Ian Haba Ora (ist)

Oleh: Ian Haba Ora*)

Pendahuluan

Politisasi informasi terhadap Partai Demokrat ternyata berhasil secara masif dilakukan berbagai pihak dengan menggunakan data hoaks. Keberhasilan informasi hoaks itu disebabkan karena kader dan simpatisan Partai Demokrat terkesan lemah dalam memberikan kecerdasan politik ataupun counter opinion terhadap hoaks tersebut.

Oleh karena itu, DPD PD NTT menyikapinya dengan Pendidikan dan Pelatihan Komunikator Politik (Diklat Kompol) selama 2 hari di Kupang mulai tanggal 3-4 Agustus 2017.

Berdasarkan materi pelatihan tersebut maka penulis mencoba untuk mereview hasil diklat kompol yang telah dilakukan tersebut.

Etika dan Tanggung Jawab Moral Politik Politisasi di NTT

Materi ini dikemukakan oleh Rm. Dr. Oktovianus Naif, Pr yang menyatakan bahwa sebagian politisi saat ini, khususnya di NTT kurang disiplin. Kritik terhadap etika dan tanggungjawab moral politik ini sebagai akibat tidak disiplinnya politisi memperjuangkan nilai kebenaran dan kejujuran. Indisipliner politisi membentuk harapan publik, “Kapan Datang Ratu/Pangeran Keadilan?”

Pendapat narasumber ini mungkin saja sebagai kritik terhadap politisi partai politik asal NTT, dimana sesuai rilis data Indonesian Corruption Wacth (ICW) tahun 2013 menyebutkan bahwa propinsi NTT menyumbang 5 orang politisi busuk kategori nasional dari berbagai parpol. Meskipun ada yang disebut politisi busuk, masih ada juga politisi yang memiliki disiplin politik seperti 3 politisi Demokrat, yakni Dr Benny Kabur Harman (BKH), Dr Jefri Riwu Kore (Jeriko), dan Anita Jacoba Gah (AJG). Mereka sampai kini belum berurusan dengan penegak hukum terkait korupsi.

Kritik Narasumber ini, mungkin juga mengarah kepada politisi partai politik yang gagal memberikan branding nilai disiplin. Itu sebabnya, narasumber menyarankan agar setiap politisi disiplin berjuang memberikan branding politik yang tidak pernah dilakukan oleh politisi lain, seperti yang dilakukan politisi Demokrat, Jeriko. Branding Partai Demokrat di NTT melalui Jeriko diketahui sebagai Bapak BSM (Bantuan Siswa Miskin), karena kurun waktu tahun 2004-2009 kuota BSM untuk NTT hanya rata-rata 20.000 siswa per tahun. Namun periode tahun 2009-2014 dan interval waktu tahun 2014-2017 saat Jeriko menjadi anggota DPR RI, kuota BSM NTT (era Jokowi diubah PIP) menjadi antara 400-500 ribu siswa per tahun. Tidak heran jika sampai kini Rumah Aspirasi Jeriko Center masih penuh pengaduan dan permohanan Aspirasi BSM/PIP meskipun Jeriko sudah tidak menjadi anggota DPR RI lagi.

Berdasarkan dua contoh etika dan tanggung jawab moral politisi di atas sekiranya menjadi dukungan hasil review materi yang dikemukakan narasumber.

Peran Parpol Dalam Pematangan Demokrasi di NTT

Narasumber materi ini dikemukakan Dr David BW Pandie (Pembantu Rektor I Universitas Nusa Cendana Kupang). Ia fokus pada peran partai politik di NTT yang belum total dalam pematangan demokrasi di NTT, terutama tingkat kesejahteraan rakyat. Kritikan narasumber ini karena ditinjau dari Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di NTT, kurun waktu 20 tahun pasca reformasi, hanya di urutan ketiga dari ekor setelah Papua Barat dan Papua, sehingga menyumbang 22% angka kemiskinan NTT. NTT pun berada di urutan 65 angka harapan hidup nasional. Walaupun kualitas demokrasi NTT cukup baik dikisaran 75%, tetap saja jika dihubungkan dengan kesejahteraan maka NTT lemah indeks kesejahteraannya. Berdasarkan asumsi ini maka publik di NTT berpeluang untuk selalu dibohongi.

Entah berhubungan atau tidak, sehari sebelum kegiatan, muncul pernyataan Viktor Bungtilu Laiskodat (VBL), Ketua Fraksi Partai Nasdem di DPR-RI, yang kemudian viral. VBL menyebut Partai Demokrat mendukung negara khilafah karena menolak Perppu Nomor 2 Tahun 2017 tentang Ormas.

Padahal Perppu itu telah menghapus peran peradilan hukum. Pemerintah mempunyai hak membubarkan Ormas tanpa proses pengadilan.

Apakah Pemerintah lupa bahwa esensi reformasi dulu adalah menumbangkan Soeharto karena mengambil alih peran judikatif sehingga aktivis organisasi pengkritik pemerintah banyak yang dihilangkan dan dibungkam? Mengapa kini, Pemerintahan Jokowi-JK terindikasi menggunakan partai pendukung pemerintah di DPR RI agar terjadi Reinkarnasi Orde Baru?

Maka tak heran jika ada dugaan bahwa VBL, Ketua Fraksi Nasdem DPR, saat menyampaikan orasi politik di Kabupaten Kupang, mulai mempropaganda masyarakat dengan menyebut Partai Demokrat sebagai partai pendukung Negara Khilafah, seperti FPI dan HTI.

VBL mungkin berani mengatakan ini atas beberapa pertimbangan, yaitu: sesuai BPS 2013-2015, Kabupaten Kupang memiliki IPM umumnya masih rendah dengan rataan 67,74 dan lama sekolah rata-rata hanya 7,49 tahun (tamat SD atau putus di kelas 1 SMP). Selain itu, jumlah penduduk miskin saja mencapai 64.960 jiwa dari populasi 348.010 orang dengan pendapatan per bulannya Rp.264.554/orang/bulan, jika dibagi jumlah hari maka menjadi Rp.609,65/orang/hari yang hanya laku membeli air mineral gelas dan permen.

Untunglah penduduk kabupaten Kupang sudah melek huruf sehingga tidak bisa disimpulkan sebagai penduduk yang lemah. Memang mereka lemah politik, tetapi bukan berarti penduduk Kabupaten Kupang gampang dibodohi.

Manifesto Partai Demokrat dan Pemerintahan SBY

Wakil Sekjend Partai Demokrat Rachland Nashidik menjadi narasumber materi ini. Partai Demokrat diketahui sebagai partai nasionalis dan religius yang telah membuktikan eksistensi politik selama pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.  Namun fakta ini dipelintir oleh sebagian politisi. Contoh yang dapat dikemukakan sesuai data MP3I, antara lain:

(1) hanya di era Presiden SBY yang mampu turunkan angka kemiskinan penduduk Indonesia dari 19,1% menjadi 11,47% (atau 8,6 juta orang keluar dari kemiskinan);

(2) hanya di era SBY terjadi penurunan laju deforestasi (kerusakan lingkungan) rata-rata 33,5% per tahun;

(3) hanya di era SBY anggaran bidang Riset dan Teknologi untuk kecerdasan anak bangsa terjadi peningkatan dari 1,07% menjadi 5,47%;

(4) hanya di era SBY terjadi penambahan 90 unit kapal penyebrangan dan 33 unit kapal perintis serta pembangunan 191 pelabuhan strategis, 41 pelabuhan perintis, dan 347 dermaga penyeberangan;

(5) hanya di era SBY terjadi peningkatan masif pembangunan sarana kesehatan dari 135 rumah sakit menjadi 837 unit rumah sakit dan dari 355 Puskesmas menjadi 2.083 unit Puskesmas, serta dari 2.862 apotek menjadi 9.510 unit apotek, dan hanya era SBY mampu tingkatkan jumlah dokter di Indonesia dari 31.603 orang menjadi 76.523 orang;

(6) hanya di era SBY terjadi pemberantasan korupsi pandang bulu dan paling agresif sepanjang sejarah dimana KPK selamatkan Rp.1,96 triliun, Polri selamatkan Rp.2,09 triliun, dan Kejagung selamatkan Rp.13,33 triliun dan US$19,06 juta; dan

(7) hanya di era SBY ada pembelian belasan suku cadang alutsista seperti pesawat Sukhoi, T-50i, Apache, MLRS, Korvert, Leopard, Bell412zep, CN235, R-Han, Komodo, Anoa, dan KCR60 dengan cara meningkatkan anggaran dari Rp.21,4 triliun menjadi 83,4 triliun.

Lalu apa yang dilakukan Pemerintahan sekarang?

Berdasarkan hal yang semakin meningkat di era saat ini maka,

(1) hanya di era Jokowi-JK angka kemiskinan penduduk Indonesia bertambah lagi dari yang telah keluar 8,6 juta bertambah menjadi 28,51 juta orang (Sindonews.com);

(2) hanya di era Jokowi penurunan laju kerusakan hutan yang telah turun rata-rata 33,5% meningkat menjadi 43%/tahun laju kerusakan hutan (wartapalaindonesia.com);

(3) hanya di era Jokowi-JK pertumbuhan anggaran riset dan teknologi yang 5,47% per tahun menjadi hanya 1,5%/tahun (dikti.go.id);

(4) hanya di era Jokowi-JK yang lebih banyak meresmikan sarana pelabuhan dan perkapalan peninggalan program presiden SBY;

(5) hanya di era Jokowi-JK yang terkesan mengganti esensi program pro-publik seperti Jamkesmas menjadi BPJS, PNPM, BSM menjadi PIP dengan esensi yang sama, hanya berganti nama;

(6) hanya di era Jokowi-JK, tersangka KPK dijadikan Wakapolri dan Kepala BIN;

(7) hanya di era Jokowi-JK, kritikus pembangunan dipenjarakan dan disebut makar;

(8) hanya di era Jokowi-JK banyak masalah bukan diselesaikan tetapi hanya mengeluh dan menyalahkan pemerintahan masa lalu;

(9) hanya di era Jokowi-JK dan Soeharto saja yang mengambil alih kekuasaan judikatif membubarkan kebebasan berekspresi dan berorganisasi;

(10) hanya di era Jokowi-JK saja, memerintah baru 3 tahun tetapi utang negara berkali lipat dari presiden sebelumnya;

(11) hanya di era Jokowi-JK menggunakan Presidential Threshold menggunakan perolehan kursi DPR RI 2014 yang sudah digunakan pada Pilpres 2014 ke 2019, ibarat membeli tiket bioskop untuk menonton film Spiderman digunakan lagi untuk menonton film Hercules, suatu tampilan kegagalan demokrasi; dan simpulan akhirnya, apa yang sudah diturunkan presiden sebelumnya menjadi tinggi di era Jokowi-JK.

Secara umum dapat diindikasikan bahwa era Jokowi-JK adalah pemerintahan dengan mega infrastruktur fisik minim dengan pembangunan sosial-ekonomi inklusif; kemiskinan absolut dengan kesenjangan sosial yang tinggi; daya beli cenderung melemah; selalu menyalahkan masa lalu (blame trap) tanpa solusi yang jelas ke depan; kaya jargon (nawacita, revolusi mental, dll) namun miskin dalam implementasi; jauh kata dari aksi dimana lebih mengandalkan power sharing dan pencitraan populer; pemberantasan korupsi lemah (macan ompong) dan peran Indonesia di kancah internasional semakin marjinal.

Partai Demokrat Korban Hoaks

Akhir-akhir ini, produksi isu dan finah melalui media informasi baik cetak maupun elektronik diindikasi sangat masif terjadi. Berbagai informasi positif, negatif, bahkan fitnah terus diolah untuk disebar agar mempengaruhi publik. Ketua Departemen Urusan KPK DPP-PD Jemmy Setiawan, yang menjadi pemateri, menyatakan, bahwa satu informasi positif beramplifikasi pada 4 orang, sedangkan satu informasi negatif beramplifikasi pada 11 orang. Oleh karena itu produksi isu menjadi strategi mengalahkan pesaing. Kondisi ini menyebabkan partai-partai yang tidak memiliki media publik seperti koran dan televisi rawan dipolitisasi, salah satunya adalah Partai Demokrat.

Partai Demokrat melalui ketokohan SBY sedang dirudung pemberitaan hoaks yang semakin memarjinalkan eksistensi partai. Hoaks populer kepada Partai Demokrat adalah “Partai Koruptor”. Produksi isu ini masif disebar oleh kompetitor, padahal sesuai data ICW (www.antikorupsi.org) merilis partai dengan Indeks Korupsi tertinggi kurun waktu tahun 2002-2014 secara berurutan adalah: (1) PDIP; (2) PAN; (3) GOLKAR; (4) PKB; (5) PPP; (6) PKPI; (7) GERINDRA; (8) DEMOKRAT; (9) PBB; (10) HANURA; (11) PKS. Sedangkan berdasarkan rangking korupsi Parpol yang dirilis Metrotv pada Kamis 13 Maret 2014, PDIP (84 kasus) dan GOLKAR (60 kasus) merupakan PARTAI TERKORUP di Indonesia. Kedua partai ini merupakan pendukung utama pemerintahan Jokowi-JK saat ini.

Namun dikarenakan Partai Demokrat tidak memiliki media, kejadiannya adalah PARTAI DEMOKRAT kerap diopinikan menggantikan PDIP dan GOLKAR sebagai partai terkorup di Indonesia.

Ketidakmampuan Partai Demokrat untuk mengcounter opini sesat/hoaks terjadi juga pada model citra SBY sebagai Presiden 10 Tahun yang tidak berbuat apa-apa selama memerintah. Produksi isu ini terus diproduksi massal oleh kompetitor Partai Demokrat, alhasil cukup berhasil, seperti tuduhan “proyek mangkrak SBY”. Sedangkan keberhasilan pembangunan era SBY terindikasi diklaim sepihak oleh pihak yang berkuasa. Akhirnya, rakyat terbohongi dan fitnah menjadi ujaran kebenaran. Oleh karena itu, Partai Demokrat harus berbenah.

Involusi Partai Demokrat

Involusi adalah kembali ke keadaan normal atau sebenarnya. Involusi Partai Demokrat didefenisi sebagai keadaan untuk mengembalikan citra Partai Demokrat ke keadaan semula/sebenarnya. Partai Demokrat tidak sama dengan PARTAI yang memiliki media seperti NASDEM (METRO TV dan MEDIA INDONESIA), PARTAI GOLKAR (ANTV, TVONE), PERINDO (MNC TV dan SINDO), dan PDIP sebagai sentra partai penguasa. Namun Demokrat tidak boleh diam.

Strategi yang dapat dilakukan untuk involusi Partai Demokrat adalah melalui pencerahan dan publikasi di media sosial sebagai media yang murah dan mudah. Media sosial (medsos) adalah sebuah media online, dengan para penggunanya bisa dengan mudah berpartisipasi, berbagi, dan menciptakan isi (content) (Jansen 2017). Media sosial paling populer adalah facebook, instagram, youtube, dan tweet. Populasi pengguna sosmed di Indonesia tahun 2016 mencapai 104 juta users dan diperkirakan meningkat di tahun 2017 menjadi 112 juta users. Facebook saat ini digunakan oleh ±60 juta orang, diikuti twitter ±49,5 users, dan ada Instagram dengan Path yang digunakan sekitar 30 juta orang (Litbang Demokrat 2017).

Partai Demokrat perlu memanfaatkan media sosial seefektif mungkin untuk menginvolusi wibawa partai yang terkoyak dari informasi hoaks dan fitnah. Sudah saatnya kader berinvoluasi mengembalikan kejayaan Partai Demokrat dengan aktif bermedia sosial membuka labirin Partai Demokrat yang selama ini terkoyak.

Salam.

*)Wakil Sekretaris I DPD PD NTT