Jakarta: Fraksi Partai Demokrat (FPD) DPR-RI meminta pemerintah tidak terlalu terburu-buru masuk dan turut serta ke dalam rangkaian perjanjian internasional. Perlu ada penyesuaian dengan kondisi domestik dan kesiapan dari seluruh variabel pertumbuhan ekonomi nasional.
Hal ini disampaikan anggota FPD Putu Supadma Rudana saat menerima kunjungan Indonesia Global Justice (IGJ) di ruang FPD, Gedung Nusantara I, Senayan, Jakarta (03-11-2021).
Dalam kesempatan ini, FPD dan IGJ mendiskusikan rangkaian kerjasama ratifikasi yang diikuti Indonesia terkait Persetujuan Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional/Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP). RCEP sudah ditandatangani tahun 2020 dan kini dalam proses implementasi.
‘’Perjanjian RCEP sebenarnya tidak cukup kalau pembahasan di DPR ini hanya melihat konteks impor dan ekspor saja. Bagaimana rules di Indonesia itu yang menjadi pertimbangan DPR RI, karena salah satu masalahnya adalah mengenai policy space, bahwa negara bisa memberikan ruang perlindungan bagi masyarakat,’’ kata Rachmi Hertanti, dari IGJ.
Rachmi mengingatkan pentingnya review terhadap UU Perjanjian Internasional, karena ada beberapa mandat yang dinilai membahayakan kepentingan nasional.
“Kami memperhatikan ada beberapa perjanjian internasional yang tahapannya di-skip oleh pemerintah. Ini harus menjadi mandat konstitusi. DPR RI perlu melakukan penilaian dampak sesuai Pasal 18. Otsus Pemerintah ini perlu dibatasi. Putusan MK No. 13/PUU-XVI/2018 telah mengabulkan Permohonan IGJ dan Koalisi Keadilan Ekonomi terkait dengan Pasal 10 UU No.24/2000,’’ tambah Hertanti lagi.
Menurutnya, dalam hal ini DPR dapat menolak persetujuan RCEP karena adanya beberapa hal yang menyalahi aturan konstitusi. RCEP ini hanya bisa meningkatkan GDP sebesar 0,05%, dengan tidak ikut GDP Indonesia hanya turun 0,07%. Maka apakah perjanjian ini memang signifikan dan perlu untuk dilakukan.
IGJ juga menyarankan pelibatan publik yang menyeluruh sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi. Setiap pengambilan keputusan baiknya tidak selalu dengan mekanisme Perpres, tetapi tetap memperhatikan etika bernegara yakni melibatkan rakyat dan DPR. Selain itu, informasi harus disampaikan secara menyeluruh dan terbuka kepada publik.
‘’Isi perjanjian tidak boleh merugikan negara terutama dari aspek kedaulatan negara. Perlu ada analisa dan kajian terkait dampak dari kerjasama. Pemerintah jangan hanya fokus pada trade saja (ekspor-impor), padahal konteks yang perlu diperhatikan sangat luas seperti perhatian terhadap kesejahteraan buruh, pekerja tani dan nelayan. Disamping aspek lingkungan yang juga harus diperhatikan,’’ papar pihak IGJ.
Menanggapi hal ini, Putu yang juga anggota Komisi VI DPR RI dan unsur pimpinan dari Badan Kerjasama Antar Parlemen (BKSAP) menegaskan bahwa FPD memahami risiko-risiko dekstruktif dalam kerjasama ekonomi internasional, termasuk dalam konteks menurunkan kedaulatan negara.
‘’Kami memahami dan mengingatkan perlunya untuk mewaspadai hal itu, meskipun juga mengerti bahwa masuk ke dalam lingkup kerjasama ekonomi global yang berlandasrkan paham liberal dapat memberikan keuntungan konstruktif bagi Indonesia. Tetap saja, sangat penting menimbang risiko-risiko negatifnya, jangan sampai menurunkan derajat kedaulatan negara, dan merugikan rakyat seperti menimbulkan defisit perdagangan, menganggu domestic supply chain juga memperketat daya saing industri nasional hingga memperluas jurang perbedaan kualitas produk nasional,’’ papar Putu.
Putu juga menyampaikan, FPD mendorong tentang konsep dari four track strategy yang selalu disampaikan Ketua FPD, Dr. Edhie Baskoro Yudhoyono, yakni pro-growth, pro-job, pro-poor dan pro-environment.
‘’Ini yang selalu kami dorong dalam setiap bentuk kerjasama ekonomi yang dilakukan Indonesia dengan negara lain,’’ kata Putu.
(YAH)