Jakarta: Mencermati demokrasi di Indonesia selama tahun 2020, ada kekhawatiran mengenai masa depan demokrasi di Indonesia. Meskipun saat ini belum mengarah ke otoritarian, demokrasi Indonesia menuju apa yang disebut profesor politik dari Universitas Warwick, Inggris, Colin Crouch, sebagai masyarakat post democracy. Masyarakat yang memiliki dan menggunakan seluruh institusi demokrasi, tetapi demokrasi hanya berkembang di permukaan sebagai formalitas saja.
Apalagi dengan pandemi dan resesi ekonomi saat ini. Ada kecenderungan dan dorongan yang seakan-akan melegalkan pemerintah bertindak secara berlebihan dan menafikan demokrasi, dalam penanganan pandemi. Hal tersebut disampaikan Kepala Badan Penelitian & Pengembangan DPP Partai Demokrat, Herzaky Mahendra Putra dalam diskusi daring Proklamasi Democracy Forum ke-8 yang mengangkat tema “Demokrasi Indonesia di Tengah Pandemi dan Resesi Ekonomi: Harapan untuk 2021”, di Jakarta, Rabu (30/12) sore.
Untuk menghindarinya, lanjut Herzaky, pemerintah harus lebih terbuka dalam menerima kritikan dan saran dari berbagai pihak. Transparansi, kredibilitas, dan kebebasan arus informasi, partisipasi dan kolaborasi kelompok masyarakat sipil secara sukarela, merupakan beberapa unsur penting dalam menangani pandemi yang sesuai dengan nilai-nilai demokrasi. Koalisi masyarakat sipil pun harus melakukan konsolidasi yang lebih optimal, sambil terus mengharapkan parlemen benar-benar menjalankan check and balances, bukan berhenti sebagai pendukung pemerintah saja.
Diskusi daring ini juga diisi oleh beberapa pembicara diantaranya, Komisioner KPU Viryan Azis, Kepala Pemberitaan Korporat Tempo Media Arif Zulkifli, Dosen UNJ Robertus Robert, Direktur Eksekutif Puskapol UI Aditya Perdana, dan Pegiat HAM dan Demokrasi Kurawal Foundation Donny Ardyanto.
Viryan Azis, Komisioner KPU RI, mengungkapkan kelegaannya karena partisipasi saat Pilkada 2020 lalu meningkat meskipun di era pandemi.
“Hanya Indonesia yang bisa menyelenggarakan pemilu dengan partisipan terbanyak saat pandemi yaitu 75 persen. Ini pertanda positif di satu sisi untuk demokrasi Indonesia,” ujar Viryan.
Ke depan, harap Viryan, KPU dan partai politik bisa lebih sinergis dalam meningkatkan kualitas pemilu dan demokrasi di Indonesia. Kita harus memikirkan secara seksama, seperti apa persiapan ke depannya, baik masih ada pandemi maupun tidak, untuk menggelar pemilu selanjutnya.
Sementara Aditya Perdana, Direktur Eksekutif Pusat Kajian Ilmu Politik Universitas Indonesia, mengingatkan beberapa ancaman terhadap demokrasi Indonesia di tahun 2021. Pertama, ancaman demokrasi berupa kebebasan sipil dan politik (offline dan online), ruang partisipasi publik yang terbatas karena pandemi, dan konsolidasi aparat keamanan dalam ruang publik semakin meluas.
Kedua, ancaman politik elektoral, berupa kekuatan oligarki dan dinasti politik yang juga terkonsolidasi secara regulasi maupun kompetisi, serta dilemahkannya peluang calon perseorangan.
Ketiga, keterbatasan dalam pengawasan terhadap pemerintah, seperti yang tercermin dalam korupsi bansos oleh Menteri Sosial, Juliari Batubara.
Adit juga memberikan gambaran apa yang terjadi di banyak negara dalam masa pandemi.
“Pertama, pemerintah semakin kuat dan melemahkan kelompok oposisi. Kedua, strong leadership yang multitafsir. Ketiga, ada desakan internasional untuk menguatkan kelompok masyarakat sipil,” tambahnya.
Adit pun mengingatkan, salah satu tantangan terbesar tahun 2021 adalah pembahasan revisi UU Pemilu dan Pilkada.
Sedangkan Donny Ardianto, pegiat HAM & Demokrasi, dari Kurawal Foundation, menegaskan salah satu penanda regresi demokrasi di Indonesia disamping pemusatan kekuasaan dan pemberangusan oposisi adalah politisasi penegak hukum.
“Setelah gagal direformasi, polisi menjadi alat (tools) bagi kekuasaan untuk menekan kritik dan lawan politik dengan menggunakan perangkat hukum. Kewenangan tanpa perimbangan yang dimiliki polisi, semakin hari semakin menguat. Rezim otoriter Orba memiliki tentara sebagai alat pukul utamanya. Bukan tidak mungkin lahirnya rezim otoritarian baru akan disokong oleh alat pukul yang baru ini,” jelas Donny.
Robertus Robert, pegiat Demokrasi yang juga dosen UNJ, menegaskan kalau demokrasi baru tumbuh apabila ada partisipasi dari warga negara.
“Memperkuat dan menyegarkan partai politik merupakan bagian penting dalam demokrasi. Dalam dua tahun terakhir, civil society sudah mulai siuman sejak adanya polarisasi akibat pilpres 2014,” Robertus Robert menjelaskan.
Dan pembicara terakhir, Arif Zulkifi, Kepala Pemberitaan Korporat Tempo Media, memaparkan tantangan yang dihadapi dunia pers di tahun 2021 berdasarkan apa yang dijalani di tahun 2020.
“Pandemi bagaimana pun membatasi mobilitas dan mempengaruhi cara kerja dunia pers,” terang Arif.
Pertama, Pers bekerja di bawah ancaman UU ITE yang membuat pers bisa dikriminalisasi, dan serangan dari pihak-pihak anti demokrasi berupa doxing dan hacking.
“Hacking kekinian bukan sekedar situs tidak bisa diakses, melainkan usaha menghapuskan dan menambahkan berita. Belum lagi situasi pandemi memunculkan permasalahan ekonomi di industri media,” lanjutnya.
Lalu, masih adanya pemahaman yang belum seragam di kalangan pers tentang bagaimana media bisa memiliki perhatian, konsistensi dengan sikapnya, menjalankan tugas di tengah masyarakat yang terbelah. Dalam kasus penembakan anggota FPI, Arif bertanya bagaimana kita bisa melihat enam nyawa yang melayang sebagai isu kemanusiaan, terlepas mereka berbalut baju apa, punya ideologi dan pandangan politik seperti apa. Koridor nilai-nilai kemanusiaan ini yang mesti menjadi pegangan bersama.
(Rilis)