Tepatlah apa yang dikatakan mantan wartawan (kini politisi) Ramadhan Pohan. Sekretaris Jenderal Partai Demokrat Dr Hinca Pandjaitan XIII adalah seorang seniman di panggung politik.
Dan saya merasakannya ketika melihat malam pembekalan bagi para kader Demokrat se-Kepulauan Riau (Kepri) di Hotel CK, Jl. RH Fisabilillah, Tanjungpinang, Jumat malam (21 April). Pembekalan bagi para kader Demokrat se-Kepri, dipimpin Apri Sujadi, jelang dilantik dalam Kepengurusan 2017-2022.
Lampu mendadak padam. Suara Hinca menggelegar dalam kegelapan.
“Jika ada yang merasa keberatan dengan pembekalan ini, silakan keluar dari ruangan. Silakan kalian keluar dari Partai Demokrat, partai yang sangat besar ini.”
Tentu tak ada kader yang berani meninggalkan ruangan apalagi keluar dari keanggotaan Demokrat.
Lalu layar proyektor pun menampilkan video tentang Rapimnas Partai Demokrat, di JCC, Senayan, 7 Februari 2017.
Terlihat lebih 5 ribu kader utama memenuhi gedung. Mata dan semangat mereka menyala. Kepalan tangan mereka saat menyanyikan Mars Demokrat, karya Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), tampak perkasa. Hinca tak perlu lagi bertanya. Demokrat memang partai yang sangat besar.
Bagi saya, inilah partai yang mengatakan diri sebagai demokrat, sejatinya. Partai yang memang terus membuka diri dalam perubahan. Tidak ada teori muluk untuk memenangkan Pemilu. Hanya sebuah kesadaran utuh. Demokrat menyadari sepenuhnya, partai ini berasal dari dan oleh rakyat. Tentu semestinya bekerja untuk rakyat.
Hinca lantas mengingatkan karena bekerja untuk rakyat maka tak ada yang perlu ditutup-tutupi.
“Buat apa? Kita mencari suara rakyat, dan tak ada yang perlu ditutup-tutupi,” ia bicara tentang pentingnya transparansi di republik ini.
Lantaran bekerja untuk rakyat, tak heran jika dalam pengarahannya Hinca mengingatkan kader bahwa Demokrat saat ini tak lagi melantik para kader di gedung-gedung mewah. Seluruh pelantikan kader diadakan di tempat terbuka. Bahkan melibatkan masyarakat.
Melibatkan? Iya! Karena Hinca akan bertanya dengan nada tegas, apakah rakyat memang merestui pelantikan itu atau tidak. Jika rakyat mengatakan “tidak” maka Hinca pun mengurungkan niat melantik para kader. Sebaliknya jika masyarakat merestui maka pelantikan terjadi dalam suasana sakral yang penuh haru.
Hinca meminta para kader untuk memahami bahwa menjadi kader Demokrat berarti siap untuk melayani rakyat. Sehingga para kader tidak boleh bersikap jemawa apalagi menyakiti hati rakyat. Kader Demokrat tidak perlu malu untuk melayani masyarakat karena duduk di eksekutif berarti melayani rakyat; dan legislatif berarti menjadi wakil rakyat.
Bagi Hinca, politik adalah seni. Kreatifitas harus terus hadir. Tujuannya jelas, agar rakyat mencintai Demokrat. Dalam konteks itu pulalah Hinca mendirikan apa yang dinamakannya “Rumah Politik”.
Apa bedanya dengan “Rumah Aspirasi”?
“Kalau kalian mendirikan ‘rumah aspirasi’ maka itu hanya untuk kepentingan kalian. Agar terpilih lagi sebagai wakil rakyat. Tetapi kalau kalian mendirikan ‘rumah politik’ kalian telah membangun sebuah rumah untuk mendidik calon-calon pemimpin di tanah air ini,” Hinca memaparkan argumentasinya.
Menarik karena ini adalah argumentasi yang empiris. Hinca kemudian menjelaskan, ia adalah politisi otodidak. Ia belajar mati-matian untuk memahami perpolitikan di tanah air. Tidak ada mentor yang mengajarinya saat remaja hingga dewasa.
“Saya tidak ingin itu terjadi. Saya ingin politisi kita mendatang lahir karena mendapatkan pendidikan yang benar,” ujar Hinca yang kerap menegaskan bahwa SBY adalah guru politiknya.
Pada bagian lain pembekalannya, Hinca mengatakan, Ketua Demokrat Kepri yang akan dilantik adalah “Raja Demokrat Kepri”. Ini bukan gelar feodal. Sebab Demokrat adalah partai pertama yang berprinsip demokratis. “Raja” adalah makna bahwa seorang pemimpin di Demokrat haruslah pemimpin yang mengabdi pada rakyat. Pemimpin yang bekerja dengan seluruh darah dan jiwanya untuk kepentingan rakyat. Pemimpin yang layak disebut “Raja Alim, Raja Disembah” bukan pemimpin yang mendapat hinaan “Raja Lalim, Raja Disanggah”.
Hinca memakai gelar “Raja” agar kader Demokrat memahami bahwa seorang pemimpin jelas memiliki kekuasaan besar. Tapi ingatlah, kekuasaan yang ia miliki semata-mata ditujukan untuk menyejahterakan rakyat.
Semangat Hinca dalam memberikan pembekalan sesungguhnya sudah terlihat sebelum ia bicara. Para Petinggi Demokrat, yang memberikan pembekalan pada kader se-Kepri (sebelum Hinca) tampak sangat militan membawakan materinya. Direktur Eksekutif DPP-PD Fadjar Sampurno, Wakil Bendahara Umum DPP-PD Fariani Sugiharto, Wakil Ketua KPP DPP-PD Boyke Novrizon, Wakil Ketua BPOKK DPP-PD Supandi R Sugondo, dan Sekretaris Divisi Diklat DPP-PD Agustinus Tamo Mbapa benar-benar memaksimalkan penyampaian materi yang masing-masing hanya 10 menit. Menariknya tak satu pun dari Petinggi DPP-PD yang meninggalkan panggung hingga pembekalan usai.
Lalu tibalah saat Hinca menyampaikan puncak pembekalannya, jelang tengah malam. Ia mengingatkan para kader bahwa Demokrat adalah panggung bagi para pemimpin. Tentu termasuk pemimpin nasional.
Dan kader pun histeris karena saat itulah Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), pemimpin nasional mendatang, tiba-tiba masuk ke dalam ruang pembekalan.
Hinca tentu menyiapkan kejutan juga buat AHY. Sebuah video yang merekam kematangan pemikiran dan jiwa AHY telah disiapkan. Para kader Demokrat dan AHY kemudian menyimak tayangan tersebut.
Tayangan video berakhir. AHY tampak surprise. Ketika didaulat bicara, bibirnya tampak bergetar.
“Saya terharu atas sambutan hangat ini,” AHY berterimakasih pada Hinca dan para kader.
Nasionalis, religius, demokratis, humanis, pluralis… penuh daya seni; sejatinya jiwa Demokrat selaras dengan jiwa AHY.
“Saya anak kandung Partai Demokrat,” AHY menegaskan.
Kita pun paham, penegasan AHY membuat kader Demokrat bungah dan bangga karena telah melahirkan pemimpin di hari-hari mendatang. Dan tentu Hinca punya andil besar dalam pencapaian itu.
(didik l pambudi)