Oleh: Rahmat Thayib
Saya membaca mulai ada yang salah kaprah dengan “This is My War”-nya Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tempo hari. Ada pemahaman sempit yang mengkait-kaitkan deklarasi perang SBY ini dengan prasangka bahwa SBY terlalu tegang, terlalu emosi, terlalu panik, terlalu sensitif karena namanya disebut di persidangan kasus korupsi e-KTP oleh Mirwan Amir. Jawaban saya tidak!
Tak bisa ditampik bahwa SBY adalah seorang yang tertib, hati-hati, visioner. SBY adalah seorang perencana yang baik—paling gampangnya bisa dilihat dari fakta SBY selalu membaca berkas kenegaraan yang ditandatanganinya.
Jangan ajari SBY perihal kesabaran. Serius! Mengutip quote Dilan secara bebas: kesabaran ala SBY itu berat, kamu tak akan kuat! Bukalah catatan sejarah. SBY pernah difitnah telah beristri sebelum menikahi Ani Yudhoyono, ia pernah disuguhi seekor kerbau yang dipantatnya ditempel foto SBY berikut tulisan besar-besar: Si BuYa. Oh, jangan lupakan ancaman pembunuhan terhadap SBY, diterjang isu korupsi Anas Urbaningrum cs, dan pelbagai fitnah yang menerjang keluarganya demi menghancurkan citra SBY.
Tapi baiklah. Semua itu terjadi semasa SBY menjabat. Adalah wajar di negeri demokrasi, seorang Presiden mendapat tekanan dahsyat. Tapi, mengapa fitnah-fitnah ini masih mengejar saat kepemimpinan SBY telah selesai?
Perihal kerja keras pemerintahan era SBY yang diburamkan bahkan diklaim sepihak oleh penerusnya, belum separah pelbagai fitnah yang menimpa SBY sejak November 2016. SBY dituding sebagai dalang aksi 411 dan 211—faktanya, alumnus gerakan ini malah menyodorkan calon kepala daerah kepada koalisi Gerindra, PKS dan PAN.
SBY difitnah hendak mengebom istana. Faktanya, hingga hari ini istana baik-baik saja. Ada sekelompok mahasiswa yang dikumpulkan di Cibubur, lalu bersepakat untuk unjukrasa ke DPR. Mendadak, tanpa koordinasi bus-bus pengantar massa malah berbelok ke Kuningan untuk mengeruduk kediaman SBY. Pemilik Nissan Terano yang membawa logistik itu kabur tak tentu rimbanya—jika ia tak punya maksud jahat, mengapa harus kabur? Lalu ada insiden penyadapan ponselnya. Pencemaran nama baik oleh Antasari Azhar—yang sudah setahun berlalu tapi kasusnya tidak kunjung selesai. Lalu kesimpulan sesat FW atas “orang besar” di balik e-KTP ini.
Sudahlah! Jangan ajari SBY bagaimana laku bersabar. SBY jauh lebih juara ketimbang kita.
Advokat Machiavelli
Pahamkah mereka akan subtansi gugatan SBY? Yang digugat SBY adalah pernyataan Firman Wijaya (FW) di luar persidangan. Ini tak ada urusannya dengan proses persidangan.
FW diduga kuat telah menderaskan kesimpulan sesat, yang tragisnya dikutip media sekaliber kompas.com menulis : “Pengacara Setya Novanto, Firman Wijaya menilai, fakta persidangan berupa keterangan saksi telah mengungkap siapa sebenarnya aktor besar di balik proyek pengadaan Kartu Tanda Penduduk berbasis elektronik (e-KTP). Berdasarkan keterangan saksi, menurut Firman, proyek e-KTP dikuasai oleh pemenang pemilu pada 2009, yakni Partai Demokrat dan Susilo Bambang Yudhoyono.”
Padahal Mirwan Amir, saksi yang dimaksud, tak pernah mengambil kesimpulan begitu. Mirwan Amir membantah bahwa kesaksiannya dimaksudkan untuk “untuk memojokkan pihak-pihak tertentu, termasuk SBY. Juga tidak ada tuduhan kepada SBY.” Jika saksinya saja membantah, apa landasan terbitnya kesimpulan menyesatkan FW?
Dugaan saya, FW sengaja demi keuntungan kliennya, Setya Novanto. Kita paham Setnov tengah berupaya jadi justice collaborator agar hukumannya bisa diperingan. Sesuai peraturan, syaratnya Setnov tidak boleh berstatus “otak utama” kasus mega korupsi e-KTP. Alhasil, perlu dibentuk “sosok besar” di belakang mega korupsi e-KTP, dan pistol fitnah pun diarahkan ke SBY.
Salahkah bila SBY melawan? Apalagi perlawanannya secara konstitusional. Tidak sama sekali!
Dan lewat “This is My War”, SBY menyerukan bahwa ini urusan SBY dan FW. Ini urusan seorang warga negara dengan warga negara lainnya. Karena itu, SBY datang sendiri ke Bareskim. SBY duduk di kursi bilik penerimaan pengaduan masyarakat. Ia hanya ditemani sang istri dan pengacaranya.
Tragisnya, gugatan SBY malah dipelintir dengan isu “kriminalisasi advokat”. Sudah ada konsolidasi antar advokat untuk membangun wacana perang antara Presiden ke-6 RI sekaligus Ketum DPP Partai Demokrat melawan profesi advokat. Sungguh pelintiran wacana yang keji. Padahal, sekali lagi, SBY menggugat bukan atas apa yang terjadi di dalam sidang, melainkan atas fiksi yang FW beberkan kepada media massa.
Tapi jangan pikir gugatan ini cuma perkara nama baik SBY. Pelaporan ini juga berkenaan dengan penegakan hukum, dengan penghukuman para koruptor secara adil. FW harus bisa menjelaskan di depan hukum bahwa apa yang disampaikannya kepada awak media bukan fiksi, bukan kesimpulan sesat. Kita tidak ingin sistem hukum Indonesia sampai kecolongan.
Apa kita ingin hukuman para koruptor diperingan akibat manuver para advokat yang dibayar mahal? Apakah demi menyelamatkan para koruptor, kita biarkan para advokat berbuat seenaknya, termasuk dengan mencemarkan nama baik orang lain? Jika laku ini dibiarkan, sudah pasti gerakan antikorupsi mandek. Sebab, setiap koruptor yang bisa menyewa para advokat yang siap menebar fitnah dapat selamat dari sanksi hukum. Ini adalah esensi yang membuat dukungan rakyat lewat #kamibersamaSBY terus membahana hingga saat ini.
Di Balik “This is My War”
Terakhir, saya ingin menegaskan bahwa kesimpulan sesat yang dideraskan FW mengindikasikan tindakan politis yang dilakukan FW. Jika ini dikaitkan dengan rentetan fitnah yang mendera SBY sejak November 2016 hingga hari ini, klop sudah. Manuver FW hanya satu diantaranya—satu tapi sungguh fatal akibatnya.
Mustahil, rentetan fitnah ini berlangsung secara alami. Perhatikan intensitas fitnah terhadap SBY yang terjaga selama satu setengah tahun ke belakang. Bandingkan dengan BJ. Habibie yang aman-aman saja pasca menjabat kendati laporan pertanggungjawabannya ditolak! Oh, karena SBY adalah Ketua Umum Partai Demokrat? Lalu mengapa kondisi serupa tidak menimpa Abdurahman Wahid, Dewan Syuro PKB, atau Megawati yang juga Ketua Umum PDIP?
Bukankah pasca menjabat Gus Dur dan Megawati juga berulang-ulang mengkritik SBY? Mengapa saat itu mereka tidak didera fitnah sekeras, sebanyak dan sekesinambungan SBY hari ini?
Apa karena rakyat tidak suka dengan SBY? Ayolah! Tidak bisa ditampik, SBY adalah presiden Indonesia pertama yang dipilih secara secara langsung, jujur, adil dan demokratis. Ia diamanatkan sebagai Presiden RI pada Pilpres 2004, dan Pilpres 2009. Kepercayaan rakyat kepada SBY pada Pilpres 2009 bahkan jauh lebih tinggi ketimbang Jokowi pada Pilpres 2014. Pada Pilpres 2009, saat pesertanya ada tiga paslon, SBY meraup dukungan sebesar 73,87 juta suara. Sementara Jokowi yang head to head dengan Prabowo, dan jumlah pemilih yang jauh lebih banyak ketimbang Pilpres 2009, cuma meraup dukungan sebesar 70,99 juta.
Oh, itu kan 7 tahun lalu? Lalu mengapa nama SBY masih muncul sebagai calon presiden yang diinginkan rakyat pada Pilpres 2019 mendatang? Ambil contoh survey Media Survei Nasional per September 2017 yang menetapkan Jokowi, Prabowo dan SBY sebagai tiga kandidat capres terkuat yang diinginkan rakyat. Barangkali mereka yang memilih SBY tidak paham bahwa secara konstitusional itu tidak mungkin. Tapi ini sekaligus mengonfirmasi bahwa rakyat masih menghormati dan merindukan sosok SBY.
Uniknya, derasnya fitnah ini muncul sejak Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) maju sebagai kandidat Gubernur DKI Jakarta; dan bertahan hingga saat ini ketika AHY menjadi salah satu calon penantang Jokowi dan Prabowo yang paling diunggulkan dalam pelbagai survey.
Rentetan fitnah ini terang terkait Pilpres dan Pileg yang menyatu dalam Pemilu 2019. Ada upaya membunuh AHY, membunuh Partai Demokrat, dengan cara memfitnah SBY.
Ini jelas bukan politik yang berakhlak!
*)Penggiat Gerakan Demokrasi Berkeadaban
(politiktoday)