Oleh: Boyke Novrizon*)
Pentas pilkada DKI Jakarta sangat sudah usai. Pasangan Anies – Sandi muncul sebagai pemenang dalam Kontestan Pemilukada Gubernur DKI 2017 – 2022. Kedua pasangan calon itu juga sudah pula ditetapkan KPU DKI sebagai Kepala Daerah Tepilih periode 2017 – 2022 yang akan datang.
Pesta pilkada telah usai, namun residu dari pertarungan 3 kandidat masih meninggalkan jejak dan bekas yang sangat dalam dan panjang bukan saja pada zona Politik Jakarta, bahkan masuk dan tervirusisasi sampai ketingkatan Provinsi dan Kabupaten/kota diseluruh Jagat Indonesia yang menitipkan aroma kurang sedap bahkan munculnya keretakan juga perpecahan sesama anak bangsa atas peta politik aliran yang semakin menguat kearah rasis dan perbedaan Keyakinan.
Perang figur, perang patron, perang pencitraan, perang media, perang gengsi, perang kekuatan partai politik, perang ide juga gagasan, perang materil, perang agipro, perang intelektual keilmuan dan perang konsep serta stratak pemenangan menjadi barometer para konstetan untuk meraih kemenangan. Dan apesnya, di antara semua perang itu, yang tidak kalah kuatnya bahwa menyisakan perang yang semakin mengeras serta muncul secara terbuka tentang perang politik Identitas.
Makna dari politik identitas adalah dimana penjabarannya bahwa, para konstetan atau paslon tidak hanya mengedepankan nilai-nilai pencitraan yang dibalut oleh kekuatan media semata, dan juga tidak hanya mengedepankan kekuatan materil, program dan juga kekuatan parpol atau relawan pendukungnya (Multi Power), namun Kekuatan yang sangat besar dari politik identitas adalah memunculkan sebuah Perbedaan secara nyata didepan publik akan Identitas Agama dan Etnis.
Bukti dari penerapan politik identitas ini tidak hanya terjadi saat Hajatan politik Jakarta, namun sebelumnya beberapa pekan yang lalu politik identitas muncul kepermukaan publik secara nyata dan fasih pada Kontestasi Pemilihan Presiden AS.
Dan pada detik-detik terakhir/penentu, politik identitas dapat dijadilan sebagai faktor kekuatan utama atas kemenangan politik Donald Trump secara utuh atas lawannya Hillary Climton sebagai Presiden AS 2016.
Walaupun politik identitas menimbulkan perpecahan juga perlawanan secara terbuka pada peta perpolitikan AS paska Pilpres 2016, namun AS sebagai negara yang mengedepankan pondasi politik berbasiskan demokrasi dapat meredam gejolak perpecahan yang mengarah pada agama, etnik dan rasis secara baik, tepat dan cepat.
Tapi disisi lain apakah ketika Indonesia kini yang baru memulai/sebagai pemula dalam menjalankan sistem perpolitikan yang berbasis demokrasi secara langsung ini dapat menjaga dengan baik demokrasi bernegara dan sosial disaat politik identitas dijadikan sebuah pilihan serta jalan emas dalam memenangkan kontestasi politik jangka pendek, menengah dan panjang.
Ataukah mungkin politik identitas dapat menimbulkan perpecahan atau membahayakan sendi sendi kerukunan beragama dan bersosial dalam bernegara.
Alasan karena pemilih tidak lagi berfikir secara rasional dalam menetukan pilihan politiknya, sebab dasar mereka memilih lebih didasarkan pada wilayah etnis dan keyakinan akan agama.
Untuk itu diperlukan kelompok serta kekuatan politik yang berada di tengah di tengah menguatnya kutub kiri dan kanan ini.
Dan solusi jalan tengah yang dipilih serta dijalankan oleh partai Demokrat adalah solusi untuk mencairkan dua kutub yang semakin menguat serta mengeras, dan apabila kondisi ini tidak dapat ditangani dan ditengarai secara baik juga cermat oleh negara, maka bisa saja perihal ini menjadi penyebab munculnya sumbu pemantik yang akan membuat negara juga warga negara terbelah secara keras.
*)Wakil Ketua Komisi Pemenangan Pemilu Partai Demokrat
(politiktoday)