Oleh: Hinca Pandjaitan*)

Kalau kalian naik mobil dari Medan menuju Asahan, kita lewati Petatal, Kabupaten Batubara. Di sebelah kanan, mau belok ke tempat aku berfoto itu, ada stasiun singgah bis ALS, yang kesohor itu.

Belok kiri kalian. 300 meter mentok belok kiri lagi. 100 meter finish di TKP. “Pembibitan Holtikultura”. Sederhana tapi sudah puluhan tahun bibit demi bibit disemai di situ. Banyak kali pun jenisnya sampai aku tak hafal. Mulai dari petai, jengkol, durian, pinang, aren, dan banyak lagi. Aku tercengang juga melihat bibit bibit itu. luas juga. Paling tidak ada 4 rantelah. Ini daerah pemilihanku juga.

“Macam mana ngirim bibit ini ke Pulan Bintan, Kepri?” Aku bertanya.

“Kalau sedikit bisa pakai bis ALS aja, Bang,” kata si Iqbal, anak muda milenial, generasi kedua ayahnya yg meneruskan ladang pembibitan ini, sambil sibuk membayar gaji empat orang karyawannya karena ini akhir pekan.

Aku “call” Lae Hotman Hutapea dan Nuhterin Sihaloho.

“Target sudah tercapai. Aku sudah sampai di TKP. 3.373 bibit aren umur satu tahun sudah tersedia, tapi harus kirim pakai truk. Itu pun sesudah lebaran baru bisa,” kataku melaporkan.

“Cocok, Lae. Kita deal,” kata mereka.

“Deal kita. siapkan ya. kita segera eksekusi,* kataku menutup lobi bisnis ala tradisional dengan anak milenial itu.

“Sampai jumpa dan selamat menanti buka puasa ya,” kataku melambaikan tangan, meninggalkan ladang pembibitan karena 10 menit lagi waktu berbuka segera tiba.

Keadilankah itu?

Tentu. Barang siapa membibit ia layak menjual. Jika ia membibit tapi tak ada pembeli tentu itu bukan keadilan.

Membantu menjualkan bibit-bibit dari ladang pembibitan sesungguhnya itulah keadilan bagi Iqbal, sang anak muda milenial yang mengabdikan hidupnya agar semua petani bersiap menanam Agar tumbuh-tumbuhan terus ditanam! Agar dunia tetap asri! Agar esok ada yang dipanen untuk ketahanan pangan Indonesia!

*)Ketua Dewan Kehormatan Partai Demokrat; Anggota Fraksi Partai Demokrat DPR-RI