Presiden RI ke-6, Ketua Umum Partai Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) adalah sosok pemimpin bernalar kuat; pekerja keras; dan berhati bijak. Pemimpin yang dicari Bangsa Indonesia. (foto: twitter)

Oleh: Budi Winarno

Pemimpin yang baik itu harus kuat dalam nalar dan giat dalam bekerja. Tidak mudah menemukan orang dengan kapasitas seperti itu. Banyak sekali orang yang nalarnya hebat tetapi tidak mampu bekerja. Pun sebaliknya, begitu banyak orang yang rajin bekerja tetapi aspek nalarnya tidak memadai.

Dua kemampuan itu, idealnya tersedia dalam kognisi dan motorik seorang pemimpin. Bayangkan jika seorang pemimpin nalarnya kuat tetapi lemah dalam segi motoriknya. Dia akan lebih banyak berpikir dan berbicara. Aspek pekerjaannya justru akan menjadi titik lemah atau bahkan menghapus kemampuan nalarnya.

Sebaliknya, jika seorang pemimpin giat bekerja namun lemah nalarnya, maka dia hanya akan menjadi kuli yang baik. Bukan menjadi mandor, apalagi insinyur, yang baik. Orang tipe seperti ini, lemah framing sehingga cenderung  tidak fokus, kalau bicara tidak memberi konstruksi yang jelas pada apa yang dikerjakannya.

Pemimpin yang lemah nalarnya juga akan melakukan banyak hal untuk menutupi kelemahannya itu. Hal-hal yang dilakukan cenderung tidak substantif, hanya buang-buang waktu dan energi, meski terkadang sekilas tampak menghibur. Pemimpin seperti ini, akan berusaha mengeksplorasi apa yang dikerjakannya dan akan menutupi sedalam-dalamnya aspek nalarnya.

Ketika mengeksplorasi pekerjaannya  itu, dia biasanya menambah dengan sejumlah perilaku yang aksesoris. Dia akhirnya cenderung berlebihan bahkan overacting. Targetnya hanya tampil beda demi menghindar dari stereotip pemimpin-pemimpin terdahulu.

Itulah yang terlihat di zaman now. Di masa sekarang, banyak pendidik yang kesulitan memberi penjelasan kepada murid tentang cara berpakaian yang baik. Misalnya, baju seragam atasan mesti dimasukkan ke celana. Para pendidik boleh berbusa-busa memberi pengarahan, tetapi seumpama sang murid yang tidak rapi berpakaian kemudian menjawab dengan ucapan, “Lha wong  presidennya saja pakaiannya tidak dimasukkan”, maka sang guru akan salah tingkah.

Bisa jadi suatu saat akan ada anak sekolah memakai kaos oblong ketika hendak belajar. Dan ketika ditanya sang guru, dia berujar, “Presiden saja meresmikan stasiun menggunakan kaos oblong.” Tidak ada yang salah, bukan? Kita telah telanjur bersepakat bahwa presiden adalah role model kepantasan, kesantunan, dan segi lain yang baik-baik sifatnya.

Hanya di zaman now pula ada wakil wali kota yang rambutnya di kuncir ketika memimpin upacara sampai-sampai Menteri Dalam Negeri kebingungan mau berbuat apa terhadap anak buahnya yang kebetulan seorang artis penyanyi itu.  Menteri tidak  memiliki referensi untuk menangani “kasus” seperti itu. Referensi justru dimiliki si penyanyi itu. Ya presidennya yang senang tampil beda  itulah referensinya.

Semua itu baru ada di zaman kini. Periode sebelum ini, rasanya banyak hal baik-baik saja, santun-santun saja. Dari Bung Karno sampai SBY, semua pantas-pantas saja cara berpakaiannya. Semua tindak-tanduk presiden tidak ada yang aneh-aneh dengan perilaku aksesorik yang tidak substantif. Pengecualian ada dalam diri Abdurrahman Wahid. Orang yang naik menjadi presiden karena waktu itu muncul arus deras penolakan “asal bukan Megawati” itu, akhirnya juga tumbang, tidak genap satu periode memimpin negara tercinta ini. Gus Dur terhenti karena ucapan-ucapan yang dibangunnya dianggap tidak baik, terutama oleh “poros tengah” yang waktu itu dimotori Amien Rais.

Penerus Gus Dur, Megawati, justru bertolak belakang dengan pendahulunya dalam soal gaya bicara. Jika Gus Dur senang mengobral omongan, Megawati justru irit bicara. Mantan Ketua Umum PB Nahdlatul Ulama, KH Hasyim Muzadi (alm) pernah berujar, “menyuruh Gus Dur diam sama sulitnya dengan menyuruh Megawati bicara”. Sebuah satire yang tepat.

Periode setelah Megawati adalah era pemilihan langsung presiden. Rakyat memilih sendiri presidennya. Dan terpilihlah Susilo Bambang Yudhoyono yang berpasangan dengan M. Jusuf Kalla. Pada periode kedua, SBY bergandengan dengan Boediono.

Melalui pilihan langsung itu, rakyat rasanya memilih orang atau pasangan yang tepat. SBY merupakan sosok yang memiliki nalar kuat tetapi juga bisa bekerja keras. Pemimpin, lebih tepatnya presiden Indonesia, memang harus perform sebagai pemimpin negara besar ini. Perpaduan nalar dan motorik yang baik akan melahirkan hati yang bijak (wise). Kapasitas pemimpin wise itulah yang kita cari.

Salah satu konsekuensi menjadi presiden di era reformasi ini adalah  akan dikritik habis, di sana-sini dicaci-maki, dan menjadi sasaran tembak musuh-musuh politiknya. Bisa saja dengan powernya, para kritikus itu dibungkamnya. Namun, SBY tidak pernah melakukan itu. Diperlukan wisdom yang luar biasa untuk memimpin Indonesia di era orang boleh bicara bebas ini.

Menurut SBY, sejarah peperangan, mulai dari abad klasik hingga era modern banyak dipicu permusuhan para pemimpin, antarelite, bukan antar-rakyat. Jadi, tak perlu rakyat yang kritis diciduki, diteror dengan pasal-pasal hukum. Mereka hanyalah wujud sangat kecil dari puncak gunung es di dasar lautan. Di dasar lautan itulah para elite bersembunyi sambil sesekali bertepuk tangan manakala umpannya berhasil ditelan sasarannya.

*)Wartawan Senior; Redaktur Pelaksana dan Pemimpin Redaksi Harian Jurnal Nasional (2006-2015)