Oleh: Ferdinand Hutahaean
Empat tahun sudah Republik Indonesia dinakhodai pemerintahanya oleh Presiden ke-7 Joko Widodo. Sesaat lagi dalam 2 bulan ke depan akan memasuki fase akhir tahun pemerintahannya dan akan segera berganti kepemimpinan nasional bila Pak Jokowi tidak lagi mendapat dukungan dan kepercayaan dari publik nasional.
Pemilu Presiden akan digelar April 2019 nanti bersamaan dengan Pemilu Legislatif. Ujian sekaligus keputusan akhir apakah Jokowi benar telah bekerja baik atau hanya bekerja dalam kisah-kisah atau cerita yang dibangun namun berbeda dengan fakta sesungguhnya.
Empat tahun bukanlah waktu yang kurang untuk menilai sebuah keberhasilan pemerintah. Empat tahun itu sebuah waktu yang cukup panjang untuk memberikan penilaian tanpa harus memberi lagi waktu untuk memberi nilai berhasil atau gagal. Tapi tentu waktu harus diberikan untuk menyelesaikan periode kepemimpinan hingga 5 tahun, tidak boleh dipangkas kecuali rakyat menghendaki revolusi.
Empat tahun ini cukup bagi kita untuk memberikan kesimpulan dari berbagai sektor. Bagi saya, dengan jujur harus menyatakan bahwa Indonesia menjadi sebuah negara yang kehilangan jiwa sejak dipimpin oleh Jokowi. Ya, Indonesia yang kehilangan jiwa.
Rasa keIndonesiaan itu terasa hilang dan Indonesia menjadi superti sebuah negeri yang bisa “dilacurkan” untuk mendapat uang (utang). Indonesia menjadi seperti sebuah negeri yang tak punya masa depan karena masa depannya bagai digadaikan oleh pemimpinnya. Utang tampaknya telah dijadikan satu-satunya jalan menghidupi sebuah ekspektasi salah arah dalam kepemimpinan.
Hak rakyat dirampas, dipotong, dicabut, dikurangi dan dihilangkan dan kemudian dialihkan untuk membangun beton di atas tanah.
Subsidi untuk rakyat diambil untuk menyenangkan kaum penjajah ekonomi, supaya ada jaminan membayar utang yang ugal-ugalan. Beton yang kemudian tidak kita miliki tapi dimiliki oleh kaum penjajah ekonomi, namun ironinya adalah, bahwa rakyat kemudian dieksploitasi untuk menanggung beban utang yang sesungguhnya tak pernah dinikmati oleh rakyat. Utang itu hanya dinikmati oleh penguasa saat menggunting pita peresmian. Dan kemudian gunting pita itu akan beredar luas dengan narasi seolah kesejahteraan rakyat meningkat meski Rakyat hanya jadi penonton di sekitar pembangunan beton-beton itu karena tenaga kerjanya pun dari negari orang, bukan orang lokal.
Sungguh sebuah narasi yang tidak jujur, terbalik dan tidak faktual. Rakyat justru bertambah bebannya demi sebuah ekspektasi salah arah seorang penguasa.
Infrastruktur itu bagus dan harus dibangun, tapi tidak boleh mengambil hak rakyat dan tidak boleh menjadikan infrastruktur sebagai beban tambahan rakyat dengan pungutan dan retribusi lainnya. Konstitusi kita mengajarkan negara memelihara rakyatnya, bukan mengeksploitasinya.
Kita sungguh menjadi negeri yang kehilangan jiwa keIndonesiaan. Menyimpang dari cita-cita luhur kemerdekaan. Kewajiban negara manjadi diswastanisasi oleh pemerintah. Pemerintah tidak lebih dari sekelompok administrator perusahaan yang hanya mengurus surat dan menandatangani utang. Maka kewajiban memelihara rakyat dilepaskan ke swasta. Negara diswastanisasikan dan “dilacurkan”, dijual dan digadaikan dalam bentuk utang.
Sungguh, itu bukan Indonesia yang sesungguhnya, menyimpang dan harus dihentikan. Kembalikan Indonesia kepada jiwa sejati Indonesia yang nasionalis, patriotis dan melindungi segenap tumpah darahnya.
Jakarta, 01 Agustus 2018