Oleh: Agus Harimurti Yudhoyono*)
Sejak pertengahan September lalu, kita mendengar riuhnya wacana publik tentang pemutaran ulang film G-30S/PKI karya sutradara Arifin C. Noer. Pada era Orde Baru, film yang diproduksi tahun 1984 ini, wajib diputar di stasiun TV nasional. Pasca-Reformasi, pemerintah tidak lagi mewajibkan TVRI memutar film ini.
Bagi saya, menonton atau tidak menonton, bukan isu yang fundamental. Setiap orang punya hak untuk menonton atau tidak menonton sesuatu, termasuk membaca atau tidak membaca sesuatu. Maka jangan dilarang, tidak perlu juga dipaksakan. Isu yang fundamental di sini justru bagaimana kita semua dapat memetik segala hikmah dari sejarah bangsanya sendiri.
Indonesia memiliki sejarah yang panjang; ada yang indah, ada juga yang kelam. Yang jelas, setiap penggal sejarah mengandung pelajaran berharga bagi generasi hari ini dan berikutnya. Yang baik dilanjutkan, dan segala yang buruk (termasuk peristiwa G-30S/PKI di tahun 1965) jangan sampai terulang.
Sejarah harus selalu dipahami dalam konteks ruang dan waktunya. Kita ingat, isu komunisme saat itu dipengaruhi kondisi global Perang Dingin antara Blok Barat dan Blok Timur. Ketika itu, hampir semua media internasional Barat mengutip pernyataan Presiden AS Lyndon B. Johnson di Vietnam bahwa upaya Indonesia melawan pengaruh rezim komunis pada era itu sebagai salah satu contoh terbaik bagi dunia. Bahkan pada awalnya, dukungan Barat terhadap upaya integrasi Timor Timur pada 1975 ke dalam wilayah NKRI juga ditujukan untuk mempersempit ruang gerak penyebaran komunisme di Asia Pasifik.
Kita tentu menyadari, dalam memahami dan mengapresiasi sejarah, setiap orang akan memiliki perspektif yang berbeda-beda. Itu sah. Tapi, mari kita secara bijak meletakkan segala sesuatunya pada kebenaran dan akal sehat. Jangan habiskan energi bangsa untuk mengorek-ngorek, siapa yang salah dan bertanggung jawab.
Bangsa kita harus memiliki kebesaran hati untuk bisa saling memaafkan, tanpa harus melupakan apa yang pernah terjadi pada masa lalu. Forgive, but do not forget. Setelah itu, move on. Satukan dan gunakan energi kita untuk menghadapi berbagai tantangan dan kompleksitas pada abad ke-21. Kita membutuhkan energi itu untuk mewujudkan Indonesia yang semakin maju dan sejahtera, untuk anak-cucu kita.
Lalu pertanyaannya, mengapa sampai dengan hari ini, setiap tanggal 1 Oktober, negara masih memperingati Hari Kesaktian Pancasila? Apakah peringatan Hari Kesaktian Pancasila masih relevan bagi anak-anak muda?
Menurut saya, peringatan Hari Kesaktian Pancasila selalu relevan bagi generasi manapun, termasuk generasi millennial ataupun generasi Z yang lahir pada atau setelah tahun 1997 saat Reformasi mulai bergulir di Indonesia.
Peringatan Hari Kesaktian Pancasila merupakan simbol untuk terus mengingat bahwa rongrongan terhadap ideologi Pancasila tidak akan pernah berhenti, dalam berbagai cara dan bentuk. Lalu kenapa kita tidak membiarkan saja Pancasila berkompetisi bebas dengan ideologi-ideologi lain di era tanpa batas ini?
Para pendiri bangsa ini, ketika merumuskan Pancasila sebagai jati diri bangsa sudah bergelut dengan berbagai akar ideologi yang kita kenal sampai sekarang. Pergulatan pemikiran mereka, pengalaman kesejarahan bangsa Indonesia yang panjang, pergaulan yang majemuk dengan berbagai suku, ras, dan agama yang ada di negeri ini ataupun dengan bangsa-bangsa lain, akhirnya mewujud pada lima sila. Pancasila adalah sintesis yang lahir dari berbagai ideologi di dunia, yang dirasakan paling tepat bagi bangsa Indonesia yang punya latar belakang sejarah, sosial, budaya, dan posisi geografis yang unik.
Kita lihat sila yang pertama: Ketuhanan Yang Maha Esa. Kita adalah bangsa yang berketuhanan, di mana agama adalah bagian penting dalam kehidupan kita sebagai bangsa. Karena itulah Ketuhanan Yang Maha Esa diletakkan sebagai sila pertama. Jadi, jangan benturkan agama dengan Pancasila, dengan NKRI, atau dengan “Bhinneka Tunggal Ika”.
Sila kedua: Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab. Inilah esensi kemanusiaan yang sesungguhnya (true humanity), yang menghargai diri sendiri, dan pada saat yang sama menghormati keberadaan orang lain dan masyarakat yang lebih luas. Kemanusiaan Pancasila bukanlah kemanusiaan individualis yang meletakkan kebebasan individu di atas segala-galanya; bukan juga menihilkan individu atas nama kepentingan masyarakat atau negara. Kita harus selalu meniti keseimbangan yang tepat antara kepentingan individu dan masyarakat. Memang hal ini bukan pekerjaan mudah, tapi di sinilah fungsi kepemimpinan bangsa.
Sila ketiga: Persatuan Indonesia. Ini merupakan kesepakatan atau konsensus sebagai bangsa untuk bersatu dalam keragaman pandangan, budaya, bahasa, dan latar belakang sejarah. Persatuan bukanlah sesuatu yang otomatis selalu terjadi. Never be taken for granted. Persatuan adalah sesuatu yang harus terus kita rawat dan perjuangkan, terlebih lagi ketika kemajuan teknologi informasi dan komunikasi dewasa ini justru seringkali menjadi wahana propaganda yang berpotensi memecah belah anak bangsa.
Sila keempat: Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan Perwakilan. Demokrasi bukanlah sistem yang sempurna, tapi demokrasi merupakan sistem terbaik, jika dijalankan dengan baik dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Turbulensi global serta upaya tarik-menarik sektarian yang kita saksikan dalam beberapa dasawarsa terakhir makin menguatkan keyakinan, bahwa demokrasi Pancasila yang paling tepat untuk memandu bangsa ini. Dalam praktiknya, kita tidak perlu melihat secara hitam putih, apakah yang baik itu adalah budaya voting atau budaya musyawarah (consensus building). Yang penting, setiap keputusan dan pilihan yang diambil adalah yang terbaik bagi kepentingan masyarakat yang lebih banyak (the greatest good to the greatest number of people).
Sila kelima: Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Ini bukan liberalisme, melainkan juga bukan sosialisme. Kita membiarkan mekanisme pasar bekerja untuk menyediakan barang dan jasa yang dibutuhkan publik dengan harga paling efisien. Di sisi lain, kita juga membolehkan intervensi negara untuk memastikan rakyat yang tidak berkemampuan cukup tetap bisa memperoleh kebutuhan dasar mereka sampai mereka bisa mandiri. Misalnya, pencabutan subsidi yang diiringi dengan pemberian bantuan langsung tunai (BLT) agar kelompok masyarakat yang paling mengalami dampak kenaikan harga tetap bisa memenuhi standar hidup minimum.
Jadi jelas, bahwa ideologi Pancasila selalu relevan bagi bangsa Indonesia, dalam situasi apa pun, kapan pun, dan bagi generasi mana pun. Tentu saja selalu dibutuhkan pemikiran yang reflektif sekaligus juga visioner untuk menafsirkan sila-sila Pancasila sesuai dengan dinamika perkembangan zaman. Pancasila tidak boleh kita biarkan terperangkap dalam romantisme masa lalu. Pancasila bukan hanya untuk mempersatukan bangsa, Pancasila harus mampu memajukan dan menyejahterakan seluruh rakyat Indonesia.
Peringatan Hari Kesaktian Pancasila merupakan simbol untuk terus mengingatkan kita bahwa rongrongan terhadap ideologi Pancasila akan terus ada dari arah mana pun. Dari sejarah kita belajar, setiap kali bangsa Indonesia menghadapi ancaman yang bersifat ideologis, Pancasila selalu tampil sebagai konsensus bersama, yang membuat bangsa ini tetap utuh dan berada di jalan yang benar menuju cita-cita kemakmuran bangsa. Begitulah kita memaknai Kesaktian Pancasila dalam rasionalitas abad ke-21 ini.
Selamat Hari Kesaktian Pancasila.
*)Direktur Eksekutif The Yudhoyono Institute
Telah Dimuat di Harian Republika, Senin 2 Oktober 2017