
Mohammad Hailuki (Ist/Facebook)
Oleh: Mohammad Hailuki*)
Tak berlebihan kiranya apabila tahun 2018 ini dikatakan sebagai tahunnya dunia persilatan, baik persilatan seni beladiri maupun persilatan politik nasional. Mengapa demikian?
Beberapa hari lalu kita semua menyaksikan sebuah momen indah nan megah dari arena laga pencak silat di ajang Asian Games 2018. Bukan hanya karena atlet Indonesia Hanifan Yudani Kusumah berhasil meraih medali emas semata tetapi karena sang atlet berhasil mengajak Presiden Jokowi dan Ketua IPSI Prabowo Subianto untuk berpelukan dalam balutan sang dwi warna.
Kita semua tahu bahwa Jokowi dan Prabowo merupakan kompetitor yang akan bersaing dalam perhelatan pemilihan presiden (Pilres) 2019 dimana tahapannya sudah dimulai sejak tahun ini. Maka menjadi sebuah keindahan tatkala kedua tokoh nasional itu berpelukan di podium kehormatan di tengah makin meningginya tensi politik saat ini.
Polarisasi politik jelang pilpres tak bisa dipungkiri lagi, pembelahan kekuatan rakyat pun realita yang tak bisa dihindari. Sentimen pilihan politik pilpres merembas ke berbagai dimensi hidup, garis batas antara kepentingan politik dan pergaulan sosial menjadi kabur bahkan buram.
Sehingga antar dua kubu yang berhadapan tak lagi memandang Pilpres sebagai sebuah kompetisi demokrasi melainkan tak ubah seolah ladang perang yang bermandikan darah dan nanah. Mengerikan.
Laksana basah air yang membasuh kering, aksi berpelukan Jokowi dan Prabowo dalam balutan Merah Putih atas inisiasi sang atlet pencak silat peraih medali emas membawa sebuah pesan sarat nilai. Yaitu, persatuan di atas segalanya, dengan bersatu bangsa kian digdaya.
Tak bisa dibantah, cabang olahraga pencak silat memberi kontribusi penting bagi pencapaian Indonesia di ajang Asian Games 2018. Hampir separoh dari total 30 medali emas yang diraih Indonesia merupakan persembahan dari pencak silat.
Artinya, tanpa kontribusi pencak silat yang sejak 2004 digawangi oleh Prabowo Subianto mungkin Indonesia tidak akan bertengger di posisi empat atau lima besar dalam pesta olahraga terakbar se benua Asia. Ini merupakan prestasi terbaik sepanjang sejarah olahraga kita yang harus disyukuri sepenuh hati.
Dalam pada itu, pada pentas lainnya seni beladiri pencak silat kian mendapatkan tempat di dunia seni peran dan hiburan mancanegara. Aktor muda kebanggaan Indonesia nan bersahaja, Iko Uwais berhasil membawa pencak silat berlaga di arena industri film dunia.
Hollywood berhasil dibuat terpukau oleh rangkaian gerak jurus pencak silat yang unik dan sarat dengan nilai filosofis. Donald Draeger dalam buku Pentjak-Silat: The Indonesian Fighting Art (1972) mengatakan bahwa silat memiliki koneksi dengan spiritualitas manusia, setiap gerakannya mengandung falsafah luhur kehidupan.
Iko menunjukkan bahwa koreografi silat tak kalah dengan Karate (Jepang), Taekwondo (Korea), Kungfu (Tiongkok), dan Muay Thai (Thailand). Silat ditampilkan sebagai seni pertahanan yang efektif melumpuhkan lawan namun tetap indah menawan. Bahkan keindahan itu tak hilang meski dipadankan dalam adegan brutal berdarah.
Tak pelak Hollywood kini menyambut Iko dan pencak silat dengan karpet merah kehormatan. Karier Iko di Hollywood bermula hanya sebatas pemeran pendukung dalam film Man of Tai Chi (2013) garapan Keanu Reeves, kemudian Iko tampil sebagai pemeran pembantu film legendaris Star Wars: The Force Awakens (2015).
Selanjutnya Iko bermain sebagai pendukung utama dalam Beyond Skyline (2017), pada film tersebut Iko beradu akting dengan Frank Grillo, aktor laga dalam film Captain America besutan Marvel Studio. Teranyar tahun ini Iko berlaga sebagai salah satu pemain utama bersama aktor tenar Mark Walberg dengan judul Mile 22.
Berkat pencak silat, kini Iko berdiri sejajar dengan aktor-aktor laga Hollywood dari benua Asia lainnya seperti Bruce Lee, Jacky Chan, Jet Lee, Tony Jaa, Tiger Chen. Dan sudah barang tentu dengan silat Iko nama Indonesia mengharum di pentas dunia. Bukan tidak mungkin ke depan Iko akan jadi ikon beladiri tak hanya Indonesia melainkan juga dunia.
Sungguh membanggakan sekaligus mengharukan, pencak silat sebagai seni beladiri khas Nusantara mempersembahkan panggung megah bagi Indonesia. Mungkin sebagian dari kita selama ini seolah abai terhadap silat, bahkan mungkin kita lupa pula tak memandang silat sebagai potensi bangsa.
Kini mata kita terbuka, pencak silat lah yang berhasil menjadi air pembasuh kering negeri ini. Silat tak hanya ilmu beladiri tetapi merupakan juga karakter nasional yang harus ditanamkan dan dijiwai. Silat telah sukses mempersatukan simbol kekuatan nasional kita dan silat sukses membuat dimanapun setiap kita berada dengan bangga mengatakan, aku Indonesia.
*)Penulis adalah kader muda Partai Demokrat
Mahasiswa S3 Universitas Padjajaran Bandung