Jakarta: DPP Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) menyarankan agar elite politik menyudahi politik diksi dan simbolik yang mengancam keutuhan keberagaman dan persatuan di Indonesia. Ketua Umum DPP KNPI Muhammad Rifai Darus atau akrab disapa MRD memberi contoh ketika Pemerintah Daerah (Pemda) DKI Jakarta memutuskan menutup usaha bisnis Alexis yang kemudian mengundang kontroversi. Menurut MRD, sangat tidak tepat bila pimpinan Pemda DKI Jakarta menggunakan istilah “kami ingin uang (pajak) halal, kalau nggak halal nggak berkah.”
MRD (yang juga Wakil Sekjen Partai Demokrat) mengatakan, dari aspek teologi Islam memang tidak ada yang salah dengan kalimat tersebut. Tetapi apakah agama yang tumbuh dan berkembang di Indonesia hanya Islam saja? Bila pernyataan itu dicermati lebih lanjut, bagaimana kita bisa memaknai, memahami atau menempatkan pernyataan itu, dalam aspek legal atau sesuai koridor hukum yang berlaku di Indonesia? Apakah ada hukum positif di Indonesia yang menggunakan istilah halal, atau berkah, utamanya dalam konteks bisnis yang berimplikasi pada pajak yang disetorkan ke negara. Kalaupun ada label yang diberikan dari MUI kepada produk atau kegiatan bisnis tertentu, apakah akan mengurangi kewajiban entitas bisnis itu untuk membayar pajaknya kepada negara? Dan apakah umat agama yang lain merasa terancam atau terganggu dengan kehadiran label halal dari MUI? Kan tidak demikian? Mereka menyadari dan menghargai keberadaan umat muslim di Indonesia. Bukan karena jumlahnya, tetapi karena sikap dan toleransi umat muslim terhadap umat beragama lain di Indonesia serta kesadaran kesejarahan yang sama.
Catatan berikutnya, sistem hukum Indonesia tidak menganut hukum Islam. Meski begitu, Islam di Indonesia ditempatkan sebagai “ruh” kebangsaan, penguat persaudaraan dan pembentuk persatuan sesama anak bangsa.
Alangkah baiknya, bila menggunakan istilah “legal” atau “illegal”, “melanggar hukum” atau “patuh terhadap hukum”. Jadi, jangan mengecilkan atau mendistorsi istilah-istilah simbolik ke-Islaman atau keagamaan yang memberi kesan diametral semisal “halal” atau “haram”, “berkah” atau “tidak berkah”, “ini suci” atau “sana pendosa” dan seterusnya, dengan tidak melihat ekses, ruang maupun konteksnya.
Peran seluruh pihak sejatinya adalah bagaimana merawat kemajemukan ini sebagai asset tak ternilai dan perlu diperkuat. Bukan sebaliknya. Kita punya luka sejarah cukup panjang terhadap perjuangan keberagaman dan persatuan di Indonesia. Mulai dari represi orde baru, sampai meluapnya isu politik (simbol) SARA dalam politik elektoral di Pilgub Jakarta 2017 yang lalu.
Kita juga ketahui bersama, Indonesia ini negara besar, plural dan majemuk. Tidak ada negara serupa Indonesia, dengan beragam latar etnis, suku, agama, bahasa, budaya yang dapat hidup berdampingan dan terikat oleh semangat kebangsaan yang sama. Seyogjanya, kita semua bertanggung jawab terhadap keutuhan keberagaman dan kemajemukan di Indonesia.
Sebagai penutup, DPP KNPI menghimbau kepada seluruh pihak untuk menghentikan dan menyudahi penggunaan politik simbolik (keagamaan) di ruang publik yang berpotensi mengancam keutuhan dan persatuan sesama anak bangsa.
(rilis)