
Mantan Cagub DKI 2017 Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) memberi ucapan selamat kepada Gubernur DKI (2017-2022) Anies Baswedan. (facebook/agusyudhoyono)
Bertempat di Istana Negara, Anies Baswedan dan Sandiaga Uno dilantik Presiden Joko Widodo (Jokowi) menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta lima tahun mendatang. Pelantikan pasangan ini berdasarkan Keppres No 86 Tahun 2017, dan menandakan periode baru dalam kepemimpinan di Ibukota Negara.
Raut kebahagiaan jelas terpancar dari wajah Anies-Sandi sepanjang hari, mulai dari pelantikan di Istana hingga mendatangi Balai Kota menjelang malam. Jakarta telah memiliki gubernur baru dan janji-janji yang pernah terucap akan segera ditagih, bukan hanya oleh yang pernah memberikan suara tapi untuk masyarakat secara keseluruhan.
Pelantikan Anies-Sandi menyisakan cerita yang bisa menjadi pembelajaran bagi kita tentang demokrasi. Tidak dipungkiri Pilgub DKI Jakarta merupakan Pilkada terpanas yang pernah terjadi di republik ini, adu strategi dan perang opini terjadi cukup lama. Tidak hanya elite, warga Jakarta juga terbelah karena pesta demokrasi tersebut.
Di saat banyak para petinggi negeri dan tokoh hadir untuk menyaksikan dan memberikan selamat kepada Anies-Sandi, Djarot Saiful Hidayat selaku pejabat sebelumnya memilih untuk berlibur ke Labuan Bajo, Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur bersama keluarganya.
Salah satu alasan ketidakhadiran Djarot adalah dia mengaku tidak mendapatkan undangan untuk menghadiri pelantikan. Tapi hal itu terbantahkan dengan pernyataan Pelaksana Harian (Plh) Gubernur DKI Jakarta, Saefullah yang menyebut telah menyampaikan undangan secara langsung kepada politisi PDI Perjuangan tersebut.
Secara logika memang tidak masuk akal jika seorang pejabat lama tidak mendapatkan undangan untuk pelantikan pejabat baru. karena ada agenda serah terima jabatan antara keduanya, dan dapat menunjukkan kepada publik tentang kedewasaan berpolitik kepada masyarakat.
Lalu apa yang menyebabkan Djarot tidak menghadiri agenda besar tersebut?. Apakah dia belum bisa move on terhadap kekalahannya di Pilkada lalu, atau dia disuruh seseorang untuk tidak menghadiri? Karena pada 19 April lalu, Djarot yang saat itu bersama Ahok telah menerima kekalahan mereka dan mengucapkan selamat, kenapa sekarang malah tidak hadir. Kalau Ahok kita bisa maklumi tidak hadir, karena dia sedang menjalani hukuman setelah divonis bersalah dalam kasus penodaan agama.
Dengan absennya Djarot dalam prosesi pelantikan dan serah terima jabatan membuka memori lama kita tentang contoh ketidakdewasaan dalam berpolitik. Kita tentu ingat bagaimana Megawati Soekarnoputri tidak mau menghadiri pelantikan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada tahun 2004 lalu, dan kejadian terulang lagi di Jakarta. Kebetulan Megawati dan Djarot berasal dari partai yang sama yaitu PDI Perjuangan.
Publik langsung membandingkan Djarot dengan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY). Di saat Djarot memilih tidak hadir, AHY malah datang bersama pasangannya di Pilkada lalu yaitu Sylviana Murni. Keduanya datang untuk mengucapkan selamat kepada mantan pesaingnya, AHY dan Djarot sama-sama dikalahkan oleh Anies-Sandi.
Meski muda dari sisi usia dan pengalaman di politik, ternyata AHY membuktikan dirinya lebih matang dalam berdemokrasi dibandingkan Djarot. Sikap itu jelas menunjukkan kalau AHY sudah siap untuk menjadi pemimpin masa depan Indonesia, yaitu sikap kesatria, sportif dan dewasa dalam berdemokrasi.
Djarot sendiri pernah memuji AHY, satu hari pasca-pemungutan suara putaran pertama tepatnya Kamis 16 Februari 2017. Djarot memuji AHY dengan mengatakan, di usia cukup muda, AHY punya kematangan di dalam rangka membangun sistem demokrasi kita melalui pilkada. Ucapan Djarot itu terbukti lagi, tapi sayang mantan Walikota Blitar itu tidak dapat mencontohnya.
Jika belajar kepada para petahana yang tumbang, Djarot musti melihat bagaimana sikap Fauzi Bowo (Foke) saat dikalahkan Jokowi pada 2012 lalu. Meski Pilkada berlangsung cukup panas, Foke yang kalah menerima dengan lapang dada dan menyambut Jokowi di balai kota. Foke malah mengajak Jokowi dan Ahok berkeliling untuk memperlihatkan suasana tempat kerja.
Djarot tidak sepantasnya berbuat seperti itu, karena apa yang dia lakukan berpotensi untuk dicontoh oleh para pendukungnya. Sebagai sosok yang telah matang di dunia politik, Djarot harus dewasa dan menjadi contoh bagi generasi mendatang. Bukan ngambek dengan alasan yang dibuat-buat.
Rakyat Jakarta telah menentukan sikapnya, dan itu kenyataan yang harus diterima. Jika memang masih penasaran, mari kembali ikuti pertarungan lima tahun mendatang. Sekarang saatnya bersatu untuk membangun, bukan saling menghujat dan menjatuhkan.
(Muhammad Thamrin Sinambela; Warga Jakarta/politiktoday/dik)