Oleh: Willem Wandik (Anggota DPR-RI Dapil Papua; Wakil Ketua Umum Partai Demokrat; Plt Ketua Partai Demokrat Papua)
Hormat, Pak Ketua, para wakil rakyat serta Keluarga Besar Komisi V DPR-RI.
Tepat 4 tahun telah berlalu (diawali insiden Istaka Karya pada tanggal 2 Desember 2018, pukul 15.30), yang mengawali Deklarasi Pelaksanaan Operasi Militer di Tanah Papua.
Operasi militer tersebut telah banyak menelan korban jiwa (baik pada sisi masyarakat sipil Tanah Papua, maupun personil TNI/Polri).
Penerapan operasi militer pada masa itu sangat dipaksakan. Lebih menunjukkan “show of force Jakarta” terhadap keberadaan posisi “inferior” rakyat sipil di Tanah Papua, dengan keyakinan penuh para pembisik “pendukung operasi militer” bahwa hanya tindakan represif militerisme saja yang bisa mengendalikan situasi keamanan di Tanah Papua.
Namun, seiring waktu berjalan, tepatnya 4 tahun telah berlalu, jumlah kejahatan kemanusiaan terhadap warga sipil yang tidak berdosa terus terjadi, jumlah korban jiwa terus bertambah, situasi keamanan justru tidak terkendali. Pada akhirnya, keberadaan “kekerasan bersenjata” berada pada situasi yang sama sekali tidak bisa dikendalikan oleh siapapun pada saat ini atau “out of control and be worse”.
Sejak awal, tindakan “show of force by militarism” yang dipertontonkan oleh para penyokongnya di pusat kekuasaan di Jakarta, bukanlah solusi yang dibutuhkan Tanah Papua.
Sejak awal, diagnosis masalah telah salah diterapkan, dan berimplikasi terhadap semakin memburuknya situasi di Tanah Papua.
Apa yang dimaknai sebagai “keamanan dan stabilitas” dalam kacamata Pemerintah Pusat, justru realitasnya di Tanah Papua menjadi “ketidakamanan dan chaos” yang berujung pada malapetaka yang terjadi di masyarakat asli Papua.
Pemerintah Pusat harus segera menyadari kesalahan fatal yang dilakukannya di Tanah Papua, dan sesegera mungkin menghentikan segala bentuk pendekatan “militerisme” di Tanah Papua.
Tidak ada satu entitas masyarakat di dunia ini, yang akan terus berdiam diri sebagai objek kekerasan, dan berada pada “circle” kekerasan yang diciptakan oleh keputusan politis para penguasa.
Pada akhirnya “tindakan kekerasan yang dilegitimasi oleh kekuasaan akan melahirkan perlawanan sosial dan kultural, yang justru selalu tidak berakhir dengan baik. Akan terjadi siklus kekerasan yang tidak berkesudahan.
Hasil akhirnya, tentunya bisa kita prediksi, Indonesia akan menjadi negara gagal di Tanah Papua. Indonesia tidak akan pernah bisa mengindonesiakan Tanah Papua, sekalipun pada saat ini, upaya radikal dalam perspektif “tata kelola pemerintahan” melalui pemekaran provinsi baru diterapkan.
Hal tersebut hanya menjadi sekadar “euforia sesaat” yang hanya mengalihkan masalah substansi di Tanah Papua.
Namun pada akhirnya, akar masalah “kekerasan, ketidakadilan, memori pasionisme human rights violance” akan menjadi problem yang terus membayangi “negara gagal” di Tanah Papua.
Wa Wa, Matur Nuwun,
Horas, Ya’ahowu ππΎππΎππΎππΎ
(Salam Representasi Nusantara)