Oleh: Willem Wandik S.Sos*)

Pandemi global Covid-19 telah memasuki fase 6 bulan (sejak Tiongkok melaporkan kasus pertama di ujung Desember 2019), pada Mei 2020.
Dari register kasus di seluruh dunia, maupun di Indonesia, belum ada pertanda wabah akan berakhir. Sumber masalah utama ada pada rantai penularan yang tidak terputus di populasi berisiko, baik di kota kota besar, bahkan di perlintasan daerah terpencil.

Inilah risiko dari semakin mengecilnya ruang gerak manusia, karena faktor globalisasi. Konektivitas antar-benua, negara, kepulauan dan juga antar-daerah dipermudah dengan adanya moda transportasi yang adu kuat di 3 matra utama, baik darat, udara, dan laut.

Indonesia sekalipun, sebagai negara kepulauan yang memiliki hambatan geografis alamiah, kesulitan mengendalikan penyebaran infeksi Covid-19, disebabkan masalah perpindahan manusia secara temporer dari satu tempat ke tempat lainnya, yang sejak awal tidak dikendalikan oleh otoritas nasional.

Daerah seperti Tanah Papua, melalui keputusan bersama Gubernur dan Bupati, beserta MRP dan DPRP, telah lama menerapkan karantina wilayah secara terbatas, namun tetap saja bermunculan kasus-kasus baru yang tidak terduga di sejumlah daerah.

Masalah utama berlangsungnya pandemi Covid-19, yang telah memasuki fase 6 bulan, dipastikan akan mempertemukan dua masalah dilematis, yaitu, pertama, kepentingan mengendalikan rantai penularan (transmisi Covid-19 host to host) melalui pembatasan dan pengendalian transportasi darat, udara, dan laut. Kedua, kepentingan ekonomi masyarakat, terutama pemenuhan aspek kebutuhan dasar (sandang dan pangan), yang juga dapat membahayakan stabilitas sosial di masyarakat.

Sejumlah kebijakan yang sudah di rancang oleh mitra komisi V DPR RI, terutama Kementerian Perhubungan dengan lahirnya Permenhub No.25 Tahun 2020, adalah dalam rangka menerapkan kebijakan nasional pembatasan migrasi orang dari satu daerah ke daerah berikutnya, untuk mengendalikan penularan Covid-19 dengan pilihan tetap memperhatikan distribusi arus barang dan jasa (utamanya logistik ekonomi) agar tetap dapat mengakses ke seluruh wilayah di Indonesia.. Sehingga, masyarakat di satu wilayah tertentu, tidak mengalami kelangkaan rantai pasokan pangan, ekonomi, dan energi, yang dapat mengakibatkan kerusuhan sosial, sebagai dampak terputusnya akses ekonomi.

Peraturan Menteri ini harusnya dapat segera disinkronisasi ke seluruh Provinsi/ Kabupaten/Kota se-Indonesia. Sebab, pelaksana lapangan ada di tiap tiap daerah. Tertibnya pelaksanaan aturan ini, tergantung dari leadership yang ada di setiap tingkatan birokrasi di daerah, terutama, arahan dan perintah yang jelas, dan mudah untuk dilaksanakan di lapangan.

Kebijakan ini akan efektif, apabila dua kutub masalah bisa di harmonisasi.
Pertama mengendalikan rantai penularan dan kedua memitigasi rasa lapar dan kebutuhan ekonomi masyarakat.

Selama 6 bulan ini, seharusnya kebijakan makro dan mikro ekonomi nasional, termasuk pembahasan refocusing anggaran APBN dan APBD di seluruh daerah, termasuk pemanfaatan dana desa, seharusnya bisa menanggulangi 2 problem utama masyarakat menghadapi Covid-19.

Di berbagai negara, penerapan dua pendekatan ini telah masuk dalam action plan budgeting nasional negaranya masing masing, melalui sistem bantuan keuangan dan ekonomi kepada masyarakat. Indonesia seharusnya, tidak perlu ragu menerapkan dua strategi ini, jika ingin menyelamatkan nyawa manusia manusia Indonesia, dan juga ikut menyelamatkan stabilitas sosial ekonomi masyarakat sebagai benteng utama ketahanan nasional negara.

Wa Wa Matur nuwun Horas

*) Wakil Ketua Umum Partai Demokrat; Anggota FPD DPR-RI; Ketua Umum Gamki

(dik)