Husnizar Hood (haripuisi.com)

Oleh : Husnizar Hood*)

Berkenalan dengan Partai Demokrat, mungkin saya agak terlambat. Tapi banyak orang bijak berkata biarlah terlambat daripada tidak sama sekali. Dan, saya beruntung ketika perkenalan pertama tahun 2006 itu saya langsung menjadi ketua DPC Tanjungpinang. Tentu dengan penampilan tak biasa, jas pinjaman yang kedodoran, rambut gondrong, dan bersepatu sandal saja.

Perkenalan itu dikarenakan Partai Demokrat, bagi saya, sangat menjanjikan untuk orang seperti saya yang hidup dan dibesarkan dalam berkesenian. Saya seniman. Itu pengakuan bangga saya, kalau tak mau dibilang sombong. Saya penulis. Mereka memanggil saya penyair. Saya mencipta lagu dan, ketika itu, magnet terbesar Partai Demokrat: Pak SBY, yang 10 tahun telah memimpin Indonesia dengan baik, melakukan hal sama seperti saya. Dia menulis puisi dan bernyanyi. Itulah yang membuat saya ikhlas berada di partai ini.

Seiring perjalanan waktu, saya juga bertemu dengan banyak petinggi-petinggi Partai Demokrat, kala itu, yang terus memberikan ruang kepada saya berekspresi dalam seni. Sebut saja almarhum Pak Hadi Utomo, Pak Marzuki Alie, Bung Anas dan Bang Andi Malarangeng dan sederetan nama lain yang kerap mengajak saya berpantun dalam dialog-dialog kami.

Meskipun pasang dan surut dinamika partai ini tak terelakkan, tetap saja, bagi saya, dia bagai sebuah keniscayaan. Begitulah kehidupan, dan begitulah kata pepatah bagi kami orang Melayu, “Kalau takut dilambung ombak, jangan berumah di tepi pantai”.

Kita sudah memilih dan kita tak pernah takut, dengan pasti kita bisa melewati gelombang-gelombang besar itu. Seniman juga selalu bersikap demikian, perlawanan seniman bukan dengan fisik tapi dengan karya cipta, dengan perbuatan. Ombak bukan harus diterjang tapi dimainkan alunnya. Karena itu, meminjam istilah nelayan, “menari di atas gelombang” yakin selamat sampai ke seberang.

Kemudian saya menyaksikan Partai Demokrat seperti sedang menari-menari kini. Di usianya yang ke-16, dia bagai penari yang penuh pesona, yang “tanpa kening berkerut”–meminjam istilah sekjen Bang Hinca– dia menggoda kita semua, menggoda mereka, menggoda siapa saja untuk jatuh cinta.

Cinta yang saya pikir adalah cinta yang tak biasa, seperti kerja Bang Sekjen yang juga tak biasa itu. Dia bekerja seperti telah melewati batas-batas saya yang bangga mengaku sebagai seniman itu.

Bang Sekjen membombardir saya dengan kalimat lugas “Kebudayaan itu hal yang harus diperjuangkan dan politik itu cara memperjuangkannya”. Kemudian dia berteriak dengan keras lagi, “Ayo, jangan berhenti. Politik itu adalah ritual apa yang harus kalian lakukan”. Saya menahan napas, tak sanggup mengejarnya. Pentas Seni, Ikut bermain Makyong, lomba membuat film pendek anak-anak muda yang belum pernah dibuat oleh partai mana pun, mengajak terus berpantun setiap hari dengan saya dan kemudian terakhir lomba menulis puisi yang diikuti hampir 1000 penulis se Indonesia. Semua digagas oleh DPP Partai Demokrat. Saya, mabuk kepayang, karena di dunia seni pun saya belum pernah melewati fase seheroik ini. Dan saya coba berdiri di sampingnya, melakukan apa saja yang saya bisa.

Itulah catatan 16 tahun Partai Demokrat, hari ini. Harus saya akui, saya banyak sekali berutang budi. Selalu saya ingin membalasnya tapi mungkin balasan saya itu hanyalah seperti buih di lautan. Tapi tetap saya merasa bangga. Paling tidak saya pernah membuat Pak SBY dan Bu Ani tertawa, Mas AHY dan Mas Ibas bahagia, melalui lakon Makyong teater tradisional Melayu yang saya mainkan dengan isteri tercinta saya, di Kepri. Kemudian kami diberi panggung di NTB. Adegan demi adegan yang membuat Pak SBY “terpaksa” memuji kami berdua.

Mungkin dia tak tahu, kalau itulah kehidupan kami yang sesungguhnya. Dari satu panggung ke panggung lain, dari riuh tepuk tangan ke riuh tepuk tangan yang lain, terus bergerak. Untuk memikat hati mereka. Untuk memenangkan cita-cita kita bersama.

Tanjungpinang, jelang 9/9/2017

*)Wakil Ketua DPRD Kepulauan Riau dan Sekretaris Partai Demokrat Kepulauan Riau