Oleh: Jansen Sitindaon*)
Via DM (direct message), ada yang bertanya kepada saya karena melihat beberapa baliho dan spanduk saya yang berdiri di beberapa ruas jalan dan menyebar di medsos yang bertuliskan “BERE BERE GURUSINGA”.
“Apa Gurusinga itu, Bang Jansen?” tanya teman tersebut.
Ada lagi yang DM, “Bang Jansen salah nyetak baliho ya, kok sampai ada tulisan Gurusinga-nya segala?” tanya teman satunya lagi yang berasal dari luar SUMUT.
Terus ada lagi orang Jakarta yang bertanya “berarti Abang ada hubungan dong dengan pengobatan alternatif patah tulang Gurusinga yang sangat terkenal yang ada di Pondok Kelapa Jakarta Timur itu?”
Dan banyak pertanyaan lainnya.
****
Karena sulit menjawabnya satu per satu, berikut melalui tulisan ini saya jelaskan:
GURUSINGA itu adalah marga. Marga yang ada di suku Karo (jadi bukan Batak Toba ya). Dalam kelompok MERGA SILIMA (ini adalah sebutan untuk lima induk merga yang terdapat di Suku Karo), Gurusinga ini masuk dalam kelompok marga “KARO-KARO”. Gurusinga ini satu kelompok dengan (mungkin marga-marga ini sudah jauh sering teman-teman dengar): Sinulingga, Surbakti, Barus, Ketaren, Sinuraya, Kaban, Sitepu, Sinuhaji, dll.
Khusus untuk Gurusinga ini (karena tulisan ini khusus membahas Gurusinga), di Kabupaten Karo juga ada Desa yang bernama Gurusinga. Sekali lagi saya tekankan, Desa ini spesifik bernama GURUSINGA. Saat ini Desa Gurusinga masuk dalam wilayah Kec. Berastagi, sebuah tempat wisata di Sumatera Utara yang sangat terkenal itu. Kalau nama Berastagi ini rasanya sih semua orang di Indonesia ini sudah tahu ya. Karena ini adalah tempat wisata yang sangat terkenal di Sumut termasuk di Indonesia.
Bahkan bagi yang suka belajar sejarah, di Berastagi inilah dulu Bung Karno pada tahun 1948 pernah dibuang dan diasingkan oleh Belanda sebelum kemudian dipindahkan ke Parapat. Jadi bagi teman-teman yang kebetulan liburan ke Berastagi, jangan lupa singgah dan foto-foto di rumah pengasingan Bung Karno (walau memang tempat ini tidak dibuka untuk umum).
Melalui tulisan ini, saya meminta kepada Pemkab Karo dan Pemerintah Daerah Propinsi Sumatera Utara untuk membuka rumah pengasingan Bung Karno ini untuk umum, seperti halnya rumah-rumah pengasingan Bung Karno lainnya seperti di Ende, Flores misalnya (saya kebetulan sudah pernah kesana), Bengkulu, dll. Karena ini soal sejarah bangsa. Dan generasi penerus bangsa harus diizinkan terbuka untuk melihatnya.
Dan untuk Pemkab Karo tolong juga rumah pengasingan Bung Karno dipromosikan dalam peta destinasi wisata. Bisa masuk dalam kategori wisata sejarah mungkin. Karena jangankan orang luar Sumut, orang Sumut sendiri banyak yang tidak tahu kalau Bung Karno pernah diasingkan dan menghabiskan hidupnya di Tanah Karo. Bahkan jangan-jangan orang Karo sendiri juga ada yang tidak tahu?? Biar semua tahu, segera buka untuk umum. Apalagi “di abad” medsos ini pasti gampang untuk segera diketahui publik. Karena orang-orang pasti akan foto-foto di tempat bersejarah ini.
****
Kembali ke tulisan ini. Terus apa hubungan saya JANSEN SITINDAON dengan GURUSINGA? Sehingga di baliho, spanduk dan kartu nama saya ada tulisan “BERE BERE GURUSINGA”?
Berikut saya jelaskan.
“BERE BERE GURUSINGA” itu artinya: “saya Jansen Sitindaon adalah anak yang dilahirkan oleh Ibu yang bermarga/beru Gurusinga”. Jadi ibu kandung saya itu marganya Gurusinga. (NB: Kalau di Karo perempuan disebut beru, kalau laki-laki marga).
Jadi sederhanya: Bapak saya SITINDAON (yang marganya melekat saya pakai karena mengikuti garis patrilineal) adalah orang Batak Toba. Ibu saya adalah GURUSINGA, orang Karo. Jadi saya ini paduan antara Batak TOBA dan KARO. Bapak: Batak TOBA (SAMOSIR), Ibu: KARO.
Terus apa hubungan saya dengan pengobatan patah tulang Gurusinga yang terkenal itu? Melalui tulisan ini saya ingin menjelaskan: nama GURUSINGA dicantumkan di situ bukan sebuah “julukan untuk keren-kerenan atau gagah-gagahan” karena beliau mampu mengobati patah tulang. Tapi yang punya pengobatan patah tulang itu memang marganya Gurusinga.
Jadi untuk seluruh laki-laki bermarga Gurusinga di mana pun mereka berada, jika jumpa, saya akan memanggil mereka PAMAN. Kalau dalam panggilan Karo disebut: “MAMA”. Padanannya di Batak Toba sama dengan “TULANG”. Artinya mereka semua saudara laki-laki Ibu saya. Jadi menggunakan penjelasan ini, jika saya jumpa dengan yang punya pengobatan patah tulang Gurusinga, saya akan memanggil beliau “mama” atau paman. Itulah hubungan saya dengan seluruh laki-laki bermarga Gurusinga di seluruh dunia ini.
Bahkan dalam perkawinan adat, ketika saya kawin maka saya harus izin ke “mama” saya ini dan mengundang mereka secara khusus untuk hadir. Jika mereka tidak hadir, maka tidak sah atau kurang “afdol” perkawinannya. Itulah arti penting “mama” cq. Tulang bagi orang Batak.
****
Bersama dengan tulisan ini, saya juga ingin menuliskan sedikit perspektif kepemimpinan (tentu di tengah keterbatasan kemampuan saya) berdasarkan filosofi ajaran Batak Toba dan Karo yang saya pahami.
Figur pemimpin rakyat cq. publik itu menurut saya, selain harus profesional dan bersih, juga yang lebih penting lagi dia harus punya jiwa melayani. Dalam konteks Batak Toba inilah yang saya sebut pemimpin berjiwa “parhobas”. Pemimpin berjiwa “anak boru” atau “anak beru” di Karo. Yang siap kotor-kotoran “di dapur pemerintahan” untuk melayani masyarakat. Untuk melayani rakyat. Untuk melayani kepentingan umum.
Dalam istilah Karo ada ungkapan yang sangat bagus: “mari sidarami pemimpin sibanci erdahin ras engkelengi kerina masyarakat”. Mari kita cari pemimpin yang mampu bekerja dan menyanyangi semua masyarakat.
Jadi niat seseorang untuk mengambil jabatan publik melalui Pemilu itu sepenuhnya menurut saya haruslah didasari niat dan keinginan untuk “marhobas”. Untuk melayani masyarakat. Tiada lain selain itu!
Kalau semua mengambil posisi jadi “Raja”, tak akan ada pesta yang selesai. Suksesnya sebuah pesta karena peran “anak beru” yang rela berlelah-lelahan di sepanjang pesta melayani kebutuhan seluruh tamu. Pemimpin berjiwa “anak beru” pemimpin berjiwa “parhobas” inilah kebutuhan kita hari ini.
Horass..
Mejuah-juah
Njuah-Njuah..
Lias Ate..
#BanggaJadiAnakSumut
#AnakMudaSumutMampuMewarnaiNasional
#BereBereGurusingaMenujuParlemen
Maaf jika ada tulisan saya yang kurang tepat. Namanya proses belajar. Penting saya sudah berani mengungkapkan apa yang saya pikirkan. Masukan dari para senior tentu masih sangat saya butuhkan untuk terus membuat saya tambah matang ke depannya.
*) Ketua Departemen Pemberantasan Korupsi dan Mafia Hukum DPP Partai Demokrat