Oleh: Agus Harimurti Yudhoyono, Ketua Umum Partai Demokrat
Sejak dulu saya suka potongan rambut pendek. Lebih praktis dan mudah ditata. Meski banyak yang bisa memotong rambut pendek seperti ini, salah satu favorit saya adalah pemangkas rambut asli Garut (asgar) yang kebetulan bernama sama: Pak Agus.
Pekan lalu, dengan tetap menjalankan protokol Covid-19, Pak Agus memangkas rambut saya di bawah pohon rindang. Sambil bekerja, Pak Agus bercerita tentang nasib ribuan pemangkas rambut lainnya saat pandemi Covid-19. Seiring kebijakan pyhsical distancing yang kemudian diiringi pembatasan sosial berskala besar (PSBB) di Jabodetabek, juga wilayah lain, jumlah orang yang datang ke tempat pangkas rambut menyusut drastis. Ada memang beberapa pemangkas rambut yang berinovasi mengenakan baju serupa alat pelindung diri (APD), tapi tak cukup meyakinkan para pelanggan untuk datang.
Masih banyak pekerja informal yang juga terdampak, seperti pedagang kaki lima, pengemudi taksi dan ojek, kuli bangunan, dan lainnya, yang sifat pekerjaannya memang menuntut interaksi yang dekat dengan orang lain. Pekerjaan mereka tidak bisa serta-merta diubah menjadi online. Dengan pendidikan yang terbatas, mereka tidak mudah beralih pada keterampilan lain.
Perekonomian Terpuruk
Secara nasional, Kemenaker mencatat (20/4) ada hampir 540 ribu pekerja informal dari lebih 31 ribu UMKM yang dirumahkan atau di-PHK. Itu bagian dari hampir 2,1 juta pekerja formal dan informal yang tidak bisa lagi bekerja. 1,3 juta pekerja formal dirumahkan, dan lebih dari 240 ribu lainnya di-PHK.
Pada krisis kali ini, UMKM menjadi salah satu sektor yang terdampak paling berat, akibat ketiadaan aktivitas. Meskipun ada beberapa subsektor UMKM yang bertahan lewat penjualan online, yang sudah mereka rintis sebelum pandemi. Misalnya kuliner, produk pertanian, dan produk medis (obat dan perlengkapan kesehatan). Berbeda dengan krisis ekonomi 1997-1998, saat UMKM menjadi jaring penyelamat bagi banyak pekerja yang kehilangan pekerjaan ketika itu.
Pada usaha formal, sektor pariwisata paling terpukul. Sekitar 1.200 hotel berbintang terpaksa harus berhenti beroperasi karena ketiadaan tamu. Demikian pula dengan destinasi-destinasi wisata. Praktis semua bioskop, restoran, dan toko ritel tutup. Mal mengurangi jam operasi dan hanya terbuka untuk toko swalayan serta apotek. Semua event seni budaya dan olahraga juga dibatalkan atau diundur, termasuk PON 2020 di Jayapura yang mundur ke tahun depan. Industri kreatif, yang selama ini jadi tumpuan harapan, turut terimbas. Bisnis film, video dan audio paling terdampak, diikuti seni pertunjukan serta seni vokal dan musik.
Pada industri transportasi, semua maskapai penerbangan mengurangi atau bahkan berhenti beroperasi. Apalagi setelah pemerintah akhirnya mengeluarkan larangan untuk mudik pada Ramadhan ini. Konsekuensinya, semua penerbangan domestik maupun luar negeri, terutama dari dan ke zona-zona merah, ditutup. Itu juga berlaku bagi kapal penumpang komersial, kereta api jarak jauh serta bus-bus antarkota dan antarprovinsi.
Selain transportasi, industri-industri lainnya seperti otomotif, elektronik, atau bahkan fashion turut terdampak. Industri migas pun tidak luput dari guncangan Covid-19. Minyak dunia sempat terjun ke level harga negatif akibat kelebihan pasokan. Dalam situasi seperti ini, Kementerian Keuangan memprediksi, dalam skenario terburuk, perekonomian Indonesia bisa tumbuh negatif pada kuartal kedua tahun ini.
Pengangguran
Itu semua berdampak pada meningkatnya angka pengangguran dengan banyaknya tenaga kerja yang di-PHK. Jika di masa lalu, mereka masih bisa berwiraswasta kecil-kecilan dari rumah, pada masa kini, lemahnya permintaan membuat peralihan tidak semudah itu lagi untuk dilakukan.
Generasi Z (lahir 1995-2015) paling menjadi korban. Mereka yang baru mulai bekerja, kemudian harus diberhentikan. Sementara mereka yang baru lulus sekolah atau kuliah tidak terserap dalam lapangan kerja. Generasi Y atau ‘Milenial’ (lahir 1980-1994) turut terpukul karena porsi pengeluaran rumah tangga seperti pendidikan anak, cicilan rumah dan angsuran kendaraan sudah menyita sebagian besar penghasilan.
Ketidakpastian tentang kapan wabah akan berakhir membuat sulit memperkirakan kapan kelompok usia produktif itu bisa kembali bekerja dan berusaha. Padahal survei pada akhir 2019, menunjukkan sekitar 63 persen pekerja Indonesia tidak punya tabungan. Jika keadaan seperti ini berkepanjangan, cepat atau lambat, mereka akan berhadapan dengan pilihan dilematis: berdiam di rumah tapi kelaparan atau keluar rumah dengan risiko terpapar Covid-19.
Pemerintah memang menyediakan bantuan sosial, tapi itu hanya bagi kelompok miskin dan sangat miskin. itu pun datanya masih problematis. Banyak pekerja formal dan informal yang dirumahkan atau di-PHK yang tidak masuk dalam daftar tersebut. Pemerintah juga merelaksasi pembayaran kredit bagi pengusaha UMKM. Tapi, dalam praktiknya, banyak masalah teknis yang membuat realisasinya tidak semudah yang dijanjikan.
Ini tambah rumit karena pemerintah melepas lebih dari 30 ribu terpidana kriminal. Alasannya, lapas kelebihan penghuni dan tidak bisa menerapkan physical distancing. Dalam keadaan normal saja, narapidana yang dibebaskan sulit memperoleh kerja karena stigma yang melekat. Pada masa krisis ini, mereka dilepas tanpa bantuan ekonomi. Polisi sudah mencatat kenaikan kejahatan lebih dari 10 persen dalam sebulan terakhir, terutama di kota-kota besar. Dalam situasi lapar dan ketidakpastian seperti ini, ketegangan sosial mudah sekali terpicu.
Di sinilah negara harus hadir. Tidak hanya untuk menanggulangi wabah penyakit Covid-19 dan menjamin rasa aman masyarakat, tapi juga untuk mengatasi ekonomi yang melambat dan pengangguran yang meningkat.
Rencana alokasi dana penanggulangan sebesar Rp 405,1 trilliun harus segera direalisasikan dengan tetap memperhatikan asas-asas transparansi dan akuntabilitas. Pemerintah harus segera mengajukan RAPBN Perubahan agar DPR RI bisa mengawasi penggunaan dana tersebut. Selain kewajiban konstitusional, transparansi dan akuntabilitas keuangan ini juga penting.
Solidaritas Bangsa
Sebagai bangsa, apa yang bisa kita lakukan? Inilah momen yang sangat tepat untuk kembali pada nilai dasar bangsa kita: bergotong royong, menggalang solidaritas sosial seluruh elemen masyarakat. Ini termasuk partai-partai politik, yang memiliki struktur sampai ke kabupaten/ kota, kecamatan bahkan kelurahan. Dalam kapasitas sebagai ketua umum partai, saya juga berupaya menggerakkan struktur dan sumber daya yang kami miliki untuk turun tangan membantu pemerintah dan masyarakat luas, dalam gerakan nasional lawan Covid-19 serta gerakan nasional peduli dan berbagi.
Sudah saatnya kita sebagai sesama elemen bangsa menyatukan kekuatan-kekuatan yang kita miliki. Ini tragedi kemanusiaan bagi kita semua. Jangan saling menyalahkan, justru saling melengkapi dan menguatkan. Mari kita bantu saudara-saudara kita yang paling rentan terdampak krisis ini. Mari kita lanjutkan perang total melawan pandemi. Solidaritas bangsa adalah kunci kemenangan kita.
catatan: artikel ini telah diterbitkan di Harian Jawa Pos, Sabtu, 2 Mei 2020