Oleh: Renanda Bachtar*)
Gamblang terlihat bahwa gejala keretakan kerukunan antar-kelompok masyarakat di tengah masyarakat belakangan ini kian menguat. Di beberapa daerah, pihak yang berbeda pandangan ini cenderung sudah saling berhadap-hadapan. Sekalipun potensi konflik horizontal relatif teratasi pihak aparat keamanan, namun harus diakui fenomena ini sudah sangat tidak sehat.
Di sejumlah tempat beberapa pemimpin agama bahkan tidak ingin menempatkan posisinya sebagai juru damai. Alih-alih menentramkan, beberapa gereja dan juga mesjid bahkan ada yang turut memanasi jemaat/umatnya dengan menyitir ayat-ayat agama versi masing-masing. Tudingan “kafir” di sebelah sana disambut dengan tudingan “fasik” di sebelah sini. Tanpa perlu kita perdebatkan persamaan makna ke dua kata tersebut, mari kita fokus kepada hal yang lebih esensial dibanding peristilahan semantik, yaitu: sejumlah gereja dan masjid sudah mulai mengisi kepala jemaat/umat dengan menempelkan stigma negatif kepada umat beragama lainnya! Sulit rasanya dipercaya, namun ini laporan beberapa sahabat yang mengalaminya langsung. Sungguh ini suatu hal tidak pernah terjadi selama berpuluh-puluh tahun dalam hidup saya.
Beberapa tahun lalu, justru karena nilai-nilai toleransi yang tinggi dipayungi sesanti Bhinneka Tunggal Ika, Indonesia di mata dunia telah menjadi “negara percontohan” dan tidak kurang pada tahun 2013 Indonesia mendapat apresiasi tinggi dari Appeal Of Conscience Foundation (AFC) sebagai negara yang dipandang paling sukses dalam memelihara kerukunan antar umat beragama di negaranya. Tapi kini apa terjadi? Ke mana spirit kerukunan itu menghilang? Terbawa angin politik identitas? Atau fenomena kultus individukah? Sangat patut disayangkan!
Secara kasuistik sudah ada beberapa kejadian serius mengenai ini yakni antara lain: pengusiran tokoh agama atas seruan pemimpin daerah Kalbar yang kemudian berbuah balasan pengusiran pemimpin daerah tersebut di Aceh; pengusiran salah satu pimpinan parlemen di Manado dan pembubaran aksi “1000 Lilin” di Makassar dimana pemimpin daerahnya mendukung “Gerakan Matikan 1000 Lilin”; aksi pendukung “1000 Lilin” yang meneriaki suara adzan di Palembang yang mengundang kemarahan warga; menggemanya keinginan untuk mendeklarasikan “Minahasa Raya Merdeka” di tengah aksi bela Ahok; serta seruan salah satu tokoh Islam untuk membuat aksi gerakan “Bakar Obor” yang terkesan untuk mengimbangi aksi “1000 Lilin”. Tanpa harus menunggu adanya tambahan aksi-aksi lain antar berbagai kelompok masyarakat, kita harus sadar dan dengan jujur mengakui bahwa situasi ini sudah masuk ke dalam stadium “serius dan mengkhawatirkan”.
Tidak ada jaminan bahwa aksi saling usir ini tidak berkembang menjadi aksi saling hina dan saling serang secara terbuka. Sekalipun tidak sebesar eskalasi perang agama atau perang saudara, konflik horisontal sekecil apapun harus dicegah dan hindari sebelum benar-benar terjadi.
Ingatlah bahwa kasus konflik horizontal yang terjadi di Sampit, Poso, Ambon dan Desa Balinuraga, Kalianda, Lampung Selatan semua berawal dari keributan sepele satu-dua orang yang dengan cepat menjadi konflik horizontal besar-besaran dan memakan banyak korban jiwa. Penduduk Sampit, Poso, Ambon dan Balinuraga Lampung sudah bisa hidup dengan tenang kembali, namun peristiwa tersebut akan membekas di ingatan warga tersebut selamanya. Forgiven but unforgotten.
Dalam situasi dimana di antara kelompok masyarakat dengan tensi tinggi saling berhadap-hadapan, para pemimpin nasional, aparat hukum, pimpinan partai, tokoh-tokoh masyarakat harus sibuk meneduhkan, bukan justru tambah memanaskan situasi. Semua pihak wajib memosisikan diri sebagai bagian dari solusi, bukan bagian dari masalah. Dalam situasi dimana bangsa berpotensi pecah, sudah tidak menjadi prioritas utama lagi mencari siapa yang lebih salah dan siapa yang lebih benar. Let’s move on. Tinggalkan sementara semua itu di belakang, dan mulailah kedepankan pemikiran dan semangat untuk memadamkan potensi perpecahan antar umat dan pendukung ini dengan meletakkan prinsip “One Nation, One Family” (Satu Bangsa, Satu Keluarga). Segala perbedaan atau keyakinan masing-masing yang menjadi penyebab konflik dapat dibicarakan di kemudian hari dengan kepala dingin saat segala tensi dan emosi tidak lagi menguasai hati dan pikiran kita. Dahulukan kepentingan menjaga perpecahan antar anak bangsa yang jika kita biarkan karena ego, kepentingan kelompok dan rasa kebenaran subjektif, bisa mengubah wajah Indonesia selamanya.
Bayangkan apa yang akan terjadi jika sesama anak bangsa pernah saling serang, hina dan bahkan mengangkat senjata untuk saling mengalahkan dan saling menghancurkan. Jika itu terjadi, sekalipun suatu saat dapat dihentikan, cara kita melihat saudara kita yang pernah berseberangan dengan kita akan “lain”, tidak akan pernah sama lagi. Logika melupakan tapi hati akan terus mengingat.
Sungguh semoga kita dijauhkan dari suatu masa dimana cahaya seterang apapun tak akan mempu menerangi hati yang telah terlanjur gelap dan semangat persaudaraan kita telah terlanjur kelam.
Hari ini Presiden Jokowi akhirnya untuk kali pertama tampil dan memberikan himbauannya agar ketegangan antar kelompok di Indonesia ini segera disudahi. Kita apresiasi Presiden yang menyadari harus segera tampil menenangkan situasi yang mulai meresahkan masyarakat ini.
Semoga segala ketegangan antar-kelompok manapun di Indonesia bisa segera usai dan kita semua berharap tidak ada lagi celah dimana ketegangan ini dapat berujung sebagai konflik serius yang bisa membuat pihak luar resah dan membuat investment dan upaya pemulihan ekonomi kita tertunda.
Masalah domestik kita harus diselesaikan antar-pihak kita sendiri, jangan sampai kita dengan sadar mengundang pihak luar untuk selesaikan masalah dalam negeri kita. Segala kesalahpengertian pihak luar untuk mengenali masalah domestik kita harus segera di-clear kan oleh pihak berkompeten, termasuk jika perlu oleh Presiden sebagai pemegang pimpinan tertinggi negara.
Ke depan, dalam waktu dekat ini akan sangat baik jika digagas sebuah forum dialog identitas dengan tema semisal: “Demi Kesatuan dan Persatuan Indonesia Bersatu”. Dalam bayangan saya, dialog antar-komponen masyarakat ini akan sangat baik jika diinisiasi oleh kalangan anak muda. Anak muda biasanya lebih “cair” dan umumnya tidak punya “political baggage” atau beban kepentingan politik praktis.
Siapa anak muda yang mau tampil dan menggagas ini? Indonesia menunggu Anda.
*)Komunikator Politik Partai Demokrat