Oleh: Jemmy Setiawan*)

Jenderal TNI (Purn) Pramono Edhie Wibowo (Elang-55, merujuk pada kelahirannya pada 5 Mei 1955–red) adalah nama yang angker di telinga saya pada waktu pertama kali senior saya memperkenalkan beliau lewat ceritanya, dimana Jenderal Pramono menghabiskan sebagian besar masa tugasnya sejak perwira muda di kesatuan elite Kopassus (Komando Pasukan Khusus).

Bahkan satu tahun sejak kelulusan beliau dari akademi militer tahun 1980 beliau sudah diberi kepercayaan mengemban tugas sebagai Komandan Pleton Group I Kopassandha (Komandan Pasukan Sandi Yudha yang bertransformasi menjadi Kopassus) dan di tahun ke-4 dari kelulusannya beliau diberi kepercayaan sebagai Komandan Kompi 112/11 group I Kopassandha.
Muara dari puncak kariernya beliau diamanahkan sebagai Kepala Staf TNI Angkatan Darat ke 27 pada 30 juni 2011 sampai dengan tahun 2013.

Begitu kagumnya saya kepada beliau pada waktu itu hingga saya menulis beberapa pernyataan di sejumlah media sepanjang tahun 2011.

Perkenalan saya dengan Jendral Purn Pramono hanya melalui tulisan dan pesan-pesan saja, sampai akhirnya tahun 2013 akhir saya mulai berkomunikasi dan berjumpa langsung dengan beliau.

Banyak cerita dalam perjalanan kami mulai tahun 2014 bersama.

Bapak Pramono pernah hadir dalam undangan saat saya mencanangkan penanaman 10 ribu pohon di Kulon Progo serta menabur benih ikan di waduk Sermo Yogyakarta pada 2014.

Nama angker dan gahar yang sempat tertanam di benak saya sebelumnya ternyata patah.

Jenderal Pramono Edhie Wibowo yang saya kenal ternyata sangat humoris dan humanis.

Dalam setiap cerita beliau selalu membuat kami terkekeh-kekeh dengan guyon yang segar. Namun di balik itu semua tidak sedikitpun Bapak Pramono mengurangi ketegasannya dalam sikap dan pilihannya.

Beliau seperti peluru yang melesat tanpa toleh kanan kiri. Beliau melihat hukum dan aturan seperti memakai kaca mata kuda yang tanpa kompromi.

Saat saya berkesempatan membantu penugasan beliau sebagai Demokrat III yaitu Ketua BPOKK Partai Demokrat, tidak jarang beliau memanggil saya untuk bicara dan bercerita mengenai banyak hal mulai dari pengalaman di militer sampai soal pandangan pandangan kebangsaan yang ada dalam pikiran beliau.

Dalam satu masa saya sedang menulis buku berjudul “Merah Putih Tergadai di Perbatasan” yang diterbitkan oleh Elex Media Kompas Gramedia Group, saya meminta beliau, Jenderal TNI (Purn) Pramono Edhie Wibowo, memberikan tulisan pengantarnya.

Beliau berpesan satu hal kepada saya “Jadi orang berilmu jangan dipakai untuk akal-akalan, gunakan ilmu yang kita punya untuk kemaslahatan umat dan pengabdian kepada negara”.

Pesan itu selalu membekas di benak saya dan akan selalu saya ingat dalam perjalanan hidup saya.

Bapak Pramono kini engkau telah berpulang kembali kepada Sang Pemilik kehidupan ini, namamu selalu akan harum di banyak cerita dan pesanmu akan selalu ada sebagai pengingat kami.
Satu hal yang sangat membekas dan terkadang saya menirukan gaya beliau adalah tawanya yang sangat khas dan lepas.

Selamat jalan, Jenderal. Tenanglah Bapak di sisi-Nya.

Salam hormat selalu untukmu.

*) Deputi Kaderisasi BPOKK DPP Partai Demokrat