kejadian membekas yang saya lihat dan alami. Dan menurut saya inspiratif. Itulah yang akan coba saya tuliskan. Dan bagikan melalui catatan ini, kepada para pembaca.
Catatan perjalanan ke NTT ini sendiri merupakan “utang”* saya yang tertunda. Karena perjalanannya sendiri telah dilakukan pada tanggal *24 s.d. 29 Maret 2017 lalu. Risalah perjalanan kali ini, saya beri judul:
Catatan dari NTT: Beratnya Membangun Demokrat
Pembuka:
Dengan nada suara yang sedikit keras namun penuh semangat “kebapakan”, beliau menyampaikan:
“Menang jangan arogan. Mari membangun bersama-sama. Yang menang memimpinlah dengan hati. Bukan dengan sesuka hati. Ajak semua berpikir. Semangat mengalahkan bukan segala-galanya”.
Rangkaian kalimat itulah yang disampaikan Jenderal TNI (Purn) Pramono Edhie Wibowo (“Pak PEW”), selaku Ketua Badan Pembinaan Organisasi Keanggotaan dan Kaderisasi (BPOKK) DPP Partai Demokrat. Sebelum membuka Musyawarah Cabang (“Muscab”) Partai Demokrat se-Pulau Timor, Sabu, Alor, dan Rote Ndao, bertempat di Hotel Ima, Kota Kupang, pada Sabtu 25 Maret 2017 lalu.
Sesudah saya resapi. Luar biasa sulit memang kerja BPOKK ini. Di satu sisi. Sesuai “konstitusi” partai. Atas nama amanat 5 tahunan. Untuk “menguji ulang” mandat kepemimpinan partai didaerah yang telah habis masa kepengurusannya. Badan yang dipimpin Pak PEW ini, diberikan kewenangan penuh untuk menyelenggarakan, dan bahkan menyiapkan “arena pertarungan”. Bagi para kader yang ingin berkontestasi merebut Ketua DPC atau DPD di daerahnya masing-masing.
Namun di sisi lain. Sesudah para kader ini selesai “berantem”. Selesai bertarung. Dan pasti lahir pihak yang kalah dan menang. Detik itu juga kalau bisa. Atas nama keutuhan dan soliditas partai ke depannya. Para kader ini harus segera “didamaikan”. Disatukan kembali.
Inilah yang sulit. Karena kalah selalu meninggalkan “luka”. Dan luka. Apalagi ini *”luka politik”.* Pastilah butuh waktu untuk menyembuhkan nya. Pikiran: “karier politik saya telah habis di partai ini”. Malah yang dominan dibenak pihak yang kalah. Niatnya bukan lagi bertahan. Namun malah ingin secepatnya pindah ke partai lain. Apalagi di tengah “menjamurnya” partai-partai politik saat ini. Yang juga sedang menyusun struktur kepengurusannya di daerah. Untuk siap menghadapi masa verifikasi.
Sebaliknya. Di pihak pemenang. Juga punya keengganan tersendiri. Mengakomodir pihak yang kalah dalam kepengurusan nya. Apalagi diberikan posisi strategis, seperti sekretaris misalnya. Ketakutannya juga masuk di akal. Takutnya, “orang” ini malah akan menjadi ancaman di internal terhadap kepemimpinan saya lima tahun ke depan. Belum lagi biasanya, pihak yang menang telah punya kandidat pendampingnya sendiri.
Dengan keadaan demikian. Bagaimana solusinya? Itulah dasar mengapa saya berani mengatakan. Betapa berat ternyata kerja BPOKK ini. Ditangannya *”api sekaligus air”.* Di satu sisi memfasilitasi dibukanya arena pertarungan. Di sisi lain harus mendamaikan mereka yang bertarung. Sedangkan pertarungan. Apalagi ini pertarungan politik. Perebutan posisi ketua partai lagi. Pastilah panas.
Dan di NTT ini. Saya sendiri, telah merasakan dan melihat langsung panasnya pertarungan ini. Bahkan terkait muscab di NTT ini. Dengan nada guyon. Saya berkata kepada teman seperjalanan saya Ketua Departemen Urusan KPK DPP- PD Mas Jemmy Setiawan:
“Bahwa menguji mandat kepemimpinan partai di NTT ini ‘triple’ lo panasnya, Mas Jem. Sama seperti di kampungku di Sumut sanalah. “Muscab nya sendiri sudah panas. Dilakukan di tempat panas lagi. Dan diikuti oleh orang-orang yang gampang panas pula”. Jadi lengkaplah sudah panasnya Muscab di NTT ini. Panasnya betul-betul “triple”.
Itulah yang membuat arahan Pak PEW selaku BPOKK DPP-PD, di atas, menjadi sangat berkesan bagi saya.
“Semangat mengalahkan bukan segala-galanya”. Kontestasi jangan malah menjadi jalan untuk memisahkan kita. Karena ini hanya sekedar agenda 5 tahunan. Untuk menguji ulang mandat kepemimpinan partai di daerah. Bagi yang kalah, apalagi dia sebelumnya Ketua DPC. Mari berkaca diri. Jangan-jangan memang kinerjanya selama ini kurang baik. Sehingga Muscab yang merupakan kuasa DPAC. Yang notabene dulu “anak buahnya” sendiri. Tidak lagi berkenan memilihnya menjadi Ketua. Dan malah memberikan mandat itu kepada pemimpin baru. Sebaliknya. Pemimpin baru juga jangan jumawa. Rangkul para senior pendahulunya ini untuk bersama-sama membesarkan partai ini di daerah.
Inilah Pembuka untuk Tulisan Ini
Menembus dinginnya malam Jakarta. Jumat 24 Maret 2017 yang lalu. Kami bertiga, Pak Benny K Harman, Jemmy Setiawan dan saya sendiri , berangkat menuju NTT. Tujuan kami Kota Kupang. Kenapa dinginnya malam? Karena penerbangan ini sendiri memang dilakukan pukul 2.40 dinihari. Penerbangan pertama hari itu. Dari Jakarta menuju Kupang. Dan pesawat dijadwalkan akan tiba di El Tari Airport, sesuai jadwal Batik Air, maskapai yang kami pakai, sekitar pukul 7 pagi. Bagi saya pribadi, inilah penerbangan kedua “paling pagi” yang pernah saya lakukan. Selain dahulu pernah terbang dengan jadwal yang hampir sama paginya ke Kota Ternate, Maluku Utara. Namun bukan dalam urusan terkait partai.
Kembali ke penerbangan ke NTT ini. Keberangkatan kami ini sendiri terjadi karena “panggilan” BPOKK DPP-PD. Untuk memimpin sidang Muscab Partai Demokrat se-Provinsi NTT. Inilah yang akan menjadi tema pokok dari keseluruhan tulisan ini.
Sebagai tambahan. Di dalam penerbangan Batik Air ID 6540 tujuan Kupang ini ternyata juga ada Bang Supandi R Sugondo, Wakil Ketua BPOKK DPP-PD. Nanti ketika mendarat di El Tari, Kupang, kami baru mengetahuinya. Tujuannya juga sama. Akan memimpin sidang Muscab di NTT. Jadilah di penerbangan dini hari menuju Kupang ini. Ada kami, 4 (empat) “orang” Demokrat di dalamnya.
Sebagai pembuka. Provinsi NTT terdiri dari lebih kurang 550 pulau. Dengan tiga pulau utamanya, Pulau Flores, Pulau Sumba dan Pulau Timor. Karena “saking” luasnya NTT dengan ratusan pulaunya. Dan beratnya medan inilah. Maka Muscab Demokrat se NTT ini “diputuskan” digelar dengan sistem rayon atau zona.
Muscab Zona I terdiri dari semua kabupaten se-Pulau Sumba, akan digelar di Waingapu. Zona II digelar di Kota Kupang. Dengan peserta seluruh kabupaten/kota se-daratan Pulau Timor, Rote, Sabu dan Alor. Dan Zona III dilaksanakan di Larantuka. Dengan peserta seluruh kabupaten di Pulau Flores dan Lembata. Total. Akan diselenggarakan 22 Muscab sesuai jumlah Kabupaten/Kota di Propinsi NTT. Dengan komposisi: 4 muscab diadakan di Waingapu. 9 di Kota Kupang. Dan 9 sisanya di Larantuka.
Karena dibutuhkan banyak pimpinan sidang. Dalam hal itulah kami “menerima panggilan” dari BPOKK. Bergabung dengan pimpinan sidang lainnya, Agustinus Tamo Mbapa alias Gustaf, Irawan Leksono, dan Rocky Amu yang sudah terlebih dahulu ada di NTT. Untuk memimpin sidang Muscab se-Pulau Sumba.
Nanti setelah selesai Muscab Zona II di Kupang ini. Bersama kami, sebelum berpindah lagi ke Flores. Bergabung lagi dari Jakarta. Tambahan satu lagi pimpinan sidang, Bang Rudi Kadarisman. Bersama “team” inilah nantinya kami menyelesaikan 9 Muscab tersisa di zona III Flores.
Kembali ke Muscab Zona II di Kota Kupang. Dimana saya ikut menjadi saksi dan pelaku sejarahnya.
Sesuai agenda. Dalam Muscab Zona II di Kota Kupang ini, sebenarnya tidak akan ada lagi pidato pembukaan dari Pak PEW. Karena pembukaannya sendiri telah dilaksanakan di Waingapu. Dan rencananya. Pak PEW “hanya” akan kembali berpidato, ketika nanti menutup gelaran seluruh Muscab ini di Larantuka, pasca berakhirnya Muscab di Zona III. Inilah rencananya. Dibuka di Waingapu, ditutup di Larantuka.
Namun pagi harinya di hotel, sebelum berangkat ke arena Muscab. Pak PEW menerima laporan dan cerita dari Pak Ketua DPD Demokrat NTTDr. Jeffrison Riwu Kore (“Pak Jeriko”). Bahwa diantara para peserta Muscab Zona II ada hadir seorang pengurus Anak Cabang Demokrat dari Alor, yang umurnya telah 70 tahun. Serta perempuan lagi. Yang telah datang dari “tempat jauh” ke Kupang. Inilah yang membuat Pak PEW tergugah. Kemudian memutuskan. Walaupun bentuknya bukan pembukaan. Namun akan memberikan pidato pengantar dan arahan sebelum Muscab Zona II ini dilakukan.
Jadilah muscab Zona II NTT ini dibuka pengarahan dari Pak PEW. Di dalam pengarahan inilah lahir pesan Pak PEW yang saya kutif sebagai kalimat pembuka dari tulisan ini. Dalam arahannya ini Pak PEW juga menyampaikan satu pesan yang menurut saya sangat menggetarkan: “Ingat! kota Kupang ini, kota karang. Hatimu juga harus seperti karang, setia kepada Demokrat!”
Menggetarkan betul kalimat ini, batin saya. Walaupun disampaikan di Kupang. Pesan ini menurut saya. Bukan hanya berlaku bagi kader Demokrat di Kupang dan NTT saja. Namun luasan jangkauan dan energi kalimat ini berlaku untuk kita semua. Seluruh kader Demokrat di Indonesia ini.
Marilah kita bersetia dan menjadi “karang-karang” Demokrat. Yang tak akan goyah sedikitpun. Di tengah badai dan gelombang politik apapun. Yang (mungkin saja) akan datang menghantam partai ini.
Saya ingin kembali menyoroti Ibu yang membuat Pak PEW tergugah. Di lokasi acara. Saya mencoba bertanya kepada beberapa peserta Muscab. Berapa lama sebenarnya waktu perjalanan naik kapal laut dari Alor ke Kupang ini? Saya mendapat jawaban: dengan kapal laut, apabila kita berangkat dari pelabuhan Kalabahi di Alor. Perjalanan bisa mencapai 15 jam baru tiba di Kupang. Sebuah perjalanan yang sangat panjang, saya pikir. Dengan risiko “terhuyung-huyung” di lautan lagi, semalaman suntuk. Tepat sekali dengan keadaan yang demikian. Pak PEW tergugah.
Karena selain Ibu ini. Saya lihat sendiri. Sesungguhnya, di arena Muscab ini. Banyak lagi kader “kita” yang juga datang tidak kalah jauhnya. Dari Pulau Rote, Pulau Sabu. Belum lagi yang perjalanan darat berjam-jam. Dari Belu, Timor Tengah Utara, Timor Tengah Selatan, dll.
Pasca selesainya gelaran Muscab ini. Karena ingin tahu detail. Saya kemudian berkomunikasi dengan Ketua DPC Alor terpilih, sdr. Deni Lalitan. Menanyakan lebih lanjut, hal-hal mengenai Ibu berusia 70 tahun ini. Darinya kemudian saya mendapatkan “foto copy” KTP ibu tersebut. Dan betul! Sesuai tertera di identitas kependudukannya. Ibu ini memang telah berusia hampir 70 tahun. Nama lengkapnya. Saya kutipkan. Agar melalui tulisan ini menjadi lengkap sosok Ibu yang sangat inspiratif ini. Namanya: Ibu J. Christiana Klakik. Kelahiran: 16 Januari 1948. Jadi usianya ketika Muscab ini berlangsung memang hampir 70 tahun. Beliau adalah Ketua DPAC Partai kita, di Kec. Teluk Mutiara, Kab. Alor.
Proficiat untuk ibu! Demikian saya pikir. Semoga kami yang muda-muda ini bisa mengikuti jejak Ibu. Yang terus bersetia, seperti karang kepada Partai ini, sampai rambut memutih.
Masih di lokasi acara Muscab. Pasca selesai memberi pengarahan. Saya melihat, Pak PEW akhirnya mencari dan bertemu dengan Ibu Christiana Klakik ini. Ibu Christina kaget dan “surprise” karena “dicari-cari” dan didatangi oleh Pak PEW. Kemudian mereka duduk bersama. Saling berbagi cerita. Akrab dan hangat sekali. Seperti dua sahabat. Dua saudara, yang lama berpisah, tidak bertemu.
Pascanya. Diapit para kader Demokrat yang mengerumuni. Kemudian mereka berfoto. Foto Ibu Christina bersama Pak PEW ini akan saya bagikan bersama tulisan ini. Sehingga pembaca dapat melihat langsung secara visual wajah dari Ibu Christina.
Semoga pertemuan yang sangat “manis” ini dapat menjadi inspirasi bagi kita seluruh kader Demokrat, di manapun berada.
Saya kemudian teringat ide Pak Sekjen Dr. Hinca Pandjaitan, yang berencana akan membuat semacam award bagi kader-kader yang berprestasi dan berkontribusi bagi kemajuan partai ini. Dari sudut dedikasinya, mungkin Ibu Christina ini adalah salah satu yang layak untuk menerimanya. Kalau ke depannya award tersebut ada.
Kembali ke Muscab Zona II ini. Menurut saya. “Over all” semua berjalan dengan sangat lancar. Ada beberapa Ketua DPC yang terpilih secara aklamasi. Namun. Karena dinamika demokrasi yang tidak bisa dihindari. Ada juga yang harus melalui mekanisme voting. Inilah sejatinya Muscab.
Yang aklamasi. Bisa saya beri contoh. Seperti Kabupaten Belu misalnya. Dimana sidang paripurnanya, saya dan Mas Jemmy pimpin. Pak Willybordus Lay, Bupati Belu saat ini. Salah satu kader terbaik dan kebanggaan kita di NTT. Kembali diberikan amanah dan mandat penuh oleh DPAC untuk menahkodai partai ini 5 tahun ke depan di Belu. Demikian juga Muscab Kota Kupang. Juga aklamasi. Karena “tokoh muda partai kita di kota ini” Bang Herry Kadja yang juga Ketua Fraksi Demokrat di DPRD Kota Kupang, kembali diberi kepercayaan “sekali lagi” oleh pemilik suara untuk memimpin partai ini di Kota “karang” Kupang.
Selain kedua nama di atas. “Wajah baru”. Namun juga terpilih secara aklamasi. Terjadi di Muscab Kabupaten Kupang. 24 pimpinan anak cabang mempercayakan kepimpinan partai ini 5 tahun ke depan di Kabupaten yang sangat luas ini, kepada sosok muda penuh energi bernama *Winston Rondo. Melihat sosoknya. Saya percaya. Di tangan Winston, partai ini akan (kembali) berjaya di Kab. Kupang. “Silap-silap” kalau istilah orang Medan, kita (Demokrat) akan punya Bupati di tempat ini melalui sosok dirinya. Sesudah mengenalnya lebih lanjut. Karena dia mewakili DPD beberapa kali menjadi Sekretaris sidang yang saya pimpin. Menurut saya, Winston ini sosok politisi yang lengkap. Harapan dan tenaga baru bagi partai ini. Bersyukur saya, proses Muscab ini melahirkan sosok seperti dia. Selain masih muda. Dia saat ini telah menjadi anggota DPRD Propinsi NTT. Pernah menjadi Ketua Komisi V, dan saat ini Ketua Fraksi Demokrat di “parlemen” negeri Flobamora ini. Jejak keaktivisannya juga lengkap. Di masa panasnya gerakan reformasi, dia adalah Ketua GMKI Kota Kupang, dan saat ini menjabat sebagai Ketua Badan Pengurus Pemuda Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT). Sebuah sinode Gereja terbesar di Indonesia Timur (dan nomor 2 terbesar di Indonesia setelah HKBP) dengan jemaat kurang lebih 1,5 juta orang. Latar belakang pendidikannya dari Universitas Nusa Cendana. Kampus terbaik yang ada di Provinsi NTT ini. Yang sekaligus sebagai pengunci, betapa lengkapnya profil yang dimilikinya. Di tangannya. Saya yakin. Demokrat di Kab. Kupang akan kembali BERJAYA! Selamat datang *”wajah baru” namun sarat reputasi,* di tampuk kepemimpinan DPC.
Sebagaimana telah saya jelaskan diatas. Karena dinamika demokrasi yang tidak bisa dihindari. Ada juga beberapa Muscab yang harus melalui proses voting. Karena ada lebih dari 1 (satu) kandidat maju. Dan sesudah di verifikasi. Surat dukungan para kandidat ini memang cukup syarat minimum 30% untuk menjadi calon ketua. Sebagai contoh saya ambil Muscab di Kab. Rote Ndao. Yang sidang paripurnanya saya pimpin bersama Mas Irawan Leksono. Dalam voting dengan hasil akhir 7-5, terpilih Willem Paulus sebagai Ketua DPC Rote Ndao yang baru “mengalahkan” Johanis Pelle. Namun sebelum voting ini dilakukan, Pak Jeriko selaku unsur DPD yang turun menjadi Sekretaris sidang, menyampaikan anjuran: “siapapun yang menang, kalau bisa wajib mengakomodir yang kalah demi soliditas partai ini ke depannya di Rote Ndao”. Dan para pihak yang berkontestasi menyetujuinya.
Saya pribadi berharap, semoga dalam rapat formatur menyusun pengurus yang akan dilakukan. Paket yang bertarung inilah yang akan menjadi Ketua dan Sekretaris Partai kita di Kab. Rote Ndao. Karena kalau ini yang terjadi. Partai ini akan sangat kuat di sana.
Selain di Rote. Kejadian voting ini juga terjadi di beberapa daerah lainnya. Namun sebagaimana saya jelaskan diatas. Over all, semua proses Muscab Zona II sedaratan Timor, Rote, Alor dan Sabu ini berjalan dengan lancar. Penyelenggaraannya sendiri berakhir pukul 20.00 malam, dengan Kab. Alor, asal Ibu Christina Klakik sebagai Muscab terakhirnya. Dimana Sdr. Deni Lilitan terpilih menjadi Ketua DPC nya.
Semoga setelah “disegarkan” nya kembali kepengurusan partai ini di tingkat DPC, dimana telah lahir sosok-sosok muda penuh harapan seperti Winston Rondo. Demokrat akan berjaya di NTT ini.
Di Kota Kupang melalui Pak Jeriko kita telah punya Walikota. Di Belu kita telah punya Bupati melalui Pak Willybrodus Lay. Dan kedepannya, semoga di NTT ini lahir dan bertambah lagi kepala-kepala daerah “kader asli” Demokrat lainnya. Khususnya di Pilgub 2018 nanti, saya berharap lahir Gubernur NTT dari Demokrat. Karena memang kita punya sosok yang “mumpuni” dan sangat lengkap untuk itu dalam diri Dr. Benny K Harman.
Dengan berakhirnya Muscab Zona II di Kupang ini. Tanpa jeda. Esok harinya Minggu tanggal 26 Maret 2017. Pak PEW beserta kami seluruh rombongan dari DPP dan pengurus DPD NTT, langsung bertolak menuju Larantuka. Siap menyambut pelaksanakan Muscab Zona III.
Pukul 14.30 WITA. Menggunakan Wings Air jenis ATR 72-500. Kami berangkat dari El Tari Kupang. Di penerbangan menuju Larantuka inilah, lahir kalimat saya: “berat ternyata tantangan membereskan dan membesarkan Partai ini. Sampai nyawapun menjadi taruhannya”, yang menjadi judul tulisan ini.
Ceritanya. Dalam penerbangan menuju Larantuka. Di pesawat ATR yang aksesnya hanya bisa masuk lewat pintu belakang ini. Saya duduk bersebelahan dengan Bang Rudi Kadarisman. Saya ingat betul. Kami duduk di kursi 9C dan 9D.
Ketika pesawat menuju Larantuka ini baru setengah perjalanan. Tiba-tiba di udara turun hujan deras. Menyebabkan, di sepanjang sisa perjalanan. Pesawat jenis baling-baling turboprop ini terus terguncang dan beberapa kali mengalami turbulensi. Badan lemas. Jantung mau copot. Sebagai penumpang yang bisa dilakukan tinggal berdoa. Menyerahkan sepenuhnya keselamatan penerbangan ini kepada Tuhan. Dalam keadaan demikianlah saya kemudian berujar pasrah kepada Bang Rudi, teman di sebelah saya: “Bang, ternyata berat betul ya jalan membereskan dan membesarkan partai ini. Sampai nyawa sekalipun menjadi taruhan dan risikonya”.
Karena bagi saya pribadi. Inilah perjalanan naik pesawat yang paling menakutkan. Dan ini juga perjalanan pertama saya ke Larantuka. Sebelumnya. Nama Larantuka ini hanya saya ketahui di pelajaran Geografi. Dan melalui judul lagu berjudul sama “Larantuka”, yang dinyanyikan (ulang) oleh Band Boomerang. Sebuah group band asal Surabaya yang memang sangat saya sukai. Mungkin karena saya dulu pernah lama tinggal di kota “arek” ini ketika kuliah di Universitas Airlangga.
Lirik lagu Larantuka ini sendiri memang sangat “menyeramkan”. Seseram perjalanan saya naik pesawat ini, saya pikir. Karena dilihat dari liriknya, lagu ini memang terinspirasi gempa yang pernah terjadi di sana. Saya potongkan sepenggal liriknya:
Di ujung timur Flores
Ada bencana gempa
Tanah gerak,
Bumi begoncang retak
Oh… Larantuka
Oh… Larantuka, dst
Hanya lirik lagu inilah memori yang ada di kepala saya terkait Larantuka. Selain tentunya dalam konteks agama yang saya anut, saya beberapa kali pernah baca di media, betapa begitu ramainya perayaan Paskah di kota ini. Dan perburuan paus yang terjadi di sana. Walaupun kemudian setelah tiba di sana, saya baru mengetahui. Perburuan paus bukan terjadi di Larantuka. Namun di Lembata, pulau di samping Larantuka sedikit.
Kembali ke perjalanan naik pesawat ini. Saya potong saja keadaan mencekamnya di udara. Akhirnya. Pesawat kami ini mendarat dengan selamat di Bandara Gewayantana, Larantuka dalam keadaan hujan deras. Untunglah pilotnya (menurut saya) sangat berpengalaman dan “bernyali”. Karena dengan keadaan cuaca hujan deras dan landasan licin, masih berani mendaratkan pesawat ini.
Saya masih ingat betul kata Pak PEW, ketika kami semua sudah kumpul kembali di hotel selepas dari bandara. Beliau menyampaikan:
“kalau tadi kita naik Garuda, sudah pasti pesawat ini tidak akan berani ambil risiko mendarat di tengah hujan dan licin seperti itu. Pasti kita akan pulang lagi ke Kupang. Atau mendarat di bandara terdekat lainnya yang aman”.
Saya berpikir. Kalau sekelas Danjen Kopassus saja yang level nyalinya pasti sudah di atas rata-rata menyatakan penerbangan ini tadi sangat berisiko. Maka beralasanlah ketakutanku ini, pikirku.
Dan memang. Kalau tadi sampai terjadi pesawat ini kembali lagi ke Kupang. Atau mendarat di tempat lain. Batal mendarat di Larantuka. Pastilah! Seluruh agenda Muscab di Flores ini terganggu. Karena jadwalnya sendiri sesuai undangan. Memang telah teragenda esok harinya. Senin tanggal 27 Maret 2016. Dan seluruh peserta sedaratan Flores dan Lembata juga telah ada di Larantuka.
Bisa dibayangkan kalau batal. Teman-teman dari Manggarai misalnya sebagai contoh. Yang perjalanan daratnya saja butuh waktu 14 jam untuk tiba di Larantuka. Harus pulang “kampung” lagi dengan tangan kosong. Menunggu penjadwalan Muscab ulang. Belum lagi daerah lainnya. Yang rata-rata semuanya juga jalan darat berjam-jam dari daerahnya masing-masing ke Larantuka. Bisa terbayang lelahnya. Dan juga biaya yang telah mereka keluarkan?
Untunglah pikirku. Walaupun penuh risiko. Atas kebaikan Tuhan kepada kami dan kepada partai ini. Semuanya dapat tiba di Larantuka dalam keadaan selamat. Dan siap menjalankan agenda Muscab.
Tibalah kami sekitar pukul 5 sore disambut hujan yang deras di Kota Larantuka, Flores Timur. Bersiap menyambut Muscab Zona III se-daratan Flores dan Lembata.
Di kota ini sendiri sebagaimana agenda. Akan diadakan 9 muscab.
Di pulau yang indah dan bersejarah ini, saya sendiri mendapat kesempatan memimpin 3 sidang paripurna pertama, untuk Muscab Kab. Manggarai Timur, Ende dan Flores Timur sendiri selaku tuan rumah. Harus saya akui. Muscab di Flores ini memang berjalan sedikit “agak” panas dibanding misalnya Muscab sebelumnya di daratan Timor. Berdasarkan catatan saya. Muscab di Flores ini melahirkan 8 (delapan) Ketua DPC baru. Ketua DPC lama yang bertahan dan terpilih kembali “cuma” Manggarai Timur yang sidang paripurnanya saya dan Gustaf pimpin. Dimana Sdr. Damianus kembali di percaya menjadi Ketua DPC secara aklamasi oleh para DPAC selaku pemilik suara. Sisanya, semua “tumbang”.
Karena Muscab ini adalah “kuasanya” anak cabang. Memang itulah yang tersaji di persidangan yang berjalan. Banyak Ketua DPC lama tumbang, karena tidak diberi mandat lagi oleh para PAC selaku pemilik suara. Dan rata-rata yang tumbang ini memang telah menjadi Ketua di kabupatennya masing-masing selama puluhan tahun. Ada bahkan yang sudah 14 tahun menjadi Ketua. Yang paling rendah saya lihat 10 tahun.
Kalau istilah saya sesudah melihat realitas ini kepada Gustaf, disela makan siang kami menunggu jadwal sidang berikutnya: *”mereka ini berarti bang, telah menjabat sebagai ketua partai bahkan lebih lama dari Pak SBY sendiri selaku pendiri partai”.*
Dari sudut pandang PAC sebagai pemilik suara: “mungkin di forum muscab kali inilah bertemunya dua keinginan mereka, antara kehendak ingin lahirnya pemimpin baru sebagai jalan penyegaran di tubuh partai di daerahnya. Dan kehendak “menghukum” ketua DPC lama karena mungkin selama ini mereka anggap tidak “perform”. Karena, mandat tetap dipertahankan, atau diberikan ke orang baru. Sepenuhnya ditangan para PAC ini selaku pemilik suara.
Pasca selesainya gelaran Muscab di Larantuka ini. Beberapa hari kemudian saya mendengar. Memang muncul ketidakpuasan khususnya dari pihak ketua-ketua lama yang kalah. Hal ini menurut saya wajar. Apalagi saya seorang lawyer. Yang berpikir. “Tidak puas itu adalah hak!” Adalah hak setiap orang untuk boleh tidak puas terhadap keputusan apapun yang lahir dalam sebuah persidangan. Itulah prinsip saya. Asal. Ketidak puasan ini memiliki dasar hukum. Dan cara penyampaiannya pun melalui saluran yang tepat dan memang dibuka untuk itu. Bukan berpolemik di media. Yang malah menunjukkan. Pihak yang tidak puas ini “jangan-jangan” memang tidak tau dasar ketidak puasannya. Tidak puasnya hanya karena kalah saja. Jadi niatnya, penting buat “ribut”. Inilah jenis “tidak puas” yang menurut saya berbahaya. Dan solusinya. Tidak perlu diladeni.
Secara keseluruhan, Muscab untuk daratan Flores dan Lembata ini berjalan lancar. Suasana di luar dan di sekitaran hotel agak panas “sedikit” karena banyaknya pendukung masing-masing kandidat yang datang, menurut saya hal yang wajar dalam kontestasi sejenis ini. Kalau tidak ramai, malah bukan Muscab namanya.
Malamnya. Masih bertempat di Hotel ASA Larantuka, tempat gelaran Muscab ini diadakan, Pak PEW akhirnya menutup secara resmi rangkaian Muscab Partai Demokrat se-Provinsi NTT ini. Dibuka di Waingapu, ditutup di Larantuka. Dimulai di Sumba, jeda sejenak di Timor, berakhir di Flores.
Sebuah perjalanan panjang dalam membereskan partai ini, saya pikir. Padahal ini baru kerja politik di satu Provinsi yang mencakup 22 kabupaten/kota saja. Masih menunggu puluhan provinsi dan ratusan kabupaten kota lainnya diluar sana, yang menunggu dibenahi. Yang menunggu kedatangan Pak PEW ke kotanya. Yang menunggu kedatangan team BPOKK untuk menyiapkan forum bagi mereka, bagi menguji ulang mandat kepemimpinan di daerahnya.
Membayangkannya saja saya sudah lelah. Apalagi harus menjalaninya. Namun itulah yang selama hampir 2 tahun terakhir ini terus dilakukan Pak PEW dan teman-teman di BPOKK. Memutari Indonesia untuk pembenahan dan penyehatan struktur partai.
Salut dan hormatku yang tinggi untuk kalian teman-teman. Karena sama seperti ke NTT ini, dimana untuk pertama kalinya aku ikut bersama kalian. Setiap daerah-daerah yang masih harus kalian datangi berikutnya pastilah punya risiko dan tantangan alam tersendiri untuk menjangkaunya.
Doaku, melihat tantangan di hadapan mata ini, semoga Pak PEW terus dilimpahi kesehatan, agar dapat terus memimpin BPOKK ini menjamah setiap wilayah di Indonesia untuk kebesaran Partai Demokrat.
Tanpa dukungan teman-teman “di belakang layar” yang juga ikut dalam perjalanan ke NTT ini. Rasanya, pekerjaan “kolosal” Muscab 22 kabupaten/kota di NTT ini tidak akan dapat berjalan dengan baik. Untuk itu melalui tulisan ini, kami selaku pimpinan sidang mengucapkan terima kasih kepada: Mbak Trusti Pratiwi, Desie dan Uchi. Mas Fikry, Chicko Wendrina, Darwin Michael, Parlin Siahaan (yang saya pikir dulu Sinaga), Baginda “Dion” Rahadian, Tukardi, Hans Albert, Syamsul Bahara, Sachdin Dawangi, Afroni Imawan dan Bang Kemas.Untuk “Pak Kus” (Kusnarto) tidak lupa kami ucapkan juga terima kasih.
Mereka-mereka inilah bersama “HT nya” (handy talkie) yang terus melekat, terjaga di telinga dan genggaman. Komputer, yang terus di “jinjing” ke sana-kemari, berpindah dari satu pulau ke pulau berikutnya. Bersama kertas-kertas kerjanya, dan berita acara yang dihasilkan, mendukung penuh seluruh persidangan Muscab di NTT ini. Tanpa mereka, mustahil kerja-kerja partai di NTT ini dapat selesai dan berjalan sukses.
Mereka-mereka inilah sesungguhnya “mesin utama” yang tidak terlihat bagi suksesnya Muscab di NTT ini. Hormat dari kami para pimpinan sidang untuk kalian semua teman-teman..
Bersama perjalanan panjang ini, saya pribadi juga mengucapkan terima kasih. Kepada para senior-senior Demokrat NTT yang telah menjadi teman seperjalanan kami selama 1 minggu ini. Dan bahkan di beberapa kesempatan menjadi *”guru politik”* kami untuk memahami lebih lanjut “dunia dalam” politik di NTT ini.
Tersebut satu nama Bang Pius Rengka, Wakil Ketua DPD Demokrat NTT. Sosok yang menurut saya, bukan hanya sekadar politisi. Namun. Lebih dari itu. Karena keluasan wawasannya. Sebaran tulisan opini dan kolomnya. Kajiannya yang dalam terhadap berbagai hal, mulai dari kebudayaan, hukum, wisata, dll. Diksinya. Humornya. Nada bicaranya yang terukur. Serta rambutnya yang memang semuanya hampir memutih. Malah lebih layak ditahbiskan menjadi “filsuf” politik NTT. Demokrat rasanya beruntung sekali karena ada sosok sejenis beliau ini didalam tubuhnya.
Dalam perjalanan ke NTT ini saya juga akhirnya bertemu seorang teman “lama”. Seorang teman yang kenalnya selama ini “hanya” melalui group WA Partai Demokrat saja. Perjalanan ke NTT inilah “kopi daratnya”. Bertemu fisiknya secara langsung. Namanya Bonifasius Jebarus. Akrab disapa “Boni” atau *”Bonjers”* (akronim dari nama panjangnya). Di mata saya, dia ini juga bukan sekadar politisi biasa. Di tengah “merosot” nya suara partai di Pilcaleg kemarin, Bonjers ini berhasil terpilih menjadi 1 dari 8 anggota DPRD kita di Provinsi NTT. Dengan suara yang sangat signifikan pula. Dari dapil 4 Manggarai Raya. Badannya memang tidak terlalu tinggi. Namun, memakai istilah saya ke beberapa teman. Kalau Bonjers ini bicara. Dengan caranya, dia mampu “mengocok” pahitnya kopi politik menjadi terasa sangat manis. Inilah kelebihan utamanya. Kemampuannya menganalisa dan mendudukkan sebuah persoalan dengan kalimat-kalimat cepatnya. Sebuah bakat yang menurut saya, telah melekat dalam dirinya sejak dia menjadi aktivis PMKRI dulu ketika berkuliah di Bandung. Terimakasih brother untuk semuanya. Teruslah menjadi anggota DPRD yang unik dan punya “taste” berbeda dari yang lain.
Selain nama-nama di atas. Banyak lagi sesungguhnya nama yang tidak bisa saya sebut satu per satu, yang ikut memberi warna terhadap perjalanan kami ke NTT ini. Di kesempatan dan dalam tulisan lain mungkin akan saya bahas, seperti misalnya *Gabriel Suku Kotan* sang anggota DPRD yang energik dan lucu, Yuston Karwayu, anak muda Maumere yang tidak pernah terlihat capeknya, Pak Marten Tokan, sang DE Demokrat NTT, yang dalam keadaan apapun selalu tenang. Dan banyak nama lainnya.
Harapan saya, semoga di tangan semua teman-teman ini dipimpin Ketua DPD Pak Jeriko “sang Walikota Kupang”, Demokrat di NTT semakin besar, maju dan dipercaya masyarakat.
Kepada para “kakak-kakak” supir, yang telah setia mengantarkan kami kesana kemari selama di NTT, tidak lupa kami ucapkan juga terimakasih. Apalagi yang telah membawa dan mengantarkan kami dengan selamat di jalanan penuh “tikungan” dari Larantuka menuju Maumere.
Sebagai informasi. Sebahagian besar kami rombongan, karena kendala tiket, memang harus “keluar” dari Pulau Flores ini (baik terbang menuju Bali atau Kupang baru ke Jakarta) tidak lagi melalui Bandara Larantuka. Namun melalui bandara di Kabupaten sebelahnya, Sikka, Maumere. Inilah yang menyebabkan di hari Selasa tanggal 28 Maret 2017 ini kami harus menempuh perjalanan darat lagi ke Maumere. Lama perjalanan darat Larantuka – Maumere ini sendiri memakan waktu 3,5 jam. Walaupun di sepanjang perjalanan panoramanya sangat indah, namun karena penuh tikungan, beberapa teman akhirnya “mabuk”.
Jadilah Muscab di Flores ini, masuknya lewat Gewayantana, Larantuka. Keluarnya lewat Bandara Frans Seda, Maumere.
Bisa terbayang lelahnya?
Sebagai penutup. Seperti wanginya kayu cendana, semoga lancar dan “wanginya” proses Muscab di NTT ini dapat menjadi inspirasi bagi muscab-muscab lainnya yang akan menyusul berjalan di tempat lainnya di Indonesia ini.
Akhir kata, seperti lagu yang dinyanyikan Pak Beny K Harman dan Pak Jeriko di penutupan Muscab ini, yang berjudul *”Bale Nagi”* (lagu daerah Larantuka yang berarti: pulang kampung). Semoga di waktu yang lain, kami rombongan dari Jakarta ini, dapat datang kembali dan pulang “kampung” lagi ke bumi Flobamora NTT ini.
Akhir kata.
Maju terus Demokrat NTT.
2018 menang PILGUB!
Demokrat… JAYA!
Jakarta, 6 April 2017
*)Ketua Departemen Urusan DPR DPP-PD
(dik)