Jakarta: Sekretaris Fraksi Partai Demokrat DPR RI Marwan Cik Aasan menilai, pemerintah tidak optimal dalam memanfaatkan kelonggaran yang diberikan melalui pelebaran defisit APBN di atas 3% PDB yang diatur UU Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Perppu No 1 Tahun 2020 guna memulihkan ekonomi yang babak belur akibat corona.

Hal tersebut disampaikan oleh Marwan sapaannya saat menyoroti target pemerintah soal defisit Anggaran Pendapatan dan belanja negara (APBN) sementara tahun 2022 sebesar minus 4,51% hingga 4,85% dari produk domestik bruto (PDB).

“Setelah dianggarkan begitu besar contohnya program PEN itu tidak nendang terhadap perekonomian kita. Perekonomian kita tetap tumbuh negatif di 2020 minus 2,07 persen dan di kuartal I ini minus 0,74 persen,” kata Marwan, Rabu, (16/6/2021).

Selain itu, kata Marwan, penyerapan anggaran PEN di tahun 2020 hanya Rp 579,78 triliun atau 83,4 persen dari pagu Rp 695,2 triliun.

“Konsumsi tidak tumbuh, covid 19 tetap merajalela. Jadi kelonggaran ini tidak dimanfaatkan secara optimal,” papar Marwan.

Marwan juga menyoroti, mahalnya utang pemerintah dibandingkan dengan negara-negara lain. Menurut Marwan, utang pemerintah saat ini memiliki imbang hasil yang tinggi.

“Contoh untuk jangka hutang 10 tahun (bunga) Indonesia, 26,72 persen lebih tinggi dari Jepang, 0,03 persen China, 2,99 persen, Thailand 1,29 persen, Malaysia 2,5 persen. Itu baru contoh dari yang di Asia dan Asia Tenggara,” tegas Marwan.

“Makanya BPK Memberikan catatan dengan strategi pengembangan surat berharga itu dilihat kurang efektif mahal,” tambah Marwan.

Yang lebih mengkhawatirkan, lanjut Marwan, ialah utang tersebut malah menjadi sisa lebih pembiayaan anggaran atau SILPA.

Mengacu data Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menunjukkan ada dana sisa SILPA sebesar Rp 254,19 triliun yang tercatat hingga akhir April 2021.

Angka tersebut lebih tinggi dibandingkan posisi akhir April 2020 sebesar Rp 150,7 triliun.

“Ini kalau kata peribahasa Melayu sudah jatuh tertimpa tangga, sudah covid-19 tidak terkendali, utang bunga tinggi, tidak juga nendang untuk pertumbuhan ekonomi. Terakhir uang yang kita sudah dapat dari utang dengan bunga yang tinggi itu ternyata malah jadi Silpa,” kecewa Marwan.

Anggota Komisi XI DPR RI berharap bahwa ketidakoptimalan ini agar menjadi pembelajar bagi pemerintah khususnya tim ekonomi. Marwan menegaskan, keluasaan dari aturan yang didapat dari UU nomor Nomor 2 Tahun 2020 harus dimanfaatkan secara optimal untuk memulihkan ekonomi.

“Ini pembelajaran mahal. Saya kira belajar nya cukup satu setengah tahun. Satu setengah tahun kedepan dari 2021 ini sampai akhir 2022 kita punya kartu sakti (pelebaran) defisit (APBN) di atas 3 persen ayo perbaiki,” tandas Marwan.

(Rilis FPD DPR-RI)