Kota Yerusalem.(Thinkstock/Repro Kompas)

Oleh: Indra Denni*)

Belum reda konflik di Semenanjung Korea, perseteruan antara Donald Trump versus Kim Jong-un. Kini Amerika Serikat di bawah rezim Trump, notabene-nya dari Partai Republik, kembali melempar “bola panas” dengan mengeluarkan statement bahwa Yerusalem adalah ibukota Israel. Dan kedutaan Amerika Serikat akan dipindahkan ke kota Yerusalem.

Beragam reaksi dunia internasional bermunculan, bahkan sekutu terdekat Washington seperti Inggris dan Perancis pun bereaksi terhadap kebijakan Trump tentang status Yerusalem.

Pernyataan Perdana Menteri Inggris Theresa May, “Kami tidak setuju dengan keputusan AS untuk memindahkan Kedubes ke Yerusalem dan mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel sebelum kesepakatan terkait status akhir,” tutur May.

Presiden Perancis menempuh jejak yang sama seperti Inggris, “Keputusan ini patut disayangkan dan Prancis tidak setuju. (Pengakuan Trump atas Yerusalem sebagai ibu kota Israel) bertentangan dengan semua resolusi Dewan Keamanan PBB,” ujar Macron.

Gayung pun bersambut, hal yang sama reaksi dari Iran, Mesir, Arab Saudi, Turki dan negara-negara mayoritas Islam lainnya termasuk Indonesia ikut mengecam keputusan Gedung Putih di bawah rezim Donald Trump, tentang mengakuinya kota Yerusalem menjadi ibukota Israel. Ini adalah bentuk “provokasi” rezim Trump untuk memicu konflik di kawasan Timur Tengah khusus-nya.

Sikap keprihatinan Paus Fransiskus, “Saya tidak bisa menyembunyikan kekhawatiran besar saya terhadap situasi yang terjadi dalam beberapa hari terakhir ini. Namun, saya meminta secara tulus kepada semua pihak agar tetap berkomitmen untuk menghormati ‘status quo’ kota itu dan sejalan dengan resolusi PBB yang berlaku,” tutur Paus Fransiskus.

Sikap Israel justru berbeda, “Terima kasih Presiden Trump atas keputusan bersejarah hari ini untuk mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel. Umat dan negara Yahudi akan selalu mensyukurinya. Langkah ini mencerminkan komitmen Presiden Trump atas sebuah kebenaran kuno namun abadi, untuk memenuhi janjinya dan untuk memajukan perdamaian. Tidak ada perdamaian yang tidak memasukkan Yerusalem sebagai ibu kota Israel,” tegas Netanyahu.

Sebagaimana masyarakat internasional mengetahui, keputusan Trump ini bertentangan dengan kebijakan luar negeri AS selama tujuh dekade terakhir terkait status Yerusalem.

Ini juga bertentangan dengan sejumlah resolusi Dewan Keamanan PBB, yang didukung 15 anggota.

Jejak Sejarah Resolusi DK PBB

Resolusi DK PBB menyangkut status Yerusalem, yang dibuat selama 50 tahun terakhir, dan didukung AS:

  1. Resolusi 242 (22 Nopember 1967)

Israel diperintahkan untuk menarik pasukannya dari wilayah pendudukan yang dikuasai pada perang 1967. Ini termasuk bagian timur dari Kota Yerusalem.

  1. Resolusi 252 (21 Mei 1968)

Israel diminta untuk menghentikan tindakan-tindakan yang terindikasi akan mengubah status Yerusalem. Ini termasuk tindakan mengambil alih lahan dan properti milik Palestina.

  1. Resolusi 465 (1 Maret 1980)

Israel diperingatkan agar menghentikan pembangunan pemukiman dan membongkar semua pemukiman di daerah pendudukan, yang dikuasai pada perang 1967, termasuk Yerusalem. Resolusi PBB menilai tindakan itu sebagai pelanggaran terang-terangan terhadap Konvensi Jenewa mengenai perlindungan warga sipil selama masa perang.

  1. Resolusi 478 (20 Agustus 1980)

Israel dilarang membuat undang-undang yang menyatakan perubahan status Yerusalem. Perubahan status itu dianggap sebagai pelanggaran hukum internasional. Semua negara yang membuat perwakilan diplomatik di Yerusalem diminta agar menutupnya.

  1. Resolusi 672 (12 Oktober 1990)

Israel disebut sebagai kekuatan pendudukan selama masa Intifada pertama (perlawanan Palestina) di Yerusalem. Israel dikecam karena tewasnya 20 warga Palestina dalam tindak kekerasan di tempat suci di kota ini pada 8 Oktober.

  1. Resolusi 1073 (28 September 1996)

Israel diperingatkan soal pembuatan terowongan untuk ekskavasi arkeologi di bawah masjid Al-Aqsa, yang sebagian tembok di sana disebut sebagai tembok ratapan bagi warga Yahudi. Palestina menilai tindakan Israel ini sebagai pelecehan.

  1. Resolusi 1322 (7 Oktober 2000)

Israel dikecam karena dianggap memicu terjadinya tindak kekerasan dengan kunjungan Ariel Sharon ke masjid Al-Aqsa. Tindakan Sharon ini, yang saat itu sebagai pemimpin oposisi Israel, dianggap sebagai bentuk provokasi yang menyebabkan tewasnya 80 warga Palestina.

  1. Resolusi 1397 (12 Maret 2002)

Kedua pihak, Israel dan Palestina, diminta menghentikan tindak kekerasan dan memulai proses perdamaian untuk mendirikan dua negara yang berdampingan dalam batas yang diakui. Kedua pihak diminta mendukung komite pencari fakta yang dipimpin mantan senator George J. Mitchell. Resolusi ini meminta pembekuan pemukiman Israel dan kerja sama untuk melindungi tempat suci di Yerusalem.

  1. Resolusi 2334 ( 23 Desember 2016)

Israel dikutuk karena pembangunan pemukiman di wilayah pendudukan termasuk di Kota Yerusalem. Pemukiman itu dinilai tidak memiliki validitas dan pelanggaran jelas terhadap hukum internasional. Pembangunan pemukiman itu juga menjadi hambatan bagi tercapainya solusi dua negara.

Membaca Kebijakan Luar Negeri Amerika Serikat

Ada dua isu sentral yang membuat geopolitik global menjadi gaduh, atas kebijakan luar negeri rezim Donald Trump saat ini.

Pertama isu konflik Semenanjung Korea dan kedua isu status kota Yerusalem di Palestina.

Konflik Semenanjung Korea identik dengan kawasan Asia-Pasifik dan klaim sepihak Paman Sam terhadap Yerusalem menjadi ibukota Israel “senapas” dengan memicu konstelasi konflik di kawasan Timur Tengah.

Bila dikerucutkan akan terlihat secara visual agenda kepentingan Amerika Serikat, dan menjadi skala prioritas “A Very Important” yang antara lain di Asia-Pasifik dan Timur Tengah.

Kekuatan komunis di kawasan Asia-Pasifik harus dilumpuhkan, yang tersisa saat ini hanya Korea Utara sedangkan Tiongkok bukan lagi sebagai ancaman.

Hubungan “mesra” Beijing dan Washington, sinyal bahwa memiliki kesepahaman tentang pasar. Kolaborasi Paman Sam dan Paman Mao, tentang “share saham” untuk menguasai ekonomi dan sumber daya alam di kawasan Asia-Pasifik telah deal.

Korea Utara menjadi “batu sandungan” kepentingan Amerika Serikat dan Tiongkok di kawasan Asia-Pasifik. Fakta-nya bahwa Kim Jong-un tidak “tunduk” kepada Xi Jinping, dunia internasional mengetahui Beijing yang selama ini membesarkan Pyongyang.

Dan sikap mayoritas masyarakat internasional plus Perserikatan Bangsa Bangsa, mendukung kebijakan Amerika Serikat terhadap Korea Utara.

Di sisi lain Washington telah mendapatkan secara utuh peta kekuatan komunis di Asia-Pasifik, hal ini terlihat sebagai parameter tidak ada satu pun negara yang mendukung Pyongyang.

Sedangkan kebijakan Rusia tetap teguh mengikuti “amanah” Lenin, untuk memperkuat dalam negeri dan kepentingan Beruang Merah di kawasan Asia-Pasifik tidak sebesar Amerika Serikat dan Tiongkok. Walau-pun Rusia memiliki “jejak” ikut andil membantu Korut dalam ahli teknologi nuklir.

Sepertinya Amerika Serikat belum “puas” mendapatkan peta kekuatan di Timur Tengah secara utuh, pasca luluh lantak-nya Irak, Libya dan Suriah.

Pada akhirnya Washington perlu melakukan “pompa” konflik di kawasan Timur Tengah, dengan mengeluarkan kebijakan provokatif mengakui Yerusalem sebagai ibukota Israel.

Isu ini hanya sebagai sasaran antara, sedangkan sasaran strategisnya mendapatkan secara utuh peta kekuatan di Timur Tengah.

Sehingga isu sensitif kota Yerusalem terpaksa dijadikan proxy war, semata mengikuti “indroktinasi” seorang Samuel P. Huntington tentang benturan peradaban barat dan Islam.

Benturan peradaban seperti mimpi buruk bagi “polisi dunia” Amerika Serikat, bahwa ternyata kekuatan hegemoni Amerika Serikat khususnya di Timur Tengah masih rapuh.

Menata Asia-Pasifik masih lebih mudah, dibadingkan dengan menata Timur Tengah bagi sang polisi dunia: Amerika Serikat.

*)Fungsionaris Departemen Koordinasi Perekonomian DPP Partai Demokrat