Oleh: Ardy Mbalembout SH MH Cla*)
Undang-Undang No. 19 Tahun 2019, Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi telah memberi wewenang kepada KPK untuk menghentikan penyidikan dan penuntutan terhadap perkara Tindak Pidana Korupsi yang penyidikan dan penuntutannya tidak selesai dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun.
Ketentuan batas waktu penyidikan paling lama 2 (dua) tahun bukanlah syarat satu-satunya yang dapat dijadikan alasan SP3 oleh Penyidik atau Penuntut Umum KPK, melainkan sebagai syarat tambahan disampaing syarat-syarat SP3 sebagaimana sudah diatur di dalam pasal 109 ayat (2) KUHAP, yaitu karena tidak cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau penyidikan dihentikan demi hukum ( tersangka meninggal, perkara nebis in idem, kedaluwarsa, perkaranya dicabut karena delik aduan).
Pertanyaannya, bagaimana kalau seandainya syarat pasal 109 ayat (2) untuk meng-SP3-kan sebuah penyidikan memurut KUHAP tidak terpenuhi, akan tetapi perkara Tindak Pidana Korupsi yang sedang ditangani KPK berlarut-larut hingga memakan waktu lebih dari 2 (dua) tahun apakah Penyidik KPK dapat mengeluarkan SP3 hanya karena sudah 2 (dua) tahun penyidikan namun belum dilimpahkan ke penuntutan? Disinilah akan muncul tafsir-tafsir tentang syarat SP3 dalam waktu 2 (dua) tahun dan berbagai persoalan hukum yang rumit lainnya untuk diperdebatkan yang dapat berujung kepada praperadilan.
Hal apa saja yang harus dilakukan KPK agar ke depan KPK tidak terlalu mudah mengeluarkan SP3?. Jawabannya adalah, pertama Penyidik KPK harus bekerja keras atau maksimal pada tahap penyelidikan hingga sebuah perkara Tindak Pidana Korupsi benar-benar matang dan memenuhi syarat formil dan meteril penuntutan, mengingat pada tahap penyelidikan tidak mengenal batas waktu paling lama 2 (dua) tahun seperti penyidikan. Kedua, Penyidik harus benar-benar diisi orang-orang pilihan yang profesional (bukan penyidik-penyidik titipan si A atau si B sebagaimana rumor yang beredar), sehingga ketika sebuah penyelidikan perkara hendak ditingkatkan ke penyidikan, maka Penyidik hanya mempertajam hasil penyelidikan untuk segera dilimpahkan ke Penuntutan.
Apakah mungkin SP3 tak akan diobral?
Penyidik KPK berpeluang mengobral SP3, karena SP3 ini sangat bergantung kepada pertimbangan subyektif Penyidik atau Penuntut Umum. Karena itu sinergi dalam arti positif antara Penyidik/Penuntut Umum dengan Dewan Pengawas harus tetap terjaga agar berada dalam satu nafas dan satu semangat yaitu memberantas korupsi secara cepat, karena terkait SP3 terdapat kewajiban KPK untuk melaporkan SP3 paling lambat 1 (satu) minggu setelah SP3 dikeluarkan KPK, disamping diumumkan kepada publik guna kepentingan kontrol publik melalui praperadilan.
Kewenangan KPK mengeluarkan SP3 tidak boleh disalahgunakan oleh FIRLI dkk., terutama oleh karena penggunaan wewenang mengeluarkan SP3 tidak berada dibawah domain ijin dari Dewan Pengawas. Inilah berpotensi terjadi penyalahgunaan wewenang SP3 untuk tujuan politis melalui jalan kriminalisasi guna menjegal lawan politik atau motif ekonomi dengan pertimbangan toh setelah dua tahun akan di SP3 kan.
Syarat SP3, tetap sesuai dengan KUHAP yaitu tidak cukup bukti, bukan peristiwa pidana dan dihentikan demi hukum. ditambah syarat harus dua tahun penyidikan. Disinilah potensi penyalahgunaan SP3 sangat terbuka, karena implikasi dari status tersangka yang diberikan penyidik KPK adalah jabatan publik seorang tersangka yang berstatus Penyelenggara Negara akan diberhentikan selama dua tahun kecuali di SP3.
Sinergi antara Pimpinan KPK demgan Dewan Pengawas KPK sangat penting, kedua organ KPK yang tidak berada dalam satu struktur pimpinan KPK ini bisa saling mengganggu jika karena sebuah kondisi tertentu keduanya bisa tidak sinergi dalam kerja pencegahan dan pemberantasan korupsi, karena faktor perbedaan kepentingan dan terjadi tarik menarik, maka organ Dewan Pengawas akan menjadi faktor pengganggu jalannya tugas KPK atau sebaliknya KPK justru akan berjalan sendiri dan berpandangan bahwa Dewan Pengawas merupakan organ yang menghambat penyidikan sehingga KPK bisa mentersangkakan orang-orang dalam Dewan Pengawas.
Karena itu syarat keduanya harus berada dalam satu nafas dan semangat yang positif yaitu untuk pemberantasan korupsi mutlak diperlukan, terutama unsur Dewan Pengawas harus terdiri dari orang-orang dengan integritas moral dan kejujuran yang tinggi. Jika integritas moral dan kejejurannya setengah-setengah, maka kekhawatiran pelemahan KPK bisa terwujud dan itulah yang ditunggu oleh koruptor dan kelompok yang anti terhadap revisi UU KPK.
Kita lihat saja bagaimana kinerja 5 (lima) orang anggota Dewan Pengawas pilihan Presiden Jokowi nanti, apakah mereka ini sosok ayam sayur atau orang-orang hebat, mari kita lihat dalam 100 hari kerja mereka sejak tgl. 20 Desember 2019 Presiden melantik Dewan Pengawas bersama Pimpinan KPK.(rilis/wan)
*)Sekretaris Divisi Advokasi & Bantuan Hukum DPP Partai Demokrat / Wakil Ketua Umum DPP Ikatan Penasihat Hukum Indonesia (IPHI) / Dan Ketua Umum DPD Konggres Advokat Indonesia (KAI) DKI Jakarta)