Kekerasan pada Etnik Rohingya telah memicu banjir pengungsi yang menyeberang dengan kapal kayu ke Bangladesh dan negara lainnya. (AP: Bernat Armangue)

Oleh: Umi Farida*)

Saya mendengar kabar pembantaian etnik Rohingya memanas kembali. Ribuan orang tewas. Tragedi kemanusiaan ini mengingatkan saya pada pengalaman bertemu, mengenal, dan mendengar cerita teman-teman saya yang berasal dari beberapa negara bagian di Myanmar

Teman pertama yang ingin saya ceritakan bernama Nang. Nang adalah perempuan hebat pertama yang saya kenal dari Myanmar. Saya katakan hebat karena dia memiliki integritas dan dedikasi tinggi terhadap isu kemanusiaan.

Nang adalah seorang perempuan tidak lulus SD, beragama Buddha. Dia tinggal di atas gunung, di tengah hutan, di lokasi kamp pemberontakan. Saya tidak menyangka kalau sosok perempuan yang selalu mengenakan kain adat dari Negara Bagian Chan itu bisa mengangkat senjata untuk melawan tentara Burma. Bisa dan ahli strategi berperang. Hidup Nang dihabiskan keluar masuk hutan untuk menyelamatkan etnik di negara bagiannya dari serangan tentara Burma

Tahun 2008, Nang menceritakan, tentara Burma itu keji, membantai masyarakat dari Negara Bagian Chan. Jumlah korbannya pun tidak sedikit….ribuan orang. Tentara Burma, membunuh, memperkosa orang-orang yang berasal dari etnik selain Burma, juga mengawini perempuan-perempuan dari etnik lain untuk tujuan politik, yaitu penghancuran originalitas etnik lain. Intinya yang boleh hidup dan menguasai Myanmar hanya etnik Burma

Teman saya itu menuturkan, Negara Bagian Chan ingin merdeka, berdaulat atas haknya sendiri, melepaskan diri dari cengkraman kekuasaan etnik Burma yang kejam dan gemar melakukan genosida terhadap etnik lain selain Burma.

Saat saya mendengar adanya wacana reformasi di Myanmar, akan dilakukannya pemilu langsung, mendorong demokrasi lebih maju, saya bertanya kepadanya, apakah negara bagiannya akan setuju dan ikut dalam proses politik itu?

Saat itu Nang menjawab, “Saya tidak percaya dengan orang-orang Burma. Saya tidak percaya dengan Aung San Suu Kyi. Bapaknya Aung San Suu Kyi (Jenderal Aung San; dibunuh lawan politiknya pada 1947) yang menyebabkan ketidakadilan di Myanmar. Bapaknyalah yang membuat etnik Burma mendominasi kekuasaan di Myanmar, dan kemudian melakukan pembantaian pada etnik-etnik lainnya di Myanmar.

Teman saya yang kedua adalah Peter. Dia dari Negara Bagian Kareen. Selama 3,5 bulan saya tinggal bersama dalam program School of Peace di India.

Peter seorang laki laki Katolik, cerdas, dan baik. Konflik dan pertikaian telah membangun karakter sabar dan tenang dalam sosoknya.

Suatu hari, Peter memberiku komentar “yang menciptakan definisi enak pada makanan itu bukan lidah, tapi pikiran kita”.

Kalimat itu ia ucapkan karena melihatku berhari-hari dan hingga 3 bulan tinggal di India, tidak bisa makan makanan india, sehingga sehari hari saya hanya makan nasi dan telur ceplok serta mie rebus.

Eh… bukan “cerita mellow” ini yang saya ingin ceritakan, tapi sosok Peter yang setiap pagi sebelum masuk kelas selalu membuka internet untuk mendengarkan Radio BBC dan membuka portal berita Myanmar dan Thailand. Dia selalu tidak ingin ketinggalan kejadian yang ada di negara bagiannya, makanya ia selalu mengupdate situasi genting yang terjadi melalui saluran berita apa pun.

Di sela-sela waktu longgar, Peter memutarkan beberapa film dokumenter yang dia unduh dari YouTube. Film itu bercerita tentang kekejaman tentara Burma membunuh warga beretnik selain Burma, yang tersebar di beberapa negara bagian.

Kata Peter, jumlahnya tidak sedikit, ratusan ribu orang. Mereka ditembak, disiksa. Mayatnya dibiarkan membusuk, hasil pertaniannya dirampas, perempuan diperkosa, anak kecil kehilangan orang tua.

Peter mengatakan Negara Bagian Kareen juga ingin merdeka, namun ia memilih jalur lain, yaitu melalui diplomasi dan bantuan negara-negara lain. Makanya Peter selalu pulang balik Thailand-Myanmar. Selain itu Peter juga mengajar bahasa Inggris pada anak-anak muda di negara bagiannya secara cuma-cuma. Hal itu dia lakukan, karena keyakinan bahwa ilmu adalah senjata ampuh untuk memerdekakan diri. Dia berharap, kalau anak-anak di negara bagiannya bahasa Inggrisnya bagus, maka mereka punya kesempatan utk mendapatkan beasiswa belajar di luar negeri. Dengan demikian tujuan untuk merdeka didukung kelompok kelompok intelektual dan juga jaringan internasional yang luas.

Dari Peter saya juga baru mengetahui, kalau pemerintah Burma saat itu sangat ketat memeriksa setiap warga negara yang habis bepergian dari luar negeri. Computer dan flasdisk dicek, buku-buku yang dibawa diperiksa. Intinya setiap orang dilarang membawa dokumen tentang demokrasi dan HAM.

Teman saya ketiga yang saya kenal tahun 2008 adalah Misai. Saya lupa dia berasal dari negara bagian mana. Yang saya ingat dia, beragama Advent. Dia tinggal di India untuk kuliah.

Misai berbeda dengan dua teman saya sebelumnya. Hidup misai lebih aman. Kalau tidak salah bapaknya adalah PNS. Meskipun hidupnya lebih aman, tapi Misai menuturkan, tentara Burma memang sangat keji. Pembantaian terhadap etnik selain Burma nyata-nyata terjadi. Marginalisasi dan diskriminasi ada di mana mana.

Teman saya keempat, saya kenal di Filipina tahun 2011. Kalau tidak salah, dia berasal dari Negara Bagian Korean. Namanya Saw Mort. Dia beragama Buddha. Saw Mort dulunya adalah kombatan. Dia mengangkat senjata dengan cita-cita Negara Bagian Korean bisa merdeka. Namun dalam perjalanan perjuangannya, akhir dari refleksi dan perenungannya, senjata membuat masyarakat sipil yang tidak berdosa ikut terluka, ikut menjadi korban. Dia mengatakan “perdamaian tidak akan terwujud jika jalan yang ditempuh untuk mewujudkannya adalah kekerasan”.

Saw Mort mengubah jalur perdamaiannya dengan jalur transformasi sosial. Dia memberdayakan masyarakat dan berusaha menyadarkan hak-haknya. Dia banyak mengkoordinir dan memfasilitasi masyarakat dari negara bagiannya untuk mengungsi di perbatasan Thailand.

Mengenal Saw Mort membuat saya tahu, perjuangan masyarakat dari Korean State untuk bisa hidup dengan tidur lebih nyenyak tidaklah mudah. Mereka harus berjalan kaki menyusuri hutan, sungai, membawa barang barang seadanya, membawa anak anak kecil, didera kelaparan di jalan untuk sampai di perbatasan Thailand. Tidak sedikit dari rombongan itu dipergoki tentara Burma, sehingga diantara mereka dibantai sebelum sampai di pengungsian. Saw Mort mengungkapkan jumlah korban tidak sedikit. Puluhan ribu orang mati akibat kebengisan tentara Burma.

Teman saya kelima, saya lupa namanya. Dia berasal dari etnik Rohingya. Seorang laki-laki pemberani yang tidak takut mati. Saya mengenalnya tahun 2015 di Jakarta. Melalui dirinya, saya mendapatkan cerita yang sama dengan teman-teman saya lainnya.

Pemerintah Burma membantai etnik Rohingya dengan sangat ganas. Mereka tidak diakui sebagai warga negara Myanmar, tidak memiliki hak berpolitik. Di antara mereka kelaparan, sehingga banyak dari etnik Rohingya mengungsi di Bangladesh, Malaysia dan indonesia. Hal ini mereka lakukan karena mereka ingin hidup. Para pengungsi ini rela menaiki perahu sederhana, menjelajah samudera, dengan bekal yang minim sekali, sehingga banyak diantara mereka mati kelaparan di jalan. Prinsip mereka adalah mati untuk berusaha hidup atau mati sia-sia dibunuh tentara Burma.

Bedanya, pembunuhan etnik Rohingnya ini dari isu politik ditarik oleh pemerintah menjadi sentimen agama, sehingga seolah-olah konflik islam dan Buddha. Padahal yang sebenarnya adalah tentara Burma mengambil keuntungan dari adu domba tersebut.

Ada beberapa teman dari Myanmar lain yang saya kenal ditahun-tahun berikutnya. Namun rasanya cerita dari lima teman tersebut sudah cukup mewakili penggambaran kekejaman tentara Burma, dan gambaran genosida di Myanmar.

Hampir semua teman yang saya kenal ingin merdeka.

Mereka tidak percaya dengan Aung San Suu Kyi.

Mereka tidak percaya dengan niat pemerintah membangun demokrasi karena sistem demokrasi dibangun hanya untuk menguntungkan etnik Burma.

Demikian sekelumit kisah sisi lain konflik di Myanmar.

Semoga bisa memberi gambaran bahwa konflik Rohingya di Myanmar bukanlah konflik agama. Konflik yang sama yang mengakibatkan, pembunuhan, pembantaian, pemarginalisasian… terhadap etnik selain Burma, terjadi di semua negara bagian. Terjadi pada semua agama: Islam, Buddha, Katolik dan lain-lain.

Konflik itu murni dipicu hasrat kekuasaan.

Jakarta, 4 September 2017

*)Pengurus Departemen Pemberantasan Terorisme DPP Partai Demokrat